Rabu, 12 Juni 2013

hukum ( ushul fiqih )


HUKUM ( USHUL FIQIH )
ARIF RIDUAN

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang        
Seperti kita ketahui, Al-Qur’an dan Hadits yang sampai kepada kita masih otentik dan orisinil.  Orisinilitas dan otentisitas didukung oleh penggunaan bahasa aslinya, yakni bahasa Arab karena Al-Qur’an dan Hadits merupakan dua dalil hukum, yakni petunjuk-petunjuk adanya hukum.
Pembahasan masalah hukum, mahkum fih, mahkum ‘alaih, beserta hakimnya sangant penting untuk dibicarakan karena sangat erat kaitannya dalam kehidupan sehari-hari.

Rumusan Masalah
1.      Jelaskan tentang bentuk-bentuk hukum!
2.      Apa saja syarat-syarat mahkum fih?
3.      Apa yang dimaksud dengan hakim?
4.      Apakah objek dari mahkum fih?








BAB II
PEMBAHASAN

A.      HUKUM
1.    Pengertian Hukum
Mayoritas ulama ushul mendefinisikan hukum sebagai berikut:



Artinya:  “Kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik, bersifat imperative, facultative atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang”.
Yang dimaksud Khittab Allah dalam definisi tersebut adalah semua bentuk dalil, baik Al-Qur’an, As-Sunnah maupun yang lainnya, seperti Ijma’ dan Qiyas.  Yang dimaksud dengan yang menyangkut perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa yang berakal sehat meliputi perbuatan hati, seperti niat dan perbuatan ucapan.
Yang dimaksud dengan imperative (iqtidha) adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu yakni memerintah atau tuntutan untuk meninggalkannya yakni melarang, baik tuntutan itu bersifat memaksa maupun tidak.  Sedangakan yang dimaksud tahyir (fakultatif) adalah kebolehan memilih antara melakukan sesuatu atau meninggalkannya dengan posisi yang sama.
2.    Pembagian Hukum
Hukum menurut ulama ushul terbagi dalam dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
a.         Hukum Taklifi
1)   Pengertian Hukum Taklifi
Hukum Taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkannya[1].  Hukum taklifi dimaksudkan menyuruh memilih diantara memperbuat dan menghentikan.  Bentuk ini jelas tentang apa yang diminta dari mukallaf itu yaitu memperbuat atau menghentikannya[2].
2)   Bentuk-Bentuk Hukum Taklifi
     Terdapat dua golongan ulama dalam menjelaskan bentuk-bentuk hukum taklifi.  Pertama, bentuk-bentuk hukum taklif menurut Jumhur ulama Ushul Fiqh/mutakallimin.  Menurut mereka bentuk-bentuk hukum tersebut ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah, dan tahrim.  Kedua, bentuk-bentuk hukum taklifi seperti iftirad, ijab, nadb, ibahah, karahah tanzhiliyah, karahah tahrimiyyah dan tahrim.
a)        Ijab
       Yaitu tuntutan syar’I yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan, orang yang meninggalkan dikenakan sangsi.
b)        Nadb
       Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya, orang yang meninggalkannyatidak dikenakan sangsi.
c)        Ibahah
       Yaitu khithab Allah yang bersifat fakultatif, mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat secara sama.
d)       Karahah
       Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa.
e)        Tahrim
       Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa.[3]
b.        Hukum Wadh’i
Adapun hukum Wadh’I yaitu apa yang berlaku menempatkan suatu sebab bagi sesuatu atau syarat untuknya atau yang melarang daripadanya.  Hukum wadh’I adalah firman Allah swt. yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
Macam-Macam Hukum Wadh’i
1.        Sebab
       Menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain.  Berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada sesuatu tujuan.  Menurut istilah adalah suatu sifat yang dijadikan syar’I sebagai tanda adanya hukum.
2.        Syarat
       Yaitu sesuatu yang berada diluar hukum syara’ tetapi keberadaan hukum syara’ bergantung kepadanya.  Apabila syarat tidak ada maka hukum pun tidak ada, tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’.
3.        Mani’ (penghalang)
       Yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab.  Keterkaitan antara sebab, syarat, dan mani’ sangat erat.  Penghalang itu ada bersamaan dengan sebab dan terpenuhinya dan terpenuhinya syarat-syarat.  Syar’I menetapkan bahwa suatu hukum yang akan dikerjakan adalah hukum yang ada sebabnya, memenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalang (mani’) dalam melaksanakannya.
4.        Shihhah
       Yaitu suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’, yaitu terpenuhinya sebab syarat dan tidak ada mani’.
5.        Bathil
       Yaitu terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya.
6.        ‘Azimah dan Rukhshah
       ‘Azimah adalah hukum-hukum yang disyari’atkan Allah kepada seluruh hamba-Nya sejak semula.  Rukhshah yaitu apa yang disyariatkan Allah, dari hal hukum-hukum yang meringankan kepada mukallaf dalam hal-hal yang khusus memperlakukan keringanan.
B.       MAHKUM FIH
1.          Pengertian Mahkum Fih
        Mahkum Fih adalah perbuatan yang dikenai hukum.  Menurut ulama ushul fiqh, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’I (Allah dan Rasul-Nya) baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah, serta batal.
        Para ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syar’I itu ada objeknya, yakni perbuatan mukallaf.  Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkanlah suatu hukum, misalnya:
a.       Firman Allah swt. Dalam surat Al-Baqarah : 43

