Senin, 11 Desember 2017

Sekelam Malam, Sehitam Batubara - Naskah Teater Monolog Karya Y.S. Agus Suseno

pemeran teater monolog sekelam malam, sehitam batubara - dipentaskan di Banjarmasin - foto Arif Riduan
Naskah Teater Monolog Y.S. Agus Suseno
ingat !!!!
Pementasan harus seizin penulis, melalui pangayauan@gmail.com

 
(TENGAH MALAM. DI TEPI JALAN RAYA. DI DEPAN RUMAH MAKAN YANG SUDAH TUTUP. SEORANG WANITA GELISAH. BERJALAN MONDAR-MANDIR. SESEKALI MELINTAS SOROT LAMPU MOTOR, MOBIL, BIS, TRUK ANGKUTAN DAN SIRINE AMBULANS.)
Aduuuh... Ke mana dia? Habis jualan di pasar tungging katanya tadi dia mau menjemput, usai aku kerja di Rumah Makan Ma Haji ini. Jangan-jangan dia men-zenith dan mabuk-mabukan lagi dengan preman pasar itu. Handphone-nya tidak aktif. Aduuuh...
Mungkin almarhum Mama benar, aku terlalu cepat menerima Kak Udin sebagai suami. Tapi bagaimana lagi? Dia masih terbilang sepupu. Dialah yang menyelamatkan muka keluarga ketika aku hamil, mengandung benih Kak Amat.
Ah, Kak Amat... Mengapa jalan hidup dan cintaku berliku-liku? Apakah ini takdir? Tidak. Almarhum Abah mungkin benar. Dulu, sambil mengantar dan menjemputku di sekolah, Abah bilang: Kakek melihat ada sesuatu yang aneh saat aku lahir. Bidan kampung sempat bingung. Kata Kakek, dibandingkan dengan cucunya yang lain, cuma aku yang tidak menangis saat dilahirkan.
Ketika Abah bertanya, Kakek buru-buru menanam tembuniku di bawah pohon kenanga di halaman rumah. Abah bercerita saat hujan deras, ketika kami berteduh di gardu, di bawah pohon besar di pinggir jalan. Tubuhku menggigil kedinginan. Abah mengusap rambut dan bajuku yang basah, bercerita tentang masalah yang dihadapinya bersama warga, yang dipaksa menjual kebun karet warisan Kakek pada perusahaan tambang batu bara.
Abah menyayangiku. Aku anak perempuan satu-satunya. Saudaraku yang lain tak sempat lahir ke dunia. Mama sering keguguran. Usahanya membantu Abah menyadap karet di kebun peninggalan Kakek yang kecil telah merusak janinnya. Naik-turun gunung setiap hari, setiap subuh, sebelum fajar menyingsing, membuat kesehatan Mama memburuk. Kalau asmanya kumat, Mama hampir tak bisa bernapas.
Mama meninggal bersama janinnya saat melahirkan... Kenangan yang menyiksa... (Gelisah.) Hei, ke mana dia? Seharusnya dia sudah datang! Jangan-jangan dia mampir ke warung jablay dan menggoda perempuan nakal itu lagi, pandayangan! Bagaimana aku pulang?
Ah, Kak Amat... Lelaki pertama dalam hidupku. Dia pandai membuat aku tertawa. Tahu cara menyenangkan wanita. Pandai sekali mencium. Awalnya, dia bekerja di tambang batu bara, kemudian jadi musuhnya.
Kami bertemu pertama kalinya sesudah aku menari gandut bersama kawan-kawan di pesta perkawinan kerabat. Suara musik, canda tawa dan keriuhan itu masih terngiang sampai sekarang... (Larut dalam kenangan, sesaat melakukan gerakan tari gandut.)
Sejak itu, Kak Amat sering datang ke rumah, membawakan obat asma buat Mama, juga gula, kopi dan tembakau buat Abah. Mama-Abah segera takluk. Kak Amat pintar bicara, pandai membawa diri. Enam bulan kemudian dia datang lagi ke rumah dengan mata merah, marah-marah.
Kata Kak Amat, dia dipecat dari pekerjaan karena bertengkar dengan atasannya: “Abah-Mama tahu, kekayaan alam kita dikuras segelintir orang yang bersekutu dengan pengusaha tambang dan pemimpin daerah. Mereka sama saja dengan Belanda, yang tambang batu baranya di Pengaron, Orange van Nassau, dulu diserang Pangeran Antasari! Warga, Tuan Guru dan alim ulama diam saja melihat kekayaan alam kita dikuras. Kita hanya dapat ampas!”
