Sabtu, 22 Oktober 2016

Sejarah & Tujuan Pendidikan Pondok Pesantren

Arif Riduan, S.Sos.I
Arif Riduan, S.Sos.I
Sejarah Pondok Pesantren
Jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan yang muncul di Indonesia, pesantren merupakan  sistem pendidikan yang tertua saat ini dan merupakan produk budaya asli yang terbentuk di Indonesia.[1] Pesantren sebelum menjadi pusat penyebaran dan pendidikan agama Islam pesantren ialah tempat penyebaran dan pendidikan untuk agama Hindu yang kemudian diadopsi oleh para ulama untuk menyebarkan agama Islam agar agama Islam dapat diterima oleh merubah tanpa menghapus tradisi yang telah ada, oleh karena itu maka pondok pesantren memang benar-benar merupakan salah satu bentuk budaya asli Indonesia.[2]
Pesantren merupakan pusat transmisi Islam  di Nusantrara sudah mulai berdiri sejak menyebarnya Islam ke Nusantara, yakni pada abad ke-15. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren ialah Syekh Maulana Malik Ibrahim yang berasal dari Gujarat, India, sekaligus tokoh ulama yang menyebarkan Islam di tanah Jawa.[3]
Syekh Maulana Malik Ibrahim berdakwah menggunakan masjid dan pesantren sebagai pusat penyebaran dan pendidikan Islam. Melalui pendidikan tersebut maka terlahirlah para ulama yang sering disebut dengan para Walisongo. Para ulama tersebut juga menggunakan pesantren sebagai tempat penyebaran dan pendidikan Islam. Sunan Ampel mendirikan pesantren di Kembang Kuningan, Surabaya dan di Ampel Denta, Surabaya. Pesantren tersebut sangat berpengaruh di wilayah Jawa Timur pada saat itu. Pada tahap selanjutnya berdirilah pesantren yang didirikan oleh para ulama di berbagai tempat, seperti Sunan Giri di Gersik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Paciran, Lamongan dan Raden Fatah di Demak, Jawa Tengah.[4]
Pesantren di Indonesia tumbuh dan berkembang dengan sangat pesat. Berdasarkan laporan pemerintah kolonial Belanda, tahun 1831 di Jawa saja terdapat tidak kurang dari 1.853 buah. Pada masa penjajahan Jepang tahun 1942 jumlah pondok pesantren bertambah menjadi 1.871 buah, jumlah tersebut belum dijumlahkan dengan pondok pesantren di luar pulau Jawa dan pesantren-pesantren kecil. Pada masa kemerdekaan jumlah pondok pesantren terus bertambah, berdasarkan catatan Departemen Agama RI tahun 2001 jumlah pondok pesantren di Indonesia mencapai 12.312 buah pondok pesantren yang tersebar di seluruh tanah Indonesia.[5]
2. Arti Kata dan Istilah Pondok Pesantren
Dalam pemakaian sehari-hari, istilah pesantren bisa disebut dengan pondok saja maupun sebalik,  atau kedua kata ini digabung menjadi pondok pesantren.[6] Kata pondok berasal dari kata funduq yang berarti penginapan, hotel atau asrama. Sedangkan dalam bahasa Indonesia mempunyai banyak arti, diantaranya adalah madrasal dan tempat pendidikan agama Islam. Di Sumatra Barat dikenal dengan nama surau, dan di Aceh dikenal dengan sebutan rangkang.[7] Pesantren berasal kata santri dengan awalan ‘pe’ di depan dan akhiran ‘an’ berarti tempat tinggal para santri atau nama suatu tempat di mana santri bertempat tinggal untuk menuntut ilmu agama.[8]
Menurut Djohan Efendi di dalam bukunya A Renewal Without Breaking Tradition: The Pesantren is a traditional center for Islamic learning led by ulama called ‘kiyai’. Generally it consists of kiyai’s residence, mosque, and pondok or boarding house for santri. The emergence of pesantren usually begins with the appearance of a kiyai who plays an important role as a central figure in it.[9] Artinya kurang lebih seperti ini: pesantren adalah pusat tradisional untuk belajar agama Islam, yang dipimpin oleh ulama yang disebut kiyai. Pada umumnya (pesantren) terdiri dari kiyai, masjid dan pondok atau asrama untuk santri. Munculnya pesantren biasanya dimulai dengan adanya kiyai yang memegang peranan penting sebagai tokoh sentral di dalamnya.
