Jumat, 07 April 2017

Perjuangan Pangeran Antasari untuk Banua : Kisah Perang Banjar



a
Pangeran Antasari - foto Net
Sudah tiga tahun sejak 1859 perang Banjar berjalan. Akhirnya Pangeran Hidayatullah yang telah ikut berjuang menyerahkan diri kepada Belanda. Dan dibuang ke Cianjur. Namun Perang Banjar tidak berhenti sampai di situ. Pangeran Antasari diangkat oleh rakya Banjar sebagai pimpinan (kesultanan yang diakui oleh rakyat Banjar) menggantikan Pangeran Hidayatullah. Masih dengan semboyan “ Hidup untuk Allah dan mati untuk Allah “ seluruh rakyat Banjar, ulama, dan para bangsawan setia ikut berperang bersama Antasari.

Dalam keadaan sakit Pangeran Antasari siap siaga di balik jendela dengan Bedil yang diacungkannya ke arah luar memantau situasi yang berkecamuk di luar benteng rakyat Banjar di Hulu Sungai Teweh. Sesekali beliau terbatuk- batuk ketika mendengar dentuman-dentuman suara letusan Meriam dan suara Bedil dari luar. Belanda sejak tengah hari hingga menjelang sore menyerbu pertahanan rakyat Banjar di benteng Hulu Sungai Teweh. Hingga pada akhirnya suara riuh kemenangan terdengar itu tandanya Belanda kalah. Bergegas Gusti Mat Said dan Gusti Mat Seman menuju tempat Ayahnya di dalam benteng. Dengan baju yang sobek-sobek juga beberapa luka di tubuh mereka terhihat lega kerena melihat ayahnya baik baik saja. Batuk Pangeran Antasari semakin terdengar, terus saja batuk. Datanglah juga Surapati yang mengkahwatirkan Pangeran.

Tak lama kemudian datanlah Demang Lehman dengan berkata “ agaknya saya datang terlambat, sehingga tidak sempat mengenyam hidangan hari ini “. Semuanya tersenyum, Mat Said pun menjawab “ seandainya kami mengetahui Demang akan datang, maka akan kami sisihkan sebagian “. Mereka tersenyum lagi. Dan Surapati juga ikut bicara “ Demang ini telah kenyang sendirian dengan hidangan-hidangan di Gunung Lawak, Tanah laut dan Hulu Sungai. Seharusnya dia yang menyisihkan selebihnya untuk kita. Apa yang dikatakan Surapati ini membuat mereka tertawa. 

Demang Lehman datang bukan karena ia tahu kalau benteng ini diserbu Belanda, melainkan mendengar kabar bahwa Pangeran Antasari sedang sakit. Beliau pun menanyakan keadaan Pangeran. Pangeran menjawab " Seperti yang kamu lihat sendiri, biasalah sakitnya orang yang sudah berumur sangat tua, insya Allah aku akan sehat kembali “. Demang Lehman juga membawa kabar bahwa dia, Haji Buyasin, Langlang dan semua rakyat Hulu Sungai dan Tanah Laut telah berikrar dan bertekad bulan, di bawah pimpinan Pangeran Antasari akan berjuang terus menerus bertempur di mana pun mereka berada. Pangeran pun mengucapkan terima kasih karena telah diberi kepercayaan oleh rakyat untuk memimpin mereka dan pula berkata bahwa dengan kepimpinan ini beliau tidak bisa memwariskan apa-apa selain perjuangan ini

Mereka membicarkan Pangeran Hidayatullah yang telah ditangkap oleh Belanda, dan sangat merindukan sosok Hidayat yang juga telah berjuang bersama mereka hingga tiga setengah tahun ini. Belanda pun menghapuskan Kesultanan Banjar dan tak mengakui keberadaan Kesultanan Banjar lagi. Sehingga yang dianggap pemberontak ( Antasari, dan keluarganya serta pengkutnya ) diburu habis-habisan oleh pihak Belanda dan orang-orang yang memihak kepada Belanda. Dengan penyerahan diri Pangeran Hidayatullah bisa menghentikan perang yang selama ini beliau sangat iba melihatnya, karena tak tega dengan penderitaan rakyat. Namun pihak Belanda mengkhianati kesepakatan iru dan membuang Hidayat ke Cianjur. Perang tetap berlangsung tanpa henti. 