(TIBA-TIBA LAMPU LISTRIK PADAM. DI KEGELAPAN, DIA MENCARI KOREK API DALAM TAS. SAMBIL MENYALAKAN KOREK API, DIA BICARA DI KEGELAPAN.) 
Sialan! Lampu padam lagi! (MENYALAKAN KOREK API.) Pemadaman lagi, lagi, lagi, lagi! Mana aku sendirian di sini. Mana banyak nyamuk. Kak Udin belum juga kelihatan batang hidungnya. (MENYUMPAH.) Hah! (MENYALAKAN KOREK API.) Semoga anakku yang kutitipkan di rumah Acil tidak terbangun dari tidurnya. Dia takut gelap. (MENYALAKAN KOREK API.) Kak Amat pernah bilang: kita seperti tikus mati di lumbung padi. Kita mengirim berjuta-juta ton batu bara untuk menyalakan listrik di pulau lain, di negeri seberang, tapi kita sendiri kekurangan listrik. (MENYALAKAN KOREK API.) Di pelosok-pelosok desa, di pegunungan Meratus dan di pulau-pulau kecil di banua belum ada listrik. Sialan!
(LAMPU LISTRIK TIBA-TIBA MENYALA KEMBALI.)
(MENARIK NAPAS LEGA.) Begitulah Kak Amat. Dia selalu bersemangat. Di lain waktu, saat menemaniku beli baju di pasar, dia bilang:
“Aku bergabung dengan kelompok peduli lingkungan. Kami mau melawan ketidakadilan, arogansi pengusaha dan ketidakpedulian pemimpin daerah terhadap rusaknya alam akibat tambang batu bara dan kebun sawit. Kamu kira banjir dan kebakaran lahan dan hutan yang hampir tiap tahun itu terjadi dengan sendirinya, akibat musim hujan belaka? Bukan! Itu ulah manusia. Alquran sudah mengingatkan hal itu: kerusakan di muka bumi terjadi akibat ulah tangan manusia. Karena letaknya yang rendah, setiap tahun, tiap musim hujan, di beberapa daerah memang terjadi banjir sejak dulu, tapi tidak selalu! Banjir dan kebakaran lahan kian sering terjadi sejak alam rusak akibat tambang batu bara dan kebun sawit. Warung pas dan warung jablay muncul sejalan dengan industri pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit. Separo lebih alam Kalimantan Selatan telah dikuasai tambang batu bara!”
“Tapi perusahaan itu membuka lapangan kerja. Banyak orang kita bekerja di sana,” kataku.
“Orang kita, katamu?” Kak Amat geram. “Orang kita cuma makelar, buruh kasar, pekerja rendah dengan gaji murah. Jagoan kampung, tacut dan tarkul, direkrut jadi centeng, persis zaman kolonial. Pemiliknya orang kita juga, yang bersekutu dengan pemodal nasional dan multinasional serta pemimpin daerah yang bagai lintah, menghisap kekayaan alam banua, persis Pemerintah Hindia Belanda!”
Aku tak begitu paham, tapi semangatnya yang menggebu-gebu membuatku takjub, terpukau, terpesona, terlena. Lalu, aku hamil, Kak Amat tewas tertembak -- atau sengaja ditembak, aku tak tahu -- dalam unjuk rasa mempertahankan tanah ulayat, tanah adat milik warga Dayak Meratus, yang akan dijadikan areal tambang.
Kak Amat mati. Janin di perutku harus diselamatkan. Kak Udin datang sebagai pahlawan. Setelah melahirkan, Kak Udin pula yang mencarikan aku pekerjaan di Rumah Makan Ma Haji ini. Ah, kenangan yang menyiksa... Hidupku sekelam malam, sehitam batu bara... Kak Udin... (Gelisah.) Hei, ke mana dia? Ini sudah jam berapa? Seharusnya dia sudah datang! Dia pasti mampir ke warung jablay dan menggoda perempuan nakal itu lagi, pandayangan! Bagaimana aku pulang?
Lampu Padam
Banjarmasin, 20 September 2017


