Rabu, 12 Juni 2013

penggunaan terapi realitas


TERAPI REALITAS DALAM KONSELING
PENGGUNAAN TERAPI REALITAS DALAM KONSELING
 ARIF RIDUAN
BAB I

PENDAHULUAN

Dewasa ini terutama di dunia barat, teori Bimbingan dan Konseling (BK) terus berkembang dengan pesat. Perkembangan itu berawal dari berkembangnya aliran konseling psikodinamika, behaviorisme, humanisme, dan multikultural. Akhir-akhir ini tengah berkembang konseling spiritual sebagai kekuatan kelima selain keempat kekuatan terdahulu (Stanard, Singh, dan Piantar, 2000:204). Salah satu berkembangnya konseling spiritual ini adalah berkembangnya konseling religius.
Perkembangan konseling religius ini dapat dilihat dari beberapa hasil laporan jurnal penelitian berikut. Stanard, Singh, dan Piantar (2000: 204) melaporkan bahwa telah muncul suatu era baru tentang pemahaman yang memprihatinkan tentang bagaimana untuk membuka misteri tentang penyembuhan melalui kepercayaan , keimanan, dan imajinasi selain melalui penjelasan rasional tentang sebab-sebab fisik dan akibatnya sendiri. Seiring dengan keterangan tersebut hasil penelitian Chalfant dan Heller pada tahun 1990, sebagaimana dikutip oleh Gania (1994: 396) menyatakan bahwa sekitar 40 persen orang yang mengalami kegelisahan jiwa lebih suka pergi meminta bantuan kepada agamawan. Lovinger dan Worthington (dalam Keating dan Fretz, 1990: 293) menyatakan bahwa klien yang agamis memandang negatif terhadap konselor yang bersikap sekuler, seringkali mereka menolak dan bahkan menghentikan terapi secara dini.
Nilai-nilai agama yang dianut klien merupakan satu hal yang perlu dipertimbangkan konselor dalam memberikan layanan konseling, sebab terutama klien yang fanatik dengan ajaran agamanya mungkin sangat yakin dengan pemecahan masalah pribadinya melalui nilai-nilai ajaran agamanya. Seperti dikemukakan oleh Bishop (1992:179) bahwa nilai-nilai agama (religius values) penting untuk dipertimbangkan oleh konselor dalam proses konseling, agar proses konseling terlaksana secara efektif.
Berkembangnya kecenderungan sebagian masyarakat dalam mengatasi permasalahan kejiwaan mereka untuk meminta bantuan kepada para agamawan itu telah terjadi di dunia barat yang sekuler, namun hal serupa menurut pengamatan penulis lebih-lebih juga terjadi di negara kita Indonesia yang masyarakatnya agamis. Hal ini antara lain dapat kita amati di masyarakat, banyak sekali orang-orang yang datang ketempat para kiai bukan untuk menanyakan masalah hukum agama, tetapi justru mengadukan permasalahan kehidupan pribadinya untuk meminta bantuan jalan keluar baik berupa nasehat, saran, meminta doa-doa dan didoakan untuk kesembuhan penyakit maupun keselamatan dan ketenangan jiwa. Walaupun data ini belum ada dukungan oleh penelitian yang akurat tentang berapa persen jumlah masyarakat yang melakukan hal ini, namun ini merupakan realitas yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini.


A. Latar Belakang
Terapi realitas merupakan suatu bentuk hubungan pertolongan yang praktis,reltif sederhana dan bentuk bantuan langsung pada klien.hal ini berdasarkan pada konsep terapi realitas dimana seorang klien ditolong agar dia mampu masa depannya yang penuh optimis. Terapi realitas berprinsip bahwa seseorang dapat dengan penuh optimis menerima bantuan dan terapi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan mampu menghadapi kenyataan tanpa merugikan siapapun.
Terapi realitas lebih menekankan masa kini,maka dalam memberikan alternatif bantuan tidak usah melacak sejauh mungkin pada masa lalunya.sehingga yang dipentingkan bagaimana klien dapat sukses mencapai hari depannya.