Pangeran Antasari pun juga menerima ajakan agar beliau menyerahkan diri kepada Belanda. Dengan itu Belanda berjanji akan mengampuni kesalahan beliau dan seluruh rakyat Banjar yang membelot dari Belanda. Antasari juga mengatakan bahwa beliau juga sudah membalas surat tersebut dengan balas tidak akan berunding dan menolak semua tawaran dari Belanda. Jika menyerah maka anak cucu rakyat Banjar akan menyalahkan kita, kata Beliau. Jangankan Hidayat. Tamjid yang jelas jelas orang kepercayaan Belanda saja diasingkan ke Jawa, apa lagi kita yang terang-terangan memerangi Belanda, tambah beliau lagi. Dalam situasi yang masih genting sehabis peperangan di depan benteng, suara azan terdengar mereka pun melaksanakan sholat dengan khusuk dan berdoa agar diberi keselamatan dalam perjuangan ini, dan mendoakan para pejuang yang telah gugur dalam peperangan selama ini agar diberikan keampunan oleh Allah. 

Pada 11 Oktober 1862 Pangeran Antasari wafat karena sakit. Beliau dimakamkan di Bayan Begok, Hulu Teweh. Kepergian beliau tidak lantas mematahkan semangat perjuangan yang selama ini beliau tanamkan kepada rakyat Banjar yang berjuang, malah semangat itu kian berapi-api berkobar hingga seluruh negeri Banjar selama 1858-1905. 

Bahan Bacaan " ANTASARI ; SEBUAH NOVEL SEJARAH Karya Helius Sjamsuddin " 

Tiga Pangeran Tua Kesultanan Banjar : Kisah Perang Banjar





ilustrasi perang Banjar - foto net
Konflik perebutan kekuasaan yang terjadi antara keluarga kesultanan Banjar menyebabkan berbagai masalah, diantaranya lembaga kekuasaan kerajaan hampir tidak lagi berfungsi. Lebih-lebih setelah Belanda ikut dalam urusan kesultanan Banjar. Kedatangan Belanda merubah ekonomi, politik, dan sosial.

Sisi lain, dalam hal ekonomi, kebutuhan para penguasa kerajaan ( Kesultanan ) bertambah besar untuk mensejajarkan tingkat hidup mereka dengan orang-orang asing, sedangkan penghasilan mereka semakin sedikit, bahkan sangat berkurang. Langkah satu-satunya ialah adalah meningkatkan pajak dua kali lipat, untuk melingdungi status mereka di mata rakyat.

Cara demikian mengakibatkan munculnya peraturan sosial dan politik menjadi timpang, serta sangat memberatkan rakyat yang hanya mayoritas bertani dan pedangan kecil. Kepincangan ini mengakibatkan mereka ( Kesultanan Banjar ) dianggap telah melanggar nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat Banjar. Keadaan ini pulalah yang menumbuhkan perlawanan rakyat terhadap Belanda, juga kepada Sultanan Banjar.



------------------
 
Pangeran Hidayatullah - Foto Net
Rumah kesultanan tampak sepi, karena ini adalah waktu sholat magrib dan orang-orang berbondong-bondong menuju langgar untuk melaksanakan sholat Magrib. Gusti Mat Said, putera Pangeran Antasari menyelinap diam-diam masuk ke kediaman Mangkubumi Kesultanan, yakni Pangeran Hidayatullah. Dalam rumah Gusti Mat Said bertemu keponakannya, yakni puteri Pangeran Hidayatullah yang bernama Bintang. “ eh Bulan “. Sapa Mat Said. “ Bukan, paman, saya Bintang, bukan Bulan. Sahut Bintang.