Ada beberapa pandangan yang mengarah kepada definisi pesantren, diantaranya Abdurrahman Wahid mendefinisikan pesantren adalah sebuah kompleks yang di dalamnya terdapat beberapa bangunan, yakni tempat tinggal kiyai atau pengasuh pondok pesantren, sebuah surau atau mesjid, tempat belajar ilmu agama, serta asrama untuk para santri.[10] Mahmud Yunus, mendefinisikan pesantren sebagai tempat santri belajar agama Islam. Abdurrahman Mas’ud mendefinisikan pesantren refers to a place where the santri devotes most of his or her tme to live in and acqtire knowledge.[11] Serta definisi Imam Zarkasi yang mengartikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kiyai sebagai figur sentralnya, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran Islam di bawah bimbingan kiyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya.[12]
Dalam buku The Islamic Traditions of Cirebon karangan Muhaimin AG diterangkah “ pesantren in Indonesia are officially classified by The Ministry of Religios Affairs, into four types, A, B, C and D. Type-A is that which retains the most traditional characteristics where the students (santri) stay in boarding house (pondok) around the kiyai’s house; there is no set curriculum and thus the kiyai holds full aurhority over the teaching-learning process including the type and depth of the offered subject matter. The method of teaching is typically ‘traditional’, relying on the sorongan and the badungan methods. In either one the santri sits around the kiyai who reads, translates and explains his lessons, wich are repeted or followed by his students. The lessons cansist only of religius subjects and Arabic language, usually taken from using classical religious texts. Type-B pesantren includes those which, besides offering the traditional instuctions in classical texts with sorongan and badungan, have modern religius schools (madrasah) where both religion and secular subjects are taught. The madrasah has a curriculum of its own or adopts the curriculum set by the Ministry of Religious Affairs. Type-C is a pesantren which, along with providing religious education of a type-B model with both traditional intruction and madrasah system, has also an ordinary public shool administered by the Ministry of Education and Culture such as a Primary (SD) and Secondary (SMP and SMA). Thus, a type-C pesantren is a type-B plus public school. Finally, a type-D pesantren is that which provides only boarding accommodation to students. These students go to either madrasah or public schools somewhere outside this boarding complex. No formal instruction is geven in this type of pesantren. The function of the kiyai is only as a counsellor and spiritual guide to create a religious atmosphere at the complex”.[13]

Maksudnya ialah tipe-A adalah  pesantren yang mempertahankan karakteristik tradisional di mana santri tinggal di asrama sekitar rumah kiyai, tidak ada set kurikulum dan dengan demikian kiyai memegang otoritas penuh atas proses belajar-mengajar termasuk jenis dan kedalaman materi. Metode pengajaran yang tradisional, yakni sorongan dan badungan. Pelajarannya diambil dari kitab-kitab klasik.
Pesantren tipe-B menawarkan sistem tradisional dalam kitab-kitab klasik dengan sorongan dan badungan serta memiliki madrasah (sekolah agama modern) di mana pelajaran agama dan pelajaran sekuler diajarkan. Madrasah memiliki kurikulum sendiri atau mengadopsi kurikulum yang ditetapkan oleh Kementerian Agama.
Pesantren Tipe-C, pesantren sama dengan tipe-B yakni memiliki pendidikan tradisional (sorongan dan badungan) dan sistem madrasah, juga memiliki sebuah sekolah umum biasa dikelola oleh Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan seperti Sekolah Dasar  dan menengah SMP dan SMA. dengan demikian, pesantren tipe-C adalah tipe-B ditambah dengan sekolah umum.
Pesantren tipe-D adalah yang hanya menyediakan asrama tempat tinggal bagi santri. Para  santri pergi ke salah satu madrasah atau sekolah umum suatu tempat di luar asrama. Tidak ada instruksi formal yang diberikan dalam jenis pesantren. Tugas kiyai hanya sebagai konselor dan pembimbing spiritual untuk menciptakan suasana religius.