Artinya : Dirikanlah shalat…
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yakni tuntutan untuk mengerjakan shalat, atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan shalat.
b.      Firman Allah swt. Dalam surat Al-An’am : 151


Artinya :   janganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak, maka membunuh tanpa haq itu hukumnya haram.
2.         Syarat-syarat Mahkum Fih
a.         Mukallaf mengetahui secara sempurna perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia lakukan.
b.        Mukallaf mengetahui dengan baik sumber taklif suatu perbuatan yang akan ia laksanakan, sehingga pelaksanaannya merupakan ketaatan dan kepatuhan terhadap perintah Allah.
c.         Perbuatan itu mungkin dikerjakan atau ditinggalkan oleh mukallaf.
       Berkaitan dengan hal ini, terdapat beberapa syarat antara lain :
1)        Jumhur ulama ushul fiqh menyatakan bahwa tidak boleh ada taklif  terhadap sesuatu yang mustahil baik kemustahilan itu dilihat pada zatnya maupun kemustahilan itu dilihat dari luar zatnya.
2)        Para ahli ushul fiqh menyatakan bahwa tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas nama orang lain, karena hal ini adalah taklif yang bukan kepada dirinya.  Oleh sebab itu, seseorang tidak dibebani kewajiban untuk mengerjakan shalat buat saudaranya, membayarkan zakat dari hartanya sendiri untuk dan atas nam a saudaranya.
3)        Tidak sah menurut syara’, membebankan perbuatan yang bersifat fithri, yang manusia tidak turut campur didalamnya dan terhadap perbuatan itu manusia tidak mempunyai hak pilih (ikhtiar), seperti sikap marah, benci, takut, gembira dan lainnya.
C.       MAHKUM ‘ALAIH
1.         Pengertian Mahkum ‘Alaih
       Mahkum ‘Alaih adalah orang mukallaf yang berkewajiban menjalankan hukum dan tanggung jawab hukum, sadar dan merdeka.  Dalam hal ini orang yang tidak sadar, misalnya : gila, tertidur dan lupa, demikian pula anak kecil tidak termasuk subyek hukum.  Mahkum ‘alaih yaitu, perbuatan mukallaf yang menyangkut hukum syari’.
       Para ulama ushul fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum ‘alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah Ta’ala, yang disebut dengan mukallaf.  Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum.  Dalam ushul fiqh, istilah mukallaf disebut juga mahkum ‘alaih (subjek hukum).  Orang mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangannya.
2.         Taklif
a.    Dasar Taklif
     Seorang manusia belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia cakap untuk bertindak hukum.  Untuk itu, para ulama ushul fiqh, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum tersebut adalah akal dan pemahaman.  Maksudnya, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya.
b.    Syarat-Syarat Taklif
1)        Orang itu telah mampu memahami khithab Syar’I  (tuntutan syara’) yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain,
2)        Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqih disebut dengan ahliyah.
3.         Ahliyyah
a.    Pengertian ahliyyah
     Secara harfiyah, ahliyyah berarti kecakapan menangani suatu urusan.
b.    Pembagian ahliyyah
Menurut para ulama ushul fiqih, ahliyyah terbagi dalam dua bentuk, yaitu:
1)        Ahliyyah ada’
       Yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negative.
2)        Ahliyyah al-wajib
       Yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban.
c.    Halangan ahliyyahulama ushul fiqh menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa beubah disebabkan hal-hal berikut:
a)    Awaridh as-samawiyah, yaitu halangan yang datangnya Allah bukan disebabkan perbuatan manusia, seperti gila, dungu, perbudakan, mardh maut, dan lupa.
b)   Awaridh al-muktasabah, maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, bersalah, berada di bawah pengampunan dan bodoh.
D.           HAKIM
1.        Pengertian Hakim
       Bila ditinjau dari segi bahasa, hakim mempunyai dua arti, yaitu:
       Pertama,:



