Jumat, 07 April 2017

Tiga Pangeran Tua Kesultanan Banjar : Kisah Perang Banjar





ilustrasi perang Banjar - foto net
Konflik perebutan kekuasaan yang terjadi antara keluarga kesultanan Banjar menyebabkan berbagai masalah, diantaranya lembaga kekuasaan kerajaan hampir tidak lagi berfungsi. Lebih-lebih setelah Belanda ikut dalam urusan kesultanan Banjar. Kedatangan Belanda merubah ekonomi, politik, dan sosial.

Sisi lain, dalam hal ekonomi, kebutuhan para penguasa kerajaan ( Kesultanan ) bertambah besar untuk mensejajarkan tingkat hidup mereka dengan orang-orang asing, sedangkan penghasilan mereka semakin sedikit, bahkan sangat berkurang. Langkah satu-satunya ialah adalah meningkatkan pajak dua kali lipat, untuk melingdungi status mereka di mata rakyat.

Cara demikian mengakibatkan munculnya peraturan sosial dan politik menjadi timpang, serta sangat memberatkan rakyat yang hanya mayoritas bertani dan pedangan kecil. Kepincangan ini mengakibatkan mereka ( Kesultanan Banjar ) dianggap telah melanggar nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat Banjar. Keadaan ini pulalah yang menumbuhkan perlawanan rakyat terhadap Belanda, juga kepada Sultanan Banjar.



------------------
 
Pangeran Hidayatullah - Foto Net
Rumah kesultanan tampak sepi, karena ini adalah waktu sholat magrib dan orang-orang berbondong-bondong menuju langgar untuk melaksanakan sholat Magrib. Gusti Mat Said, putera Pangeran Antasari menyelinap diam-diam masuk ke kediaman Mangkubumi Kesultanan, yakni Pangeran Hidayatullah. Dalam rumah Gusti Mat Said bertemu keponakannya, yakni puteri Pangeran Hidayatullah yang bernama Bintang. “ eh Bulan “. Sapa Mat Said. “ Bukan, paman, saya Bintang, bukan Bulan. Sahut Bintang.

Bulan adalah saudarinya Bintang. Bulan kini sudah pindah mengikuti suaminya Pangeran Amir di Martapura. Sebenarnya pernikahan Bulan dengan Amir ini sangat tidak disetujui oleh ayahnya Hidayatullah, juga saudaranya Bintang. Meraka hanya melihat pernikahan ini hanyalah keterpaksaan Sultan Tamjid ( ayahnya Amir ) yang didesak oleh pihak Belanda. Pihak Belanda menilai pernikahan Bulan dengan Amir putera dari Sultan Tamjid akan bisa meredam pemberontakan rakyat yang tidak suka dengan Sultan Tamjid, sehingga posisi Belanda pun akan sedikit aman. Sultan Tamjid sangat tidak disukai oleh rakyat, hanya karena kekuasaan ia rela mengabdikan diri dan kesultanan kepada Belanda. 

Kedatangan Mat Said bermaksud untuk bertemu dengan Pangeran Hidayatullah, namun belum pulang dari langgar, lalu ia berbincang banyak dengan Bulan. “ Banjarmasin seperti sebuah pulau penjara, di mana jiwa-jiwa kita disekap macam penjahat-penjahat besar “. Bulan mengatakan apa yang ia rasakan kepada pamannya Mat Said, dia sadar betul posisinya sebagai keluarga kesultanan mereka sudah tidak lagi disukai oleh rakyat, dianggap penjahat oleh rakyat, seperti halnya penjajah. Padahal apa yang terjadi di sini mereka juga tidak bisa melakukan apa-apa, selain semena-menanya Sultan Tamjid, juga kekuasaan Belanda yang teramat kokoh menguasi tindak-tanduk kesultanan Banjar. 

Datanglah Pangeran Hidayatullah dengan sejadah yang disendangkan di bahu beliau. Meraka bersalaman dan saling menanyakan keadaan sekarang dan Hidayatullah bertanya “ Bagaimana kau bisa kemari ?”. Lalu dijawab oleh Mat Said “ kami menyamar “. Hidayatullah menyahut “ kami ?, maksudmu kamu tidak sendiri, terus dengan siapa ?”. Ternyata Mat Said datang bersama dengan ayahnya, Pangeran Antasari yang menunggu di tempat lain. Lalu Hidayatullah menyuruh Mat said untuk memanggil ayahnya dan Mat Said pergi menjemput ayahnya.
Pangeran Antasari - foto Net

Setibanya Pangeran Antasari di rumah, lalu Mat Said berjaga berjaga di luar. Dan di rumah Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayaullah bertemu dan berbincang. “ Alhamdulillah kita bisa bertemu, semoga kita pula selamat hingga pertemuan nanti “. Ucap Hidayatullah. “ Iya, selamat dari rasa takut, putus asa dan penindasan. Dan selamat yang ku maksud bukan semata-mata untuk kita berdua dan keluarga kita, tetapi selamat bagi semua rakyat yang menggantungkan harapannya kepada perbincangan kita ini. Sahut Antasari.