Tujuan Pendidikan Pondok Pesantren
            Adapun tujuan pendidikan pondok pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt, berakhlak yang mulia, bermanfaat bagi masyarakat, yakni menjadi abdi di masyarakat untuk membimbing umat seperti halnya Nabi Muhammad Saw, mampu berdiri sendiri, bebas, teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama islam, menegakkan kebenaran ( amar ma’ruf nahi munkar ) serta mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian manusia.[14]
            Menurut beberapa definisi, antara lain Kiyai Ali Ma’shum mengatakan bahwa tujuan pesantren adalah untuk mencetak ulama.[15] Menurut M. Arifin pada dasarnya tujuan pendidikan pesantren terbagi menjadi dua, yakni tujuan khusus dan tujuan khusus. Tujuan khusus ialah mepersiapkan para santri untuk menjadi orang yang berpengetahuan dalam ilmu agama dan mengamalkannya dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat. Tujuan umum ialah membimbing para anak didik (santri) untuk menjadi manusia yang berkepribadian muslim yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi juru dakwah dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.[16] Serta Imam Zarkasi secara tegas mengatakan tujuan pendidikan pesantren ialah untuk kemasyarakatan dan dakwah Islamiyah, artinya pendidikan diarahkan pada kebutuhan masyarakat muslim pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya serta untuk kepentingan dakwah Islamiyah.[17]



                [1]  M. Sulthon Masyhud  dkk, Manajemen Pondok Pesantren ( Jakarta: Diva Pustaka, 2005), Cet. 2, h. 1
                [2] Rohadi Abdul Fatah, Rekonstruksi Pesantren Masa depan ( Jakarta: Listafariska Putra, 2005), Cet. 1, h. 14
                [3]  Khamami Zada dkk, Intelektualisme Pesantren (Jakarta : Diva Pustaka, 2004), Cet. 2, h. 7-8
                [4]  Ibid., h. 8
                [5]  Rohadi Abdul Fatah, Op. Cit., h. 15
                [6]  Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Instistusi ( Gelora Aksara Pratama, 2005) h. 1
                [7]  Rohadi Abdul Fatah, Op. Cit., h. 11
                [8]  Khoiriyah, menggagas Sosiologi Pendidikan Islam ( Yogyakarta: Teras, 2012), Cet. 1, h. 165.
                [9]  Djohan Efendi, A Renewal Without Breaking Tradition ( Sleman: DIAN/Interfidei Institute, 2008), cet. 1, h. 23
                [10]  Agung Nugroho, “ Gus Dur dan Pendidikan Pesantren”, dalam Noorhalis Majid (eds.), Bubuhan Banjar Bapander Gus Dur (Banjarmasin: LK3 & Forlog Kalsel, 2010), Cet. 1, h. 61
                [11]  Rohadi Abdul Fatah, Op. Cit., h. 12
                [12]  Loc. Cit.
                [13]  Muhaimin AG, The Islamic Traditions of Cirebon ( Jakarta: Canter for Rescearh and Development of Socio-Religious Affairs Office of Religious Research, Development, and In-Service Training, Ministry of Religious Affair Rebublic of Indonesia, 2004),  h. 291-292
                [14]  Mujamil Qomar, Op. Cit., h. 4
                [15] Loc. Cit.
                [16]  Rohadi Abdul Fatah dkk, Op. Cit., h. 20
                [17]  Ibid., h. 12

KHULAFA’UR RASYIDIN



BAB I
PENDAHULUAN
Khalifah Ar-Rasyidin atau Khulafa’ur Rasyidin adalah empat khalifah pertama dalam tradisi Islam, sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW, yang dipandang sebagai pemimpin yang mendapat petunjuk dan patut dicontoh. Mereka semua adalah sahabat dekat Nabi Muhammad SAW, dan penerus kepemimpinan mereka bukan berdasarkan keturunan, suatu hal yang kemudian menjadi cirri-ciri kekhalifahan selanjutnya.
Sistem pemerintahan terhadap masing-masing khalifah tersebut berbeda-beda, hal tersebut terjadi karena para sahabat menganggap bahwa Nabi Muhammad SAW tidak member petunjuk yang jelas mengenai pengganti beliau.