Bulan adalah saudarinya Bintang. Bulan kini sudah pindah mengikuti suaminya Pangeran Amir di Martapura. Sebenarnya pernikahan Bulan dengan Amir ini sangat tidak disetujui oleh ayahnya Hidayatullah, juga saudaranya Bintang. Meraka hanya melihat pernikahan ini hanyalah keterpaksaan Sultan Tamjid ( ayahnya Amir ) yang didesak oleh pihak Belanda. Pihak Belanda menilai pernikahan Bulan dengan Amir putera dari Sultan Tamjid akan bisa meredam pemberontakan rakyat yang tidak suka dengan Sultan Tamjid, sehingga posisi Belanda pun akan sedikit aman. Sultan Tamjid sangat tidak disukai oleh rakyat, hanya karena kekuasaan ia rela mengabdikan diri dan kesultanan kepada Belanda. 

Kedatangan Mat Said bermaksud untuk bertemu dengan Pangeran Hidayatullah, namun belum pulang dari langgar, lalu ia berbincang banyak dengan Bulan. “ Banjarmasin seperti sebuah pulau penjara, di mana jiwa-jiwa kita disekap macam penjahat-penjahat besar “. Bulan mengatakan apa yang ia rasakan kepada pamannya Mat Said, dia sadar betul posisinya sebagai keluarga kesultanan mereka sudah tidak lagi disukai oleh rakyat, dianggap penjahat oleh rakyat, seperti halnya penjajah. Padahal apa yang terjadi di sini mereka juga tidak bisa melakukan apa-apa, selain semena-menanya Sultan Tamjid, juga kekuasaan Belanda yang teramat kokoh menguasi tindak-tanduk kesultanan Banjar. 

Datanglah Pangeran Hidayatullah dengan sejadah yang disendangkan di bahu beliau. Meraka bersalaman dan saling menanyakan keadaan sekarang dan Hidayatullah bertanya “ Bagaimana kau bisa kemari ?”. Lalu dijawab oleh Mat Said “ kami menyamar “. Hidayatullah menyahut “ kami ?, maksudmu kamu tidak sendiri, terus dengan siapa ?”. Ternyata Mat Said datang bersama dengan ayahnya, Pangeran Antasari yang menunggu di tempat lain. Lalu Hidayatullah menyuruh Mat said untuk memanggil ayahnya dan Mat Said pergi menjemput ayahnya.
Pangeran Antasari - foto Net

Setibanya Pangeran Antasari di rumah, lalu Mat Said berjaga berjaga di luar. Dan di rumah Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayaullah bertemu dan berbincang. “ Alhamdulillah kita bisa bertemu, semoga kita pula selamat hingga pertemuan nanti “. Ucap Hidayatullah. “ Iya, selamat dari rasa takut, putus asa dan penindasan. Dan selamat yang ku maksud bukan semata-mata untuk kita berdua dan keluarga kita, tetapi selamat bagi semua rakyat yang menggantungkan harapannya kepada perbincangan kita ini. Sahut Antasari.

Dari perbincangan mereka sangat jelas bahwa Pangeran Antasari mengajak Pengeran Hidayullah untuk ikut berjuang bersama dia dan rakyat untuk melawan penjajahan. Hidayatullah tampak sangat kebingungan dengan ajakan tersebut, satu sisi dia memang merasa harus memihak kepada rakyat yang sangat ia cintai, namun di sisi lain dia sudah sangat putus asa dengan pertumpahan darah selama ini, korban-korban yang anggap pemberontak oleh penjajah sudah sangat banyak, Hidayatullah tak ingin ada lagi banyak korban. “ Berarti ini adalah pembertontakn besar-besaran ?”. Tanya Hidayatullah. “ pemberontakan adalah bahasa yang dipergunakan oleh Belanda. Ini bukan pemberontakan!, karena Belanda sama sekali tidak penah kita anggap sebagai pemerintah yang sah. Mereka penjajah, ini adalah perang !, perang mengusir penjajah asing !”. Antasari menjawab dengan tegas. 