Dari perbincangan mereka sangat jelas bahwa Pangeran Antasari mengajak Pengeran Hidayullah untuk ikut berjuang bersama dia dan rakyat untuk melawan penjajahan. Hidayatullah tampak sangat kebingungan dengan ajakan tersebut, satu sisi dia memang merasa harus memihak kepada rakyat yang sangat ia cintai, namun di sisi lain dia sudah sangat putus asa dengan pertumpahan darah selama ini, korban-korban yang anggap pemberontak oleh penjajah sudah sangat banyak, Hidayatullah tak ingin ada lagi banyak korban. “ Berarti ini adalah pembertontakn besar-besaran ?”. Tanya Hidayatullah. “ pemberontakan adalah bahasa yang dipergunakan oleh Belanda. Ini bukan pemberontakan!, karena Belanda sama sekali tidak penah kita anggap sebagai pemerintah yang sah. Mereka penjajah, ini adalah perang !, perang mengusir penjajah asing !”. Antasari menjawab dengan tegas. 

Tidak bisa disangkal bahwa Hidayatullah begitu sangat mencintai rakyat dan kesultanan Banjar ini. Begitu juga rakyat kepada Hidayatullah. Sehingga banyak pula rakyat yang masih menggantungkan harapan-harapannya kepada Hidayatullah. Dia merasa benci dan jemu melihat pertumpahan darah yang sia-sia, sudah cukup baginya pengorbanan rakyat untuk kesultanan Banjar, sehingga ia tak lagi ingin melihat pertumpahan darah lagi. Sebab itulah pula dia mau diangkat menjadi Mankubumi Kesultanan oleh Belanda.
Pangeran Antasari tetap kukuh mengajak Hidayatullah untuk ikut berjuang melawan Belanda, dengan alasan bahwa Pangeran Hidayatullahlah yang berhak atas waris kesultanan Banjar selama ini, bukan Sultan Tamjid. “ Kita banyak mengaji mengetahui benar dengan Firman Allah: Bahwa Allah Swt tidak akan mengubah nasib kita, jika kita sendiri tidak berusaha untuk mengubahkan”. Tutur Antasari kepada Hidayatullah. 

Hingga pada perbincangan bahwa seluruh pasukan rakyat sudah siap untuk menyerang Pangeran Hidayatullah berpikir bahwa peperangan ini sangat tidak bisa dia redam sama sekali apa lagi setelah mendengar bahwa Pasukan Tumenggung Surapati dari Batiro, Demang Lehman, Temenggung Antaluddin, Haji Buyasin dan Jalil dari Banua Lima serta dengan pasukan tambahan dari Datu Aling dari Muning sungguh sangat mengejutkan Hidayatullah.

Antasari menjelaskan bahwa tugas Hidayatullah adalah memberikan muslihat kepada Sultan Tamjid dan Belanda. Hidayatullah sebagai mangkubimi seakan-akan menjadi peredam perlawanan rakyat terhadap Belanda. Padahal dibalik itu Hidayatullah akan merancang strategi untuk kemenagan rakyat dengan cara memata-matai dan mengelabui Belanda seakan-akan tidak akan ada perlawan dari rakyat. 

Tak lama kemudian Mat Said masuk ke dalam rumah dan mengabarkan bahwa Sultan Tamjib menuju ke rumah Hidayatullah dengan pengawalnya. Mendengar hal itu Antasari tak sama sekali takut, Hidayatullah membujuknya agar pergi dari rumahnya agar terhindar dari Penangkapan Sultan jika dia melihat Pangeran Antasari berada di rumah Hidayatullah. Malah dia mengatakan “ Pantang bagiku untuk lagi “. Pada akhirnya Hidayatullah mengatakan agar Pangeran Antasari segera pergi dari tempatnya “ jangan biarkan rakyat Banjar kehilangan pemimpinnya besarnya sebelum mereka sempat menyalakan meriam pertama mereka “. Mendengar hal itu Antasari menyimpulkan kini Hidayatullah berada dalam barisan pejuang Banjar bersama dengan dia. Dengan perasaan lega Antasari serta anaknya pun beranjak pergi sebelum tiba Sultan di rumah Mangkubumi.