B. Perumusan Masalah
Bahwa manusia mempunyai kebutuhan psikologis yang tunggal yang hadir dalam kehidupannya .oleh karna adanya kebutuhan psikologis yang tunggal tersebut menyebabkan individu atau seseorang tadi menjadi seseorang yang merasa mempunyai keunikan berbeda dengan yang lain
Ciri kepribadian khas itu,menimbulkan dinamika tingkah laku yang menjelma dengan pola-pola yang tersendiri dari setiap individu secara universal ciri-ciri kepribadian individu tersebut ada pada seluruh kebudayaan manusia.
Setiap mempunyai kemampuan potensial untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan pola-pola yang sudah tertentu.kemampuan tumbuh dan berkembang tersebut dapat menjadi aktual,atas sebagian besar menurut usahanya yang dinyatakan melalui tingkah lakunya yang nyata.karna setiap individu mempunyai optimisme dia dapat menerima dirinya dan mencintai dirinya dalam arti yang luas menjadi pribadi yang sukses.
Reality therapy tidak bersandar p-ada hakekat itu sendiri yang artinya bahwa individu tidak dapat mandambakan potensi-potensi yang telah dimiliki dan dibawa sejak lahir untuk berkembang dengan sendirinya,potensi tersebut harus diusahakan melalui tingkah laku yang nyata.Reality therapy menentukan membangun anggapan bahwa tiap orang menentukan nasib sendiri.
C. Tujuan Pembahasan
Terapi realitas dapat menolong inidividu untuk menolong dirinya sendiri,artinya supaya individu dapat melaksanakan tingkah laku dalam bentuk yang nyata,juga dapat membuat keputusan yang tepat udari pola-pola tingkah laku yang dibuatnya untuk mencapai masa depannya yang lebih baik.jadi menanamkan dan memandirikan klien.
Mendorong klien untuk bertanggung jawab serta memikul resiko yang ada dari tanggung jawab tersebut.tanggung jawab yang dimintakan kepada klien harus sesuai dengan kemampuan dan keinginannya dalam perkembangan dan pertumbuhannya .
Mengembangkan rencana yang nyata dalam mencapai yang telah ditetapkan.jadi rencana harus dubuat yang realistik,dan dapat diwujudkan dalam tingkah laku nyata dan merupakan harapan yang dicapai.
Tingkah laku yang sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang sukses.kesuksesan pribadi dicapai dengan menanamkan nilai-nilai tanggung jawab yang penuh atas kesadaran dirinya sendiri.
D. Manfaat Pembahasan
DI.
Mendorong klien untuk bertanggung jawab serta memikul resiko yang ada dari tanggung jawab tersebut.tanggung jawab yang dimintakan kepada klien harus sesuai dengan kemampuan dan keinginannya dalam perkembangan dan pertumbuhannya .terapi bermanfaat untuk kedisiplinan dan rsa tanggung jawab atas kesadaran diri klien sendiri.
Menekankan konsep tangguing jawab, agar klien dapat berguna bagi dirinya dan bagi orang lain melaluiperwujudan dari tingkah lakunya yang nyata.
BAB II
D.
DI. KAJIAN TEORI DAN PEMBAHASAN
A. Penulisan Biografi
Dr. Glesser adalah seorang dokter jiwa yang terbaik dikenal sebagai pengarang Therapy reality, suatu metode psikoterapi yang ia menciptakan di tahun 1965 dan itu kini diajar seluruh penjuru dunia.
yang dilahirkan Di tahun 1925 dan yang diangkat di Cleveland, Ohio, Dr. Glesser pada awalnya seorang Insinyur Bahan kimia tetapi memasuki psikiatri. Ia menghadiri sekolah medis pada Kasus Cadangan Barat Universitas di Cleveland, dan mengambil pelatihan psikiatris nya di Veteran Administrasi Rumah sakit di Los Angeles Barat dan UCLA ( 1954-57). Ia menjadi [Papan/Meja] Bersertifikat di (dalam) 1961 dan *apakah sendirian praktek dari 1957 [bagi/kepada] 1986.