BAB II
PEMBAHASAN
I.                   SEJARAH KHULAFA’UR RASYIDIN
Imam Nawawi menerangkan bahwa yang dimaksud Khulafa’ur Rasyidin adalah para khalifah yang empat yaitu; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum (Ad Durrah As Salafiyah, hal. 201) Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied juga menjelaskan bahwa mereka adalah keempat khalifah tersebut berdasarkan ijma’ (Ad Durrah As Salafiyah, hal. 202) Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “…Dan termasuk di dalamnya (Khulafa’ur Rasyidin) adalah para khalifah/pengganti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ilmu, ibadah dan dakwah pada umatnya, dan sebagai pemuka mereka ialah Empat orang Khalifah yaitu Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum.” (Ad Durrah As Salafiyah, hal. 203)
Khilafah merupakan sebuah kedudukan yang sangat agung dan sebuah tanggung jawab yang begitu besar. Karena dengan jabatan tersebut seorang khalifah berkewajiban untuk mengurusi dan mengatur berbagai urusan kaum muslimin. Khalifah lah orang pertama yang paling bertanggung jawab dalam hal ini. Adanya khilafah ini merupakan kewajiban yang sifatnya fardhu kifayah. Sebab urusan umat manusia tidak akan terurusi dengan baik kecuali dengannya. Khilafah itu bisa didapatkan melalui salah satu dari tiga proses berikut ini :
  1. Keputusan tegas dari khalifah sebelumnya untuk menunjuk/mengangkat calon penggantinya. Sebagaimana yang terjadi pada saat pergantian kepemimpinan sesudah wafatnya Abu Bakar dengan ditunjuknya ‘Umar bin Al Khaththab berdasarkan keputusan Abu Bakar radhiyallahu’anhu sendiri.
  2. Berdasarkan kesepakatan ahlul halli wal ‘aqdi (badan permusyawaratan ulama umat). Baik pemilihan anggota Ahlul halli wal ‘aqdi itu bersumber dari penentuan yang sudah ditetapkan oleh Khalifah terdahulu sebagaimana terpilihnya ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu sebagai khalifah yang dipilih berdasarkan kesepakatan ahli halli wal ‘aqdi yang ditunjuk oleh ‘Umar untuk bermusyawarah, ataupun pemilihan anggota ahlul halli wal ‘aqdi itu bukan berdasarkan dari penentuan oleh Khalifah sebelumnya, sebagaimana yang terjadi pada pengangkatan khalifah Abu Bakar radhiyallahu’anhu menurut salah satu versi pendapat ulama, dan juga sebagaimana pengangkatan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu.
  3. Terjadinya penggulingan kekuasaan sehingga muncul khalifah baru yang berhasil menguasai pemerintahan, sebagaimana proses terangkatnya Khalifah Abdul Malik bin Marwan ketika Ibnu Zubair terbunuh sehingga berakhirlah kekhilafahan di tangannya. (disadur dari Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 156-157)
II.                SEJARAH SINGKAT DAKWAH PARA KHULAFA’UR RASYIDIN
I.                   Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu’anhu
Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata, “Umat beliau yang paling utama adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, kemudian ‘Umar Al Faruq, kemudian ‘Utsman Dzu Nurain, kemudian ‘Ali Al Murtadha, semoga Allah meridhai mereka semuanya…” (lihat Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 138)
Nama aslinya adalah Abdullah bin ‘Utsman bin ‘Aamir dari suku Taim bin Murrah bin Ka’ab. Beliau adalah orang pertama yang beriman kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan lelaki dewasa. Beliau adalah sahabat yang menemani hijrah beliau. Beliau jugalah orang yang menggantikan Nabi untuk menjadi imam shalat serta amir jama’ah haji. Ada lima orang sahabat yang termasuk orang-orang yang dijanjikan surga yang masuk Islam melalui perantara dakwahnya, mereka itu adalah ; ‘Utsman, Zubair, Thalhah, Abdurrahman bin ‘Auf dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Beliau wafat pada bulan Jumadil akhir tahun 13 hijriyah dalam usia 63 tahun. (lihat Syarah Lum’atul I’tiqad syaikh Utsaimin , hal. 141)