*(Dipentaskan pada “Teater Monolog Perempuan”, Gedung Balairung Sari, Taman Budaya Kalsel, Banjarmasin, Sabtu, 9 Desember 2017, Pukul 20.40 WITA. Pementasan harus seizin penulis, melalui pangayauan@gmail.com)

Y.S. Agus Suseno - Penulis Naskah/ Budayawan

Senja Kala di Sungai Martapura - Naskah Teater Monolog Karya Y.S. Agus Suseno


pemeran teater monolog Senja Kala Di Sungai Martapura, dipentaskan di Banjarmasin  foto Arif Riduan
Naskah Teater Monolog Y.S. Agus Suseno

ingat !!!!
Pementasan harus seizin penulis, melalui pangayauan@gmail.com
(Seorang wanita tua, berkaca mata, membawa tas dan berdandan ala Eropa. Tidak bertongkat, tapi membawa payung tertutup yang di saat-saat tertentu dipergunakan sebagai tongkat untuk menyangga tubuhnya.)
Di sinilah awal bermula, di sini pula semuanya akan berakhir. Tak ada yang lain. Tembuniku ditanam di bantaran sungai ini, jauh di masa silam, saat alam lingkungan dan segalanya masih sedia kala, ketika nafsu berkuasa, kerakusan dan perilaku manusia yang durjana belum merajalela. Surga seakan turun ke bumi di pagi hari, saat kembang tigarun, rambai, gayam dan jingah merekah; ketika air sungai pasang-surut, ketika ilung hanyut.
Kini segalanya tak lagi sama. Aku bukan lagi remaja yang sedang menuntut ilmu di sekolah kepandaian puteri. Kini tempat sekolahku dulu dinamakan Kompleks Mulawarman. Dulu pemerintah punya pemikiran bagus untuk memajukan pendidikan. Lembaga pendidikan dikumpulkan di satu tempat. Kini tempat itu sudah kacau, antara kompleks pendidikan, pertokoan dan permukiman tak jelas lagi. Ah...
Aku sudah tua, sudah tiba saatnya memilih tempat untuk mati, di sini, di tanah tumpah darahku ini, tempat nenek moyangku menguburkan tembuni. Tembuniku ditanam di sini. Meskipun puluhan tahun tinggal di benua Eropa, aku harus mengembalikan jasadku di tanah kelahiran. Aku tak ingin mengingkarinya, tak ingin dikubur di sana, di negeri empat musim yang jauh, tempat hidup dan cintaku berlabuh.
Eropa yang megah, benua yang serakah, tempat aku menyelamatkan diri bersama keluarga setelah peristiwa tahun ’65. Aku tak tahu apa-apa, hanya murid sekolah kepandaian puteri yang tak paham politik, tapi harus menyelamatkan diri setelah peristiwa tahun ’65.
Keputusan itu tak pernah kusesali. Setelah peristiwa tahun ’65, di sini memang tak terjadi pembantaian dan pembunuhan massal seperti di daerah lain di Indonesia. Tak ada mayat mengapung dan membusuk di Sungai Martapura, entah dibunuh tentara atau organisasi massa. Air sungai tetap mengalir perlahan, keruh dan coklat, pasang-surut, membawa batang pohon mati dan ranting kayu yang hanyut, dari hulu ke kuala.
Orang Banjar yang taat beribadah lebih menghormati Tuan Guru dan alim ulama ketimbang tentara. Apalagi bekas tentara KNIL yang, di masa lalu, setelah penyerahan kedaulatan, justeru jadi Belanda baru. Mantan gerilyawan disingkirkan. Tak ada tempat bagi yang tak berpendidikan. Itulah alasan Ibnu Hadjar dan kawan-kawan melakukan pemberontakan.