Alur Glasser's telah (menjadi) salah satu dari suatu kemajuan berkelanjutan dari pribadi praktek untuk memberi kuliah dan menulis dan akhirnya memuncak di (dalam) penerbitan (di) atas duapuluh buku. Setelah menulis menasihati buku, Kenyataan Therapy ( 1965), ia menerbitkan buku [yang] pertama nya pada [atas] pendidikan, Sekolah tanpa Kegagalan ( 1969), sangat memperluas pemahaman perilaku dan motivasi dengan Pilihan Teori ( 1998), dan kemudian menambahkan, Memperingatkan: Psikiatri Dapat Penuh resiko ke Mental Mu Kesehatan ( 2003), untuk membantu masyarakat meningkatkan kebahagiaan dan kesehatan mental mereka. Di (dalam) 2005 ia memproduksi suatu buklet, Melukiskan Mental Kesehatan sebagai Kesehatan masyarakat Isu untuk menyediakan suatu sumber daya baru untuk para profesional kesehatan mental. Yang akhirnya, di 2007, Delapan Pelajaran untuk suatu Perkawinan Lebih bahagia, yang ia co-authored dengan isteri nya, Carleen, menjadi buku yang ketiga nya untuk membantu kopel belajar perkakas penting untuk meningkat;kan hubungan mereka.
Dr. Glasser’S pendekatan tidak tradisional. Ia tidak percaya akan konsep sakit ingatan kecuali jika ada sesuatu yang secara organis TERPOTONG. ALINEA TERLALU BESAR.
B. Kajian Teori
Paul Meier, dkk., mengatakan bahwa terapi realitas tampaknya memiliki pengaruh yang besar terhadap konseling karena menekankan tanggung jawab individu dan berusaha membedakan apa yang benar dan salah. Para psikoterapis umumnya hanya menyerukan dengan lantang kepada konseli untuk menghadapi kenyataan, melakukan yang terbaik dan bertanggungjawab, namun mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar klien. Karena itu seorang konselor Kristen, juga berusaha memenuhi kebutuhan dasar konseli: kasih dan rasa berharga (love and self-worth).
Apabila kebutuhan-kebutuhan konseli sebagaimana dikemukakan di atas merupakan tujuan yang hendak dicapai dalam terapi realitas maka hal itu sedikit banyak dapat tercapai bila dilakukan oleh para konselor. Oleh karena hanya melalui relasi yang intim, seorang konselor dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia. Kasih tanpa syarat kepada konseli bukan kasih yang bersifat temporer dan situasional; bukan hanya kasih karena keprihatinan kita kepada klien sebagai sesama kita melainkan harus dilandasi kasih yang rela menerima apa adanya tanpa tendensi balas budi atau pamrih.
Sebagaimana ditekankan oleh Gary Collins bahwa masyarakat merupakan sebuah kelompok terapis, tidak hanya terbatas pada pertemuan-pertemuan antara sesama konseli atau antara konseli dengan konselor yang terlatih, tetapi mencakup para keluarga, kelompok studi, sahabat yang dapat dipercaya, rekan profesional, kelompok karyawan mapun sejmlah orang yang seringkali menyediakan bantuan yang diperlukan baik pada masa-masa krisis, maupun pada saat individu menghadapi tantangan hidup sehari-hari. Orang-orang percaya dapat memberikan dukungan (support) kepada anggota-anggotanya, menyembuhkan mereka yang sedang menghadapi masalah, serta membimbing orang ke arah pengambilan keputusan untuk melangkah maju ke arah kedewasaan .
Berdasarkan pemikiran tersebut maka signifikansi selektif terapi realitas yang dapat digunakan dalam pelayan konseling , antara lain:
1 Perubahan perilaku. Glasser beranggapan bahwa perilaku yang tidak bertanggungjawab dari seorang konseli sebagai penyebab gangguan mental sebenarnya sejalan dengan asumsi konseling. Larry Crabb mengatakan bahwa manusia bertanggungjawab untuk percaya pada kebenaran yang akan menghasilkan perilaku yang bertanggungjawab yang akan menyediakan baginya makna, pengharapan dan kasih yang berfungsi sebagai penuntun kepada hidup yang lebih efektif dengan orang lain sebagaimana dengan dirinya sendiri. Crabb lebih lanjut mengatakan bahwa manusia tidak bertanggungjawab dalam hidupnya karena berusaha untuk mempertahankan diri terhadap rasa tidak aman dan tidak signifikan . Kebutuhan akan rasa aman: kasih tanpa syarat, diterima telah dijamin oleh Tuhan. Perubahan perilaku ditekankan agar orang percaya tidak menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubah oleh pembaruan budi.