Para ulama berbeda pendapat tentang proses terpilihnya beliau sebagai khalifah. Apakah beliau terpilih berdasarkan nash [dalil tegas] dari Nabi ataukah berdasarkan bai’at (janji setia) seluruh para sahabat kepada beliau. Sebagian ulama sejarah yang pakar di bidang hadits berpendapat bahwa pengangkatan Abu Bakar sebagai khilafah itu berdasarkan nash yang khafi/samar. Sedangkan ulama yang lain dari kalangan mutakallimin berpendapat bahwa beliau terpilih dengan proses pemilihan. Para ulama golongan pertama berdalil dengan hadits yang terdapat di dalam shahih Bukhari dari Jubair bin Muth’im tentang kisah seorang perempuan yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau menyuruhnya untuk pulang. Maka perempuan itu pun mengatakan kepada beliau, “Bagaimana kalau saya tidak dapat berjumpa dengan anda lagi ?” Seolah-olah yang dimaksudkannya adalah wafatnya beliau. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Apabila engkau tidak menemuiku maka temuilah Abu Bakar.” Begitu pula dalil lainnya yang terdapat di dalam Shahihain dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu’anha yang mengisahkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Panggilkan Abdurrahman bin Abu Bakar untukku, aku akan suruh dia untuk menulis sebuah ketetapan, niscaya tidak akan ada perselisihan terhadap ketetapanku.” Kemudian beliau mengatakan, “Allah lah tempat berlindung, jangan sampai umat Islam menyelisihi Abu Bakar.” Selain itu terdapat juga dalil lainnya seperti pengutamaan beliau sebagai imam apabila Rasulullah tidak bisa menjadi imam, dsb. (lihat Al Is’aad, hal. 71)
Kekhalifahan Abu Bakar berlangsung selama dua tahun tiga bulan dan sembilan hari. Semenjak 13 Rabi’ul Awwal 11 hijriyah hingga 22 Jumadil akhir tahun 13 hijriyah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sahabat yang paling berhak menjadi khilafah sesudah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakar radhiyallahu’anhu karena beliau adalah sahabat paling utama dan paling terdepan dalam hal jasanya kepada Islam. Dan juga karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutamakan beliau sebagai imam shalat (apabila beliau berhalangan). Dan juga karena para sahabat radhiyallahu’anhum telah sepakat untuk mendahulukannya dan memba’iatnya, sedangkan Allah tidak akan pernah mengumpulkan mereka dalam kesesatan. Kemudian orang yang paling berhak sesudah beliau adalah ‘Umar radhiyallahu’anhu, karena dia adalah orang paling utama sesudah Abu Bakar, dan juga karena Abu Bakar telah berjanji untuk melimpahkan kekhilafahan kepadanya. Kemudian diikuti oleh ‘Utsman radhiyallahu’anhu dengan dasar keutamannya dan keputusan ahlu syura untuk mendahulukan beliau, yaitu orang-orang yang disebutkan dalam sebuah bait sya’ir :
‘Ali, ‘Utsman, Sa’ad dan Thalhah Zubair dan Dzu ‘Auf, mereka itulah para tokoh yang bermusawarah.
Kemudian diikuti oleh Ali radhiyallahu’anhu karena keutamaan yang beliau miliki dan kesepakatan para sahabat yang ada di masanya. Keempat orang itulah khulafaur rasyidun yang telah mendapatkan anugerah hidayah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang mereka, “Wajib bagi kalian untuk mengikuti Sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan hidayah sesudahku, gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian.” (Syarah Lum’atul I’tiqad, hal. 142-143)
II.                Khalifah ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu’anhu
Nama beliau adalah Abu Hafsh. Kuniyah Abu Hafsh ini didapatkan beliau dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena Nabi melihat sifat tegas yang dimilikinya. Abu Hafsh adalah julukan bagi singa. Beliau adalah orang pertama yang dijuluki sebagai Amirul Mukminin secara luas oleh umat. Beliau juga dijuluki dengan Al Faruq, karena sikap beliau yang sangat tegas dalam memisahkan kebenaran dari kebatilan. Dialah sahabat pertama yang berani berterus terang memeluk Islam. Dengan keislamannya inilah dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin bertambah kuat. Masuk Islamnya Umar merupakan bukti dikabulkannya do’a beliau, “Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah satu di antara dua Umar yang lebih Kau cintai; Umar bin Khaththab atau Amr bin Hisyam/Abu Jahal.” (lihat Fawa’id Dzahabiyah, hal. 10)