Tidak bisa disangkal bahwa Hidayatullah begitu sangat mencintai rakyat dan kesultanan Banjar ini. Begitu juga rakyat kepada Hidayatullah. Sehingga banyak pula rakyat yang masih menggantungkan harapan-harapannya kepada Hidayatullah. Dia merasa benci dan jemu melihat pertumpahan darah yang sia-sia, sudah cukup baginya pengorbanan rakyat untuk kesultanan Banjar, sehingga ia tak lagi ingin melihat pertumpahan darah lagi. Sebab itulah pula dia mau diangkat menjadi Mankubumi Kesultanan oleh Belanda.
Pangeran Antasari tetap kukuh mengajak Hidayatullah untuk ikut berjuang melawan Belanda, dengan alasan bahwa Pangeran Hidayatullahlah yang berhak atas waris kesultanan Banjar selama ini, bukan Sultan Tamjid. “ Kita banyak mengaji mengetahui benar dengan Firman Allah: Bahwa Allah Swt tidak akan mengubah nasib kita, jika kita sendiri tidak berusaha untuk mengubahkan”. Tutur Antasari kepada Hidayatullah. 

Hingga pada perbincangan bahwa seluruh pasukan rakyat sudah siap untuk menyerang Pangeran Hidayatullah berpikir bahwa peperangan ini sangat tidak bisa dia redam sama sekali apa lagi setelah mendengar bahwa Pasukan Tumenggung Surapati dari Batiro, Demang Lehman, Temenggung Antaluddin, Haji Buyasin dan Jalil dari Banua Lima serta dengan pasukan tambahan dari Datu Aling dari Muning sungguh sangat mengejutkan Hidayatullah.

Antasari menjelaskan bahwa tugas Hidayatullah adalah memberikan muslihat kepada Sultan Tamjid dan Belanda. Hidayatullah sebagai mangkubimi seakan-akan menjadi peredam perlawanan rakyat terhadap Belanda. Padahal dibalik itu Hidayatullah akan merancang strategi untuk kemenagan rakyat dengan cara memata-matai dan mengelabui Belanda seakan-akan tidak akan ada perlawan dari rakyat. 

Tak lama kemudian Mat Said masuk ke dalam rumah dan mengabarkan bahwa Sultan Tamjib menuju ke rumah Hidayatullah dengan pengawalnya. Mendengar hal itu Antasari tak sama sekali takut, Hidayatullah membujuknya agar pergi dari rumahnya agar terhindar dari Penangkapan Sultan jika dia melihat Pangeran Antasari berada di rumah Hidayatullah. Malah dia mengatakan “ Pantang bagiku untuk lagi “. Pada akhirnya Hidayatullah mengatakan agar Pangeran Antasari segera pergi dari tempatnya “ jangan biarkan rakyat Banjar kehilangan pemimpinnya besarnya sebelum mereka sempat menyalakan meriam pertama mereka “. Mendengar hal itu Antasari menyimpulkan kini Hidayatullah berada dalam barisan pejuang Banjar bersama dengan dia. Dengan perasaan lega Antasari serta anaknya pun beranjak pergi sebelum tiba Sultan di rumah Mangkubumi.

Setibanya Sultan di rumah, “ kau mabuk ?”, tanya Hidayatillah.  “ iya aku habis minum, tapi belum mabuk, kau sudah tau aku terkenang pemabuk, awalnya dapat gelar Pengeran Pemabuk, lalu Mangkubumi Pemabuk, lalu Sultan Muda pemabuk, hingga ada akhirnya Seri Paduka Sultan Tamjidillah Pemabuk, itulah aku. Kau tau kenapa aku suka mabuk ?, dengan mabuk aku bisa melupakan semuanya, mabuk adalah teman setia dan tercintaku “. Kata Sultan Tamjid.