2 Berpatokan pada nilai benar dan salah. Konseling terhadap individu yang mengalami berbagai persoalan kehidupan dewasa ini harus tetap berpatokan dan menjunjung tinggi nilai benar dan salah. Agaknya persoalan etis tidak diabaikan dalam konsep terap realitas. Sebab itu dalam pelayanan konseling bilamana terindikasi bahwa persoalan diakibatkan oleh masalah etika dan tatanilai, maka konseli harus didorong untuk bertanggungjawab dengan memperhatikan nilai benar dan salah. Bilamana persoalan yang dialaminya diakibatkan oleh dosa maka ia patut dibimbing untuk memohon pengampunan dan tidak menjadikan gangguan mental sebagai alasan untuk melanjutkan perilaku keberdosaannya
3 Pengalaman masa lalu konseli tidak boleh dijadikan alasan dalam menghadapi realitas kehidupan. Terapi realitas menolak mengaitkan masa lalu dengan rasa bersalah (guilty feelings), maka hal ini merupakan sesuatu yang positif agar konseli berani melangkah menghadapi kenyataan sekarang. Demikian pula masa lalu seseorang yang meninggalkan trauma bisa dihindari dengan cara konselor membantu konseli untuk melupakan pengalaman buruk di masa lampau . Misalnya, orang yang pernah mengalami pemutusan hubungan kerja harus ditolong untuk menyingkirkan trauma itu. Ia tidak boleh beranggapan bahwa bila bekerja lagi pasti akan kena PHK sehingga ia memilih untuk berdiam diri dan menyesali nasib. Konselor perlu memotivasinya untuk mencari pekerjaan baru demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegagalan di masa lampau tidak seharusnya menjadi alasan untuk menghindari realitas kehidupan. Meskipun begitu, Gary Colins mengingatkan bahwa pengalaman-pengalaman hidup masa lalu (past life experiences), terutama peristiwa-peristiwa yang terjadi di usia dini, acapkali menambah angka stress yang menimbulkan suatu krisis. Sebagai seorang konselor, kita harus menolong konseli untuk memahami bahwa ia memiliki kemampuan untuk mengontrol jalan hidupnya, tetapi ia tidak harus dibanjiri oleh perasaan ketiadaan harapan dan tidak bisa ditolong.
4 Terapi realitas menolak alasan pembenaran terhadap perbuatan tertentu sangat positif untuk dijadikan perhatian dalam konseling. Kecenderungan untuk mencari kambing hitam dengan menuding orang lain atau mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatannya harus ditolak. Contoh, seorang suami yang berselingkuh dengan wanita lain tidak selayaknya menggunakan alasan “khilaf” untuk membenarkan perbuatannya. Ia tidak boleh menjadikan kekurangan istrinya, atau ketidak-harmonisan rumahtangga sebagai alasan perbuatan yang dilakukannya.
5 Pemikiran terapi realitas yang memfokuskan upaya pertolongan kepada konseli agar dapat memahami dan menerima keterbatasan dirinya perlu dikembangkan dalam konseling Kristen. Sebagai contoh, orangtua yang tidak mampu secara ekonomi dan finansial untuk menyekolahkan anak-anaknya kerap tidak mau menerima dirinya sebagai orang yang kurang mampu demi gengsi. Bahkan ia akan menolak bantuan yang diberikan dengan tulus oleh pihak lain (donatur,dll.) terhadap dirinya atau keluarganya. Konseli seperti ini perlu disadarkan akan pentingnya kejujuran terhadap diri sendiri dan terbuka terhadap pertolongan Tuhan yang disalurkan melalui orang lain.
6 Melalui terapi realitas konseli dibantu untuk merubah cara berpikir dan paradigma lama yang dianutnya dengan kukuh. Cara berpikir, paradigma yang dianut, serta sikap kaku yang cenderung menutup diri terhadap realitas yang tumbuh dan berkembang di sekitar kita acapkali menjadi pemicu lahirnya berbagai konflik menyangkut sistem nilai, dan sebagainya.
7 Oleh karena terapi realitas juga menggunakan teknik konfrontasi, yang sejalan dengan konseling nouthetis sebagaimana digunakan secara luas oleh Jay Adams, maka hal ini dapat digunakan dalam mengkonseling klien yang mengalami persoalan karena dosa. Konfrontasi diharapkan dapat mengoreksi kesalahan konseli dan membantu dia mengubah perilaku berdasarkan pengajaran yang diberikan kepadanya.