Setibanya Sultan di rumah, “ kau mabuk ?”, tanya Hidayatillah.  “ iya aku habis minum, tapi belum mabuk, kau sudah tau aku terkenang pemabuk, awalnya dapat gelar Pengeran Pemabuk, lalu Mangkubumi Pemabuk, lalu Sultan Muda pemabuk, hingga ada akhirnya Seri Paduka Sultan Tamjidillah Pemabuk, itulah aku. Kau tau kenapa aku suka mabuk ?, dengan mabuk aku bisa melupakan semuanya, mabuk adalah teman setia dan tercintaku “. Kata Sultan Tamjid.

Sultan Tamjid dengan suara terbata-bata karena mabuk berbicara dengan Mangkubumi tentang banyaknya pasukan rakyat Banjar yang bergabung dengan pasukan Antasari untuk menggulingkannya. “ orang macam apa Aling dan Antasari itu kalau bukan pemabuk atau orang gila “. Ucap Sultan. Sultan menanyakan tentang keberpihakan Hidayat selama ini, apakah dipihak kesultanan atau dipihak mereka ( Antasari ). Bahkan Sultan menasehati Hidayat bahwa hidup itu jangan berada di tengah-tengah, kita harus tegas untuk memilih satu pihak. Dan Tamjid menyarankan agar Hidayat untuk berada dipihaknya karena dianggapnya sangat menguntungkan bagi Hidayat dan masa depan kesultanan. 

Bagi Tamjid selama ini rakyat juga tidak pernah senang dengan dia, maka lebih baik dia berpihak pada Belanda. Baginya pula rakyat hanyalah alat dan rakyak sama sekali tidak berarti tanpa ada Sultan. Karena Sultan ada maka rakyat ada. Tamjid mengatakan bahwa Belanda kini mulai mencuringai dia, padahal Sultan Tamjid memang benar-benar di pihak Belanda tetapi masih saja Belanda mencurigai dia, katanya. Dan Hidayat mengatakan kepada Sultan “ Sekarang kau menyesal ? karena sebenarnya kaulah yang menjadi alat mereka “. Dengan muka masam Sultan Menjawab yang masih dalam keadaan mabuk“ Jika ini suatu kenyataan maka sungguh pahit untukku menerima kenyataan ini “.
 
Sultan Tamjid juga mengatakan bahwa Belanda telah meminta bantuan beberapa ratus orang dan puluhan kapan perang dari Batavia untuk dikirim ke Banjarmasin untuk menangkap Pangeran Hidayatullah. Awalnya Pangeran Hidayatullah tidak mengubris, dia pikir Sultan hanya menakut-nakuti dirinya, lagi pula Sultan dalam keadaan mabuk. Hidayat pun bertanya untuk apa Belanda meminta bantuan sebanyak itu hanya untuk mengakap dirinya, dia hanya seorang. Sultan menjawab “ mungkin ia memperhitungkan kekuatan-kekuatan yang berdiri di belakangmu”

“ mengapa kau katakan semua ini, Tamjid “. Tanya Hidayatullah. Sultan menjawab “ aku tak tau lagi apa yang harus ku diamkan”. Dalam keadaan hening Sultan berkata lagi dengan muka acuh tak acuh, pula masih keadaan mabuk “ atau karena aku merasa kasian padamu!?. Atau karena kau pada suatu ketika mengalami hal serupa ? atau karena hal-hal yang lain, yang sama sekali tidak ku ketahui!? Huhh ! seharusnya aku tidak peduli dengan semua ini. Biar langit runtuh, dan kesultanan ini terbenam di dasar sungai, aku tidak peduli, akkh.. mengapa aku harus peduli dengan semua ini, sedagkan semuanya juga tidak pernah peduli denganku ? akkh.. sudahlah aku perg !!”. Sultan pun pergi. 

Mendengar apa yang dikatakan oleh Sultan Tamjid, Pangeran Hidayatullah sangat percaya dengan apa yang dikatan oleh Sultan Tamjid, bahwa Belanda akan menangkapnya dengan ratusan pasukan yang telah dimintanya di Batavia. Malam itu juga Pangeran Hidayatullah bergegas pergi dari rumahnya bersama Bintang puterinya. Puterinya sangat senang ketika mendengar perkataan ayahnya “ Aku memikirkan apa yang dikatakan oleh kakekmu Antasari“.

Bahan Bacaan " ANTASARI : SEBUAH NOVELSEJARAH Karya Helius Sjamsuddin



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Manaqib KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin

  Manaqib Syekh KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin Penulis Arif Riduan, S.Sos.I Alumni ponpes Nurul Janna...