Sultan Tamjid dengan suara terbata-bata karena mabuk berbicara dengan Mangkubumi tentang banyaknya pasukan rakyat Banjar yang bergabung dengan pasukan Antasari untuk menggulingkannya. “ orang macam apa Aling dan Antasari itu kalau bukan pemabuk atau orang gila “. Ucap Sultan. Sultan menanyakan tentang keberpihakan Hidayat selama ini, apakah dipihak kesultanan atau dipihak mereka ( Antasari ). Bahkan Sultan menasehati Hidayat bahwa hidup itu jangan berada di tengah-tengah, kita harus tegas untuk memilih satu pihak. Dan Tamjid menyarankan agar Hidayat untuk berada dipihaknya karena dianggapnya sangat menguntungkan bagi Hidayat dan masa depan kesultanan. 

Bagi Tamjid selama ini rakyat juga tidak pernah senang dengan dia, maka lebih baik dia berpihak pada Belanda. Baginya pula rakyat hanyalah alat dan rakyak sama sekali tidak berarti tanpa ada Sultan. Karena Sultan ada maka rakyat ada. Tamjid mengatakan bahwa Belanda kini mulai mencuringai dia, padahal Sultan Tamjid memang benar-benar di pihak Belanda tetapi masih saja Belanda mencurigai dia, katanya. Dan Hidayat mengatakan kepada Sultan “ Sekarang kau menyesal ? karena sebenarnya kaulah yang menjadi alat mereka “. Dengan muka masam Sultan Menjawab yang masih dalam keadaan mabuk“ Jika ini suatu kenyataan maka sungguh pahit untukku menerima kenyataan ini “.
 
Sultan Tamjid juga mengatakan bahwa Belanda telah meminta bantuan beberapa ratus orang dan puluhan kapan perang dari Batavia untuk dikirim ke Banjarmasin untuk menangkap Pangeran Hidayatullah. Awalnya Pangeran Hidayatullah tidak mengubris, dia pikir Sultan hanya menakut-nakuti dirinya, lagi pula Sultan dalam keadaan mabuk. Hidayat pun bertanya untuk apa Belanda meminta bantuan sebanyak itu hanya untuk mengakap dirinya, dia hanya seorang. Sultan menjawab “ mungkin ia memperhitungkan kekuatan-kekuatan yang berdiri di belakangmu”

“ mengapa kau katakan semua ini, Tamjid “. Tanya Hidayatullah. Sultan menjawab “ aku tak tau lagi apa yang harus ku diamkan”. Dalam keadaan hening Sultan berkata lagi dengan muka acuh tak acuh, pula masih keadaan mabuk “ atau karena aku merasa kasian padamu!?. Atau karena kau pada suatu ketika mengalami hal serupa ? atau karena hal-hal yang lain, yang sama sekali tidak ku ketahui!? Huhh ! seharusnya aku tidak peduli dengan semua ini. Biar langit runtuh, dan kesultanan ini terbenam di dasar sungai, aku tidak peduli, akkh.. mengapa aku harus peduli dengan semua ini, sedagkan semuanya juga tidak pernah peduli denganku ? akkh.. sudahlah aku perg !!”. Sultan pun pergi. 

Mendengar apa yang dikatakan oleh Sultan Tamjid, Pangeran Hidayatullah sangat percaya dengan apa yang dikatan oleh Sultan Tamjid, bahwa Belanda akan menangkapnya dengan ratusan pasukan yang telah dimintanya di Batavia. Malam itu juga Pangeran Hidayatullah bergegas pergi dari rumahnya bersama Bintang puterinya. Puterinya sangat senang ketika mendengar perkataan ayahnya “ Aku memikirkan apa yang dikatakan oleh kakekmu Antasari“.