Terapi realitas yang menekankan kelakuan konseli yang bertanggungjawab terhadap realitas, perbuatan baik dan tanggungjawab; pada dasarnya erat kaitannya dengan pemenuhan lima kebutuhan dasar manusia yang dibuat oleh Abraham Maslow, sebagaimana dikutip oleh Larry Crabb, yaitu:
kebutuhan fisik (physical): adalah unsur-unsur penting untuk memelihara kehidupan fisik manusia (makan-minum,tempat tinggal, dsb).
Rasa aman (security/physical security): kayakinan bahwa kebutuhan fisik kita akan tersedia pada hari esok.
Kasih (love): yang disebut rasa aman oleh Crabb.
Tujuan: signifikansi (Crabb)
Aktualisasi diri: ekspresi kualitas terbaik manusia: mengembangkan diri secara penuh, kreatif, ekspresi diri pribadi.
Dalam mengadopsi terapi realitas para konselor hendaknya tetap berpatokan pada apa yang sebagai dasar proses konseling. Terapi realitas menjadi instrumen pendukung di mana konseli ditolong untuk meninggalkan pengalaman masa lalu yang merupakan penghalang baginya agar mampu bangkit untuk menyongsong masa depan yang disediakan Tuhan. Sebagaimana pengalaman Yeremia yang terus menerus meratap dan berdukacita atas hukuman yang datang silih berganti atas umat Tuhan, akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa: “Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!”. Ketika Yeremia mencoba berdiri di masa lalu maka yang ia hadapi adalah kesengsaraan dan tekanan dalam diri/tekanan batin. Namun pada saat ia menyadari hal itu dan mulai beralih pada sikap penuh harap dan optimis.
Dengan menggunakan terapi realitas seorang konselor menolong konseli untuk dapat mengatasi persoalan kehidupan yang dihadapi dan secara bertanggungjawab melakukan hal-hal yang baik bagi dirinya berdasarkan realita yang dihadapinya. Dengan begitu maka diharapkan akan terjadi pemulihan dalam diri konseli untuk kembali menemukan signifikansi dan aktualisasi diri.
Upaya pertolongan demikian dapat diberikan kepada anggota jemaat yang sedang menghadapi kesulitan. Sebagai contoh, pertolongan yang hendak dilakukan oleh seorang konselor terhadap seorang suami yang sedang tidak memiliki pekerjaan. Kepada klien tersebut dibimbing untuk menerima kenyataan bahwa ia sedang tidak bekerja (jobless) sehingga dengan sendirinya ia tidak memiliki penghasilan pula. Di sisi lain ia harus diingatkan untuk bertanggungjawab terhadap anggota keluarganya. Hal terbaik yang dapat dilakukannya adalah mencari pekerjaan atau melakukan pekerjaan apa saja, yang penting halal untuk menghidupi keluarganya. Sementara proses pertolongan demikian dilakukan, seorang konselor Kristen pada waktu bersamaan membangun kembali identitas diri sang suami agar ia tidak merasa minder, tidak mandek (burn-out) apalagi merasa tidak berguna lagi sebagai seorang suami yang gagal menghidupi keluarganya. Seorang konselor menjadi mediator baginya untuk menghubungkan dengan klien yang memiliki peluang untuk merekrut atau mempekerjakan orang tersebut. Atau paling tidak ia dapat menghubungkan dengan pihak-pihak lain yang kemungkinan bisa menolongnya keluar dari krisis kehidupan yang dialaminya.
Dalam pelayanan contoh kasus yang dapat ditangani melalui terapi realitas beraneka ragam. Misalnya: seorang mahasiswa teologi yang suka menyontek, harus bertanggungjawab atas perilakunya dengan menerima sanksi akademis tertentu dan berjanji untuk tidak mengulanginya di masa mendatang. Ia harus menyadari pula bahwa hal menyontek adalah salah. Seorang konselor yang temperamental harus menerima kenyataan bahwa klien pindah ke konselor lain, atau menerima kenyataan bahwa ia tidak diminati klien. Ia harus merubah perilaku tersebut.