Di usia belasan tahun, puluhan tahun lalu, aku harus pergi meninggalkan kampung halaman. Kalau tidak, aku dan Abah akan ditangkap. Organisasi kepanduan yang kuikuti dituduh berafiliasi dengan PKI. Sebelumnya, beberapa pengurus Comite Central PKI telah ditangkap dan dijebloskan ke penjara Teluk Dalam.
Bersama Abah, Mama dan adik-adik, diam-diam, di malam hari, dengan sembunyi-sembunyi kami pergi naik perahu layar di Pelabuhan Lama, menuju Surabaya. Beberapa pekan di sana, teman Abah berniaga yang berhati mulia menyarankan agar kami buru-buru pergi ke Eropa, mencari suaka. Kalau tidak, rezim Soeharto yang otoriter akan menangkap Abah yang dituduh menjadi anggota organisasi terlarang, simpatisan komunis. Nama Abah sudah masuk daftar.
Dari Surabaya, kami naik kapal ke Singapura. Setelah beberapa bulan terkatung-katung di sana, akhirnya kami bisa berlayar ke benua Eropa. Masa-masa awal di Eropa, hidup terlunta-lunta sebagai orang tanpa negara, adalah masa yang penuh derita. Hidup kami perlahan mulai membaik setelah mendapat suaka politik.
Aku tidak dendam pada masa lalu, juga kepada orang yang memfitnah aku dan Abah dahulu. Abah-Mama telah berpulang dengan tenang. Jasadnya ditanam di negeri yang tak mereka cintai, tapi dengan terpaksa harus dihuni. Abah-Mama mencintai kami, anak-anaknya, darah dagingnya. Itulah sebabnya Abah-Mama membawa kami pergi meninggalkan tanah kelahiran ini: untuk keselamatan dan masa depan kami.
Orang yang memfitnah kami telah tiada. Anak-cucunya tak tahu apa-apa. Kemarin aku menemui mereka di tempat tinggalnya. Mereka hanya korban sistem politik yang kejam, yang telah membunuh kemanusiaan.
Ketika akan pergi ke mari tempo hari, adikku yang tinggal di Perancis dan Belanda sempat melarang. “Kakak tidak takut ditangkap?” tanya adikku dalam bahasa Perancis. “Sudahlah, tak usah pergi ke sana. Yang ada cuma sepupu kita, anak saudara Abah dan Mama. Apakah mereka ingat kita? Apakah mereka sudi menerima?”
“Aku sudah kontak mereka melalui e-mail,” kataku. “Jangan khawatir. Presiden Soeharto telah tiada. Aku hanya ingin menjalin tali silaturahmi yang lama putus dengan sepupu kita di Tanah Banjar. Mereka akan kuminta menemani, mendatangi tempat-tempat di masa aku remaja. Kamu tak seperti aku, yang tak punya ingatan masa lalu. Saat kita pergi, kamu berdua masih kecil...”
Adik-adikku tak bisa melarang. Suamiku yang berasal dari Suriname sudah tiada. Anak tunggalku tahu sifat ibunya. Dia percaya saja. Lagi pula, dia tak bisa meninggalkan suami, anak-anak dan pekerjaannya di Belgia. Sekarang, di sinilah aku, di tepi sungai ini. Setelah mengantarkan aku ke sini, anak sepupuku kuminta pergi, untuk nanti menjemputku kembali ke hotel. Senja ini aku ingin sendiri saja, di sini, di Siring Sungai Martapura ini, mengenang jalan hidupku yang berliku dan masa silam yang buram.