Bahan Bacaan " ANTASARI : SEBUAH NOVELSEJARAH Karya Helius Sjamsuddin



 

Kamis, 06 April 2017

Datu Aling Dari Muning, Berjuang Untuk Rakyat


ilustrasi - sumber net

Konflik perebutan kekuasaan yang terjadi antara keluarga kesultanan Banjar menyebabkan berbagai masalah, diantaranya lembaga kekuasaan kerajaan hampir tidak lagi berfungsi. Lebih-lebih setelah Belanda ikut dalam urusan kesultanan Banjar. Kedatangan Belanda merubah ekonomi, politik, dan sosial.
Sisi lain, dalam hal ekonomi, kebutuhan para penguasa kerajaan ( Kesultanan ) bertambah besar untuk mensejajarkan tingkat hidup mereka dengan orang-orang asing, sedangkan penghasilan mereka semakin sedikit, bahkan sangat berkurang. Langkah satu-satunya ialah adalah meningkatkan pajak dua kali lipat, untuk melingdungi status mereka di mata rakyat.

Cara demikian mengakibatkan munculnya peraturan sosial dan politik menjadi timpang, serta sangat memberatkan rakyat yang hanya mayoritas bertani dan pedangan kecil. Kepincangan ini mengakibatkan mereka ( Kesultanan Banjar ) dianggap telah melanggar nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat Banjar. Keadaan ini pulalah yang menumbuhkan perlawanan rakyat terhadap Belanda, juga kepada Sultanan Banjar.

Sambang ialah anak muda yang gagah perkasa, cekatan dalam bertarung dan di hormati oleh kalangan masyarakat Muning, Margasari. Dia sangat dihormati kerena dia adalah seorang anak tokoh masyarakat yang menjadi panutan agama juga sebagai panutan masyarakat Muning untuk melawan penjajah Belanda. Datu Aling, itulah namanya, seorang petani yang bisa dikatakan petani yang rajin, ulet, dermawan, berani, dan berwibawa. Maka dari itu Datu Aling dianggap oleh masyarakat sebagai Tetuha Kampung ( tokoh masyarakat ).

Sepulangnya Datu Aling dari petapaannya untuk mencari kekuatan, dan pencerahan di hutan dia bertemu dengan anaknya Sambang di rumah. Sambang sudah satu bulan ke Banjarmasin untuk memata-matai keadaan di sana atas perintah ayahnya Datu Aling. “ Bagaimana, Banjarmasin atau Martapura yang akan kita serbu terlebih dahulu ?. tanyanya kepada Sambang. 

Sambang pun menerangkan kepada ayahnya bahwa Banjarmasin sungguh sangat mustahil untuk ditaklukan oleh ayahnya dan masyarakat Muning, terlebih lagi Belanda juga sudah mendatangkan banyak meriam dan persenjataan lainnya dari Batavia ke Banjarmasin untuk memperkokoh pertahanan dan persenjataan. Ketika Datu Aling bertnya tentang Martapura, Sambang mengatakan bahwa Kesultanan Banjar tidak ada di Martapura, melainkan di Banjarmasin. “ Dasar pengecut, rupanya dia selalu berada bawah ketiak tuannya “. Ucap Datu Aling ketika mendengar bahwa Sultan Tamjid dan keberadaan Kesultanan bukan di Martapura melainkan di Banjarmasin yang tentunya di bawah perlindungan Belanda. 

Datu Aling bertanya kepada anaknya bagaimana caranya dia agar tidak tertangkap oleh Belanda dan orang-orang yang memihak kepada Belanda. Padahal setiap orang yang dia utus selalu saja tertangkap dan dibunuh. Sambang menceritakan dia juga sempat tertangkap oleh tentara Belanda, namun berhasil lolos dari dibantu oleh seseorang yang menyelamatkan dirinya. Ayahnya pun sangat senang dan sangat ingin sekali menjumpai orang yang telah menyelamatkan nyawa anaknya.