Pada kasus lain di mana seorang mantan direktur yang jatuh bangkrut, diliputi oleh rasa putus asa sehingga tidak lagi mau melakukan apapun demi kehidupannya dan keluarganya. Permasalahannya adalah bahwa ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia sekarang miskin, bukan lagi direktur yang memiliki segala-galanya. Gaya hidupnya masih ingin dipertahankan sebagai orang kaya: hidup mewah, makan enak, foya-foya, dsb. Padahal ia tidak lagi memiliki penghasilan untuk yang memadai untuk mendukung gaya hidup seperti itu. Tragisnya, mantan direktur ini tidak mau menerima tawaran pekerjaan dari konselor yang ingin membantunya keluar dari krisis yang dihadapinya, bila gaji yang akan diterimanya tidak setara dengan apa yang pernah diterimanya sebagai seorang direktur. Dalam kasus ini agaknya terapi realitas sangat relevan untuk menolong klien tersebut agar dapat menerima realita yang kini berada di pelupuk matanya.
Kasus-kasus konseling sebagaimana dikemukakan di atas mewakili sekian banyak permasalahan konseling yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari akhir-akhir ini. Dalam kaitan tersebut Singgih D. Gunarsa menandaskan bahwa terapi realitas bertujuan untuk memberikan kemungkinan dan kesempatan kepada klien untuk bisa mengambangkan kekuatan-kekuatan psikis yang dimilkinya untuk menilai perilakunya sekarang dan apabila perilakunya tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, maka perlu memperoleh perilaku baru yang lebih efektif. Perilaku yang dimaksud adalah kebutuhan dasar manusia, yakni :kasih sayang dan merasa diri berguna (love & self-worth). Terapi dengan menggunakan pendekatan terapi realitas secara aktif membantu klien memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Langkah-langkah yang dilakukan dalam realitas terapi adalah membangun relasi yang hangat, pribadi dan bersahabat antara konselor dengan konseli yang diwarnai pula oleh sikap saling memahami dan menerima. Keuntungan dari terapi realitas tampaknya terletak pada jangka waktu terapi yang relatif singkat dan berurusan dengan masalah-masalah tingkah laku sadar. Konseli diperhadapkan pada keharusan mengevaluasi tingkah lakunya sendiri dan membuat pertimbangan nilai.
Di samping itu terapi realitas menekankan agar orang bertanggungjawab atas perilakunya, melihatnya secara kritis, bertanggungjawab atas perbuatannya, serta berjanji untuk mengubahnya. Konseli harus berani menghadapi situasi saat ini daripada berupaya menghindarinya dengan cara yang destruktif.
Klien sebagai anggota masyarakat yang juga tidak luput dari imbas krisis multi dimensi pada dasarnya membutuhkan pertolongan agar mereka mampu menghadapi kenyataan serta menemukan jalan keluar dari problema kehidupan yang melilitnya. Dalam situasi seperti ini sebagai seorang hamba Tuhan, para konselor dan terapis harus berusaha memberikan pertolongan kepada mereka untuk berani menghadapi realitas kehidupan ini serta dapat mengatasi persoalan kehidupan yang dialaminya. Perilaku yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan perlu pula diubah yang memungkin konseli mengetahui kehendak Tuhan bagi dirinya. Lebih daripada semuanya itu terapi realitas merupakan sinergi antara konselor dan konseli sesuai dengan tujuan konseling yakni agar konseli menemukan kembali pemulihan jatidirinya .
C. Pembahasan Penggunaan Terapi Realita
Jika konseling dipandang sebagai sebuah proses pertolongan kepada konseli agar mampu mengatasi persoalan yang dihadapinya, maka kita dapat menggunakan sumber-sumber maupun instrumen konseling yang memadai untuk tujuan dimaksud. Dari antara sejumlah metode terapi dan konseling yang telah dirumuskan oleh para ahli, salah satu di antaranya yang dapat digunakan dalam konteks ini adalah terapi realitas (reality therapy) Terapi realitas dapat digunakan sebagai alternatif pelayanan kepada anggota jemaat yang bermasalah. Tentu dengan menyeleksi unsur-unsur positif yang terkandung di dalamnya dan menyingkirkan pokok pemikiran yang tidak sesuai dengan iman Kristen.