       Artinya:
       Pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum”.

       Kedua:




Artinya:
“Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan”.
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa hakim adalah syari’at yang turun dari Allah swt.  Yang dibawa oleh Rasulullah saw.
2.        Tahsin dan Taqbih
Al-Husnu adalah segala perbuatan yang dianggap sesuai dengan tabiat manusia, misalnya tentang rasa manis dan menolong orang yang celaka.  Sedangkan  qabih adalah segala sesuatu yang tidak sesuai dengan sifat tabiat manusia, misalnya menyakiti orang lain.
3.        Kemampuan akal mengetahui syari’at
Para ulama trbagi kepada tiga golongan dalam menentukan kemampuan akal untuk menentukan hukum sebelum turunnya syari’at:
1)        Menurut ahlu sunnah wal jamaah, akal tidak memiliki kemampuan untuk menentukan  hukum, sebelum turunnya syari’at.
2)        mu’tazilah berpendapat bahwa akal bisa menentukan baik-buruknya suatu pekerjaan sebelum datangnya syara’ meskipun tanpa perantara kitab samawi dan rasul.
3)        Golongan Maturidiyah berusaha menengahi kedua pendapat di atas.  Mereka berpendapat bahwa perkataan atau perbuatan itu adakalanya baik atau buruk pada zatnya.














BAB III
PENUTUP

1.             Kesimpulan

·           Hukum adalah Kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik, bersifat imperative, facultative atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang.
·           Hukum dibagi dalam dua macam, yaitu:
1.         Hukum taklifi
2.         Hukum wadhi’
·           Mahkum Fih yaitu perbuatan yang dikenai hukum. 
·           Syarat-syarat mahkum fih yaitu:
1.         Mukallaf mengetahui secara sempurna perbuatan yang akan dilakukan.
2.         Mukallaf mengetahui dengan baik sumber taklif suatu perbuatan yang akan            ia laksanakan.
3.         Perbuatan itu mungkin dikerjakan atau ditinggalkan oleh mukallaf.
·           Mahkum ‘alaih adalah orang mukallaf yang berkewajiban menjalankan hukum dan tanggung jawab hukum, sadar dan merdeka.
·           Hakim adalah syari’at yang turun dari Allah swt. Yang dibawa oleh Rasulullah saw.
.







DAFTAR PUSTAKA


Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Rineka Cipta, Tanpa Tahun.
Khallaf, Syekh, Abdul, Wahab, 1993, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Rineka cipta.
Haroen, Nasrun, 1997, Ushul Fiqh,  Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Syafe’I, Rachmat, 2007, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia.



[1] Rahmat Syafi’I, Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia Bandung, 2007 hlm 295-296.
[2] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Rineka Cipta Jakarta, 2005 hlm 121.
[3] opcit

1 komentar:

Manaqib KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin

  Manaqib Syekh KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin Penulis Arif Riduan, S.Sos.I Alumni ponpes Nurul Janna...