“ Ayah, saya dengar ayah akan menobatkan diri sebagai Menembahan ( pemimpin ), lalu ayah ingin meruntuhkan kekuasaan Kesultanan Tamjid dan setelah itu menobatkan diri sebagai Sultan Banjar yang baru, apakah itu benar ?”. Tanya Sambang kepada ayahnya. Dan ayahnya pun mengiyakan semua itu. Betapa terkejutnya Sambang mendengar hal seperti ini dan kecewa kepada ayahnya. “ Ayah ini adalah puncak dari segala kegilaan !!”. Ucap Sambang. Bahkan Sambang mengatakan kepada ayahnya, kita tidak lebih dari sepasang orang-orang gila, gila kehormatan, gila harta, gila kekuasaan. Untuk menggapai kegilaan tersebut kita akan mengorbankan perlawanan dan perjuangan rakyat hanya untuk kegiaan ayahnya, yang memang sebenarnya juga membenci Belanda dan Kesultanan Banjar yang selama ini semena-mena kepada rakyat. Namun kebencian tersebut secara tidak langsung menumbuhkan rasa nafsu kekuasaan dalam diri Datu Aling.

Sambang banyak bercerita kepada ayahnya bahwa selama ini dia banyak belajar kepada seseorang tentang arti sesungguhnya perjuangan ini ( perlawanan kepada penjajah ). Dari dia Sambang banyak belajar tentang kemerdekaan dan keadilan, serta juga banyak belajar tentang agama. Sampai pada akhirnya Sambang diajarkan untuk menghilangkan nafsu-nafsu serakah: nafsu memiliki hak orang lain, nafsu menguasi hidup, dan kemerdekaan orang lain. Sambang menganggap nafsu serakah itu kini melekat pada perjuangan ayahnya.
Dia menuturkan kepada Datu Aling bahwa di seluruh wilayah Kesultanan Banjar ini telah telah menyala berpuluh-puluh api perlawanan terhadap penjajah, yang mungkin kabar ini tidak pernah mereka dengar sebelumnya. Perlawanan tersebut ialah untuk kemerdekaan rakyat terhadap penjajah, bukan untuk nafsu kekuasan atau kepentingan segelintir saja. Sama seperti halnya perjuangan rakyat Muning hendaklah mengusung niat sebagai perlawanan kemerdekaan bukan sebagai pengingin tahta kesultanan. Sambang meyakinkan kepada ayahnya, tak layak jika perjungan ini hanya untuk kejayaan ayahnya, akan tetapi adalah untuk kebebasan dan kemerdekaan seluruh rakyat Banjar dari penindasan penjajah dan penguasa yang mena-mena.

Ketika Sambang meminta kepada ayahnya untuk bergabung kepada perjuangan Pangeran Antasari yang selama ini sangat gencar melakukan perlawanan terhadap Belanda, Datu Aling menolak untuk bergabung. Dia juga mengira bahwa perlawanan Antasari sama seperti dia, yakni perjuangan yang unjung-unjungnya adalah tahta yang ingin dimiliki. Terlebih lagi Pangeran Antasari adalah bagian dari Kesultanan tersebut, yang hanya ingin merebut kekuasan dengan cara perlawan terhadap penjajah. Ayahnya tetap menolak tidak ingin bergabung dengan perjuangan Pangeran Antasari, dan ketika sambang mengatakan “ Jika ayah tidak bergabung, maka ayah akan kehilangan laskar-laskar dan rakyat Muning. Karena mereka sudah bergabung kepada Pangeran Antasari atas perintahku “. Mendengar hal itu Datu Aling langsung mencabut Mandau ( parang khas Kalimantan ) dan mendekati Sambang untuk ditebaskan. “ Pengkhianat !!! Kau Khianati ayahmu sendiri !! ”. Teriak Datu Aling. Beruntunglah kala itu adik Sambang yang bernama Saranti yang juga anak Datu Aling. Ketegangan itu pun berhenti. 