Sehubungan dengan hal itu, Gerald Corey dalam bukunya, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, mengatakan bahwa terapi realitas adalah suatu sistem yang difokuskan kepada tingkah laku sekarang. Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta mengkonfrontasikan klien dengan cara-cara yang bisa membantu menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Inti terapi realitas adalah penerimaan tanggung jawab pribadi, yang dipersamakan dengan kesehatan mental. Terapi realitas yang menguraikan prinsip-prinsip dan prosedur-prosedur yang dirancang untuk membantu orang-orang dalam mencapai suatu “identitas keberhasilan” dapat diterapkan pada psikoterapi, konseling, pengajaran, kerja kelompok, konseling perkawinan, pengelolaan lembaga dan perkembangan masyarakat. Terapi realitas meraih popularitas di kalangan konselor sekolah, para guru dan pimpinan sekolah dasar dan menengah, dan para pekerja rehabilitasi.
Sedangkan menurut Paul D. Meier, dkk., terapi realitas yang diperkenalkan oleh William Glasser memusatkan perhatiannya terhadap kelakuan yang bertanggung jawab, dengan memperhatikan tiga hal (3-R): realitas (reality), melakukan hal yang baik (do right), dan tanggungjawab (responsible).
Individu harus berani menghadapi realitas dan bersedia untuk tidak mengulangi masa lalu. Hal penting yang harus dihadapi seseorang adalah mencoba menggantikan dan melakukan intensi untuk masa depan. Seorang terapis bertugas menolong individu membuat rencana yang spesifik bagi perilaku mereka dan membuat sebuah komitmen untuk menjalankan rencana-rencana yang telah dibuatnya. Dalam hal ini identitas diri merupakan satu hal penting kebutuhan sosial manusia yang harus dikembangkan melalui interaksi dengan sesamanya, maupun dengan dirinya sendiri. Perubahan identitas biasanya diikuti dengan perubahan perilaku di mana individu harus bersedia merubah apa yang dilakukannya dan mengenakan perilaku yang baru. Dalam hal ini terapi realitas dipusatkan pada upaya menolong individu agar dapat memahami dan menerima keterbatasan dan kemampuan dalam dirinya.














BAB III
A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan yeng telah dikemukakan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
a. Konsep konseling tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat berdasarkan therpyy reality, secara umum relevan dengan konsep konseling, hanya istilah penamaan atau terminologi yang berbeda, namun maksudnya selaras.
b. Manusia hakikatnya tidak hanya sebagai makhuk biologis, pribadi, dan sosial, tetapi juga sebagai makhluk religius. Begitu juga dengan pribadi sehat dan tidak sehat, tidak hanya mampu atau tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan, tetapi juga terhadap Tuhan.
c. Satu hal yang berbeda secara mendasar, yaitu sifat pembawaan dasar manusia. Konsep konseling seperti yang dikemukakan oleh Freud menyatakan bahwa potensi dasar manusia yang merupakan sumber penentu kepribadian adalah insting.
d. Manusia itu pada hakikatnya adalah makhluk yang utuh dan sempurna, yaitu sebagai makhuk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius . Manusia sebagai makhluk religius meliputi ketiga komponen lainnya, yaitu manusia sebagai makhluk biologis, pribadi dan sosial selalu terikat dengan nilai-nilai religius.

B.Saran
Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, konsep konsling therapy reality, pribadi sehat dan pribadi tidak sehat merupakan konsep yang sudah lengkap dan final dan dapat mewakili nilai secara utuh, maka untuk melengkapi dan menyempurnakan kajian ini disarankan kepada peneliti lain untuk meneruskan menggali dan meneliti konsep konseling therapy reality, baik memperluas atau memperdalam kajian dalam topik yang sama, atau meneruskan kepada konsep-konsep konseling yang lain, seperti proses terapiotik atau aplikasi prosedur dan teknik konseling.
DAFTAR PUSTAKA
Collins, Gary R. Christian Counseling. A Comprehensive Guide (Waco, Texas: Word
Books, 1980).
_____________ (ed). Counseling in Times of Crisis (Dallas-London-Singapore: Word
Books, 1987).
Corey, Gerald. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (terj.) (Bandung: Eresco,
1988).
Crabb, Lawrence J. Effective Biblical Counseling (Grand Rapids-Michigan: Zondrvan
Pub. House, 1977).
Gunarsa, Singgih D. Konseling dan Psikoterapi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992)
Meier, Paul et.al. Introduction to Psychology & Counseling (Grand Rapids-Michigan:
Baker Book House, 1988

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Manaqib KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin

  Manaqib Syekh KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin Penulis Arif Riduan, S.Sos.I Alumni ponpes Nurul Janna...