Segalanya telah berubah. Semua tak lagi kukenali. Kota yang berusia hampir lima abad ini mengingkari sejarahnya sendiri. Kecuali Gereja Batu, tak ada lagi bangunan peninggalan masa lalu. Sebuah kota tanpa identitas budaya. Sungai, rumah lanting dan pepohonan, anak-anak yang mandi dan berenang dengan riang gembira, kini sudah tak ada. Sungai Martapura kini persis cafe di Eropa, menerima siapa saja yang datang, demi uang. Persis air sungai yang menerima apa saja yang dilemparkan ke dalamnya. Keramaian yang sunyi. Ah...
Di hotel, sebelum dijemput anak sepupu Abah-Mama tadi, aku termangu, ragu-ragu, sempat berpikir untuk pulang kembali ke Eropa, berkumpul dengan anak-cucu saja dan mati di sana. Pemandangan sepanjang jalan dari bandara ke hotel di Ibu Kota Tanah Banjar ini membuatku terkesima. Mata tuaku melihat kota ini bagai remaja tanpa jiwa: hampa. Persis perempuan cantik hasil operasi plastik.
Untunglah, tubuh tuaku masih sanggup menolak hasrat untuk pulang kembali ke Eropa itu. Di sekolah kepandaian puteri dulu aku sempat belajar menari lenso yang, sebelum peristiwa tahun ’65, jadi kegemaran Presiden Soekarno. Di Paris, setelah mendapat suaka politik dan menjadi warga negara Perancis, di mana Abah membuka Restoran Indonesia bersama kawan-kawannya sesama eksil, aku sempat belajar tari balet di sekolah yang disediakan pemerintah.
Tubuhku masih kuat, tapi entahlah... Keramaian ini, anak muda tanpa jiwa dan masa lalu ini, yang hilir-mudik dan lalu-lalang bagai robot ini, yang masing-masing pegang gadget dan memperlakukan benda itu seperti berhala baru, membuatku termangu. Saat azan Ashar tadi bergema di Masjid Raya, mereka seakan tak mendengarnya.
Mendengar suara azan, mereka biasa saja, seolah bukan panggilan untuk beribadah. Kecuali untuk komoditas politik, etika dan nilai-nilai agama rupanya sudah tak laku. Tak ada lagi rasa malu, seperti di masa remajaku dahulu.
Ah... Cahaya matahari di pepohonan itu... Awan dan langit jingga... Lembayung senja... Senja kala... Sebentar lagi Magrib tiba... Aku, almarhum Abah-Mama dan adik-adikku memang terlahir Muslim, meskipun, semasa di Eropa, kami tidak taat beribadah. Tapi aku Muslim. Kalau tiba saatnya menutup mata, aku ingin dimakamkan secara Islam...
(Bayangan hitam-putih masa lalu berkelebat di matanya: kapal uap Belanda yang perlahan menyusuri Sungai Martapura, jukung tambangan, pepohonan dan rumah-rumah lanting yang berderet di pinggir sungai. Setelah bayangan hitam-putih menghilang, tubuh wanita tua itu tiba-tiba tersentak, tersengal, perlahan berbaring.)
Ah, mataku berkunang-kunang. Mungkin kurang istirahat. Aku lelah. Mengantuk... La’illaha illallah, Muhammaddarassulullah...
Lampu Padam
 
Banjarmasin, 28 September 2017

*(Dipentaskan pada “Teater Monolog Perempuan”, Gedung Balairung Sari, Taman Budaya Kalsel, Banjarmasin, Sabtu, 9 Desember 2017, Pukul 20.40 WITA. Pementasan harus seizin penulis, melalui pangayauan@gmail.com)

Y.S. Agus Suseno - Penulis Naskah/ Budayawan

Manaqib KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin

  Manaqib Syekh KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin Penulis Arif Riduan, S.Sos.I Alumni ponpes Nurul Janna...