Tak lama kemudian rombongan Pengeran Antasari dan kedua anaknya Gusti Mat Said, Gusti Mat Seman, serta membawa Jalil. Awalnya kedatangan Pangeran Antasari tak begitu dihiraukan oleh Datu Aling yang memang tak setuju dengan berbagungnya masyarakat Muning dengan Antasari. Namun setelah keramahtamahan Pangeran, maka bersalamanlah Pangeran dengan Datu Aling. “ Alhamdulillah, dari awal saya yakin bahwa tidak sia-sia saya kemarin menemui Datu seorang pejuang hebat ini”. Ucap Pangeran kepada Datu Aling, hingga wajah muram Datu menjadi berseri-seri seakan sudah sangat menerima kedatanagn Pangeran. Dan saat itu pula pangeran memperkenalkan kedua anaknya dan Jalil. “ Perkenalkan ini Jalil dari Banua Lima “. Kata Pengeran. Datu Aling pun terkagum-kagum melihat Jalil yang namanya sudah tersiar dimana-mana sebagai tokoh utama perlawan rakyat terhadap Belanda di Banua Lima. Datu sangat kagum ternyata Jalil adalah anak seorang anak muda, namun namanya sangat disegani dan sering disebut oleh orang-orang terlebih tentang perlawanannya terhadap penjajah. Datu Aling sangat mengaku sangat senang bisa bersalaman dengan Jalil.

Pada kesempatan selanjutnya pada hari itu juga, Gusti Mat Said, Gusti Mat Seman, Jail serta Sambang dan beberpa orang lainnya menuju ke balai tempat beberapa orang dari Antasri dan warga Muning sudah berkumpul di sana untuk membicarakan bergabungnya warga Muning dengan pasukan Pangeran Antasari. Tinggalah Datu Aling bersama Antasari, yang kemudian menyusul yang lain ke balai berdua beriringan sambil berbincang.

Datu Aling bertanya. “ untuk apa atau siapa sebenarnya kita ini berjuang ?”. Pangeran Antasari meloleh ke arah Datu yang berada di sampingnya dengan senyuman dan penuh wibawa. Pangeran Menjawab “ Kita berjuang untuk menegakkan kembali kemerdekaan negeri ( Banjar ), memperjuangkan keadilan dan  syariat agama yang telah lama diinjak-injak Kompeni. Perjuangan ini bukan untuk saya, melainkan untuk rakyat dan agama. Memang banyak orang-orang mengatasnamakan rakyat dan agama untuk memperoleh keuntungan dan kekuasan. Kepada saya pun sering dituduhkan seperti itu. Tapi demi Allah, bukan itu tujuan perjuangan saya. Kerajaan ini sudah lapuk dari luar dan dari dalam. Dari luar dirusak oleh Kompeni dan dari dalam dirusak oleh perpecahan dari pemimpin-pemimpin kerajaan itu sendiri. Perebutan kekuasaan antar penguasa kesultanan sebenarnya tidak akan menguntungkan siapa-siapa, yang untung sebenarnya adalah pihak ketiga, yaitu Belanda”.

Akhirnya Datu Aling pun mengerti tentang apa yang dia perjuangkan selama ini, bukan hanya tentang kekuasaan yang akan direbut rakyat, bukan hanya semata-mata perjuangan untuk rakyat Muning, dan bukan perjuangan ini sebagai balas dendam antar keluarga kesultanan yang konflik. Namun perjuangan ini semata-mata hanya untuk “ Rakyat”.by. Arif Riduan

*Bahan Bacaan " ANTASARI; SEBUAH NOVEL SEJARAH Karya Helius Sjamsuddin

Manaqib KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin

  Manaqib Syekh KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin Penulis Arif Riduan, S.Sos.I Alumni ponpes Nurul Janna...