Beliau berasal dari suku Adi bin Ka’ab bin Lu’ai. Beliau masuk Islam pada tahun keenam setelah Nabi diutus (bukan 6 hijriyah, sebagaimana tercantum dalam kitab Al Is’aad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad, hal. 71, mungkin penulis lupa atau bisa jadi salah cetak, wallahu a’lam). Beliau masuk Islam setelah sekitar 40 orang sahabat lelaki dan 11 wanita telah masuk Islam sebelumnya mendahului beliau. Abu Bakar menyerahkan urusan kekhalifahan untuk mengatur umat Islam kepada beliau. Beliau pun menunaikan tugas khalifah dengan baik hingga akhirnya mati syahid terbunuh pada bulan Dzulhijjah tahun 23 hijriyah dengan usia 63 tahun (lihat Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Utsaimin, hal. 141) Kekhalifahan beliau berlangsung selama 10 tahun, 6 bulan lebih 3 hari. Semenjak tanggal 23 Jumadil Akhir 13 hijriyah hingga 26 Dzulhijjah tahun 23 hijriyah (Al Is’aad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad, hal. 71, Syarah Lum’ah, hal. 143)
III.             Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu
Kuniyah beliau adalah Abu Abdillah. Sang pemilik dua cahaya. ‘Utsman bin ‘Affan. Beliau berasal dari suku Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf. Beliau masuk Islam sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke Darul Arqam. Beliau adalah seorang yang kaya. Beliau menjabat sebagai khalifah sesudah ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu’anhuma berdasarkan kesepakatan ahlu syura. Beliau terus menjabat khalifah hingga terbunuh sebagai syahid pada bulan Dzulhijah tahun 35 hijriyah dalam usia 90 tahun menurut salah satu pendapat ulama. (lihat Syarah Lum’ah, hal. 141)
Salah satu prinsip yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah barangsiapa yang mendahulukan Ali bin Abi Thalib di atas ‘Utsman dalam hal keutamaan maka dia adalah orang yang melontarkan ucapan yang jelek dan apabila ada orang yang menilainya (orang yang berkata jelek itu) sebagai ahli bid’ah maka tidak boleh diingkari, inilah madzhab Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana diterangkan dalam As Sunnah karya Al Khalaal. Dan apabila ada yang mendahulukan ‘Ali di atas Utsman dalam hal hak menjabat khilafah maka dia telah sesat, bahkan lebih sesat daripada keledai tunggangannya, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Kekhalifahan beliau berlangsung selama 12 tahun kurang 12 hari, beliau wafat dalam keadaan mati syahid pada tanggal 18 Dzulhijah tahun 35 hijriyah (lihat Al Is’aad, hal. 71-72)
IV.             Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu
Kuniyah beliau adalah Abul Hasan. Putera paman Rasulullah Abu Thalib. Beliau juga dijuluki dengan Abu Turab oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan remaja. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan kepadanya bendera jihad pada saat perang Khaibar yang dengan perantara perjuangannyalah Allah memenangkan umat Islam dalam pertempuran. Beliau dibai’at sebagai khalifah setelah khalifah ‘Utsman terbunuh. Beliau menjadi khalifah secara syar’i hingga wafat dalam keadaan mati syahid pada bulan Ramadhan tahun 40 hijriyah dalam usia 63 tahun. Kehalifahan Ali berlangsung selama 4 tahun 9 bulan, sejak 19 Dzulhijah tahun 35 hijriyah hingga 19 Ramadhan tahun 40 hijriyah. Dengan demikian kehalifahan empat orang khalifah ini berlangsung selama 29 tahun 6 bulan dan 4 hari. Kemudian Al Hasan bin Ali dibai’at menjadi khalifah setelah wafatnya ayahnya. Kemudian pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 41 hijriyah beliau menyerahkan urusan kekhalifahan kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiyallahu’anhuma (dan kemudian Mu’awiyah menjadi raja pertama dalam sejarah perjalanan pemerintahan Islam) sehingga genaplah usia khilafah menjadi 30 tahun, membuktikan kebenaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kekhalifahan sesudahku berlangsung selama 30 tahun (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi dan dinilai hasan sanadnya oleh Al Albani) Peristiwa itu juga membuktikan kebenaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya cucuku ini adalah pemimpin yang akan mendamaikan dua kelompok besar umat Islam yang bertikai.” (HR. Bukhari) Oleh sebab itulah tahun 41 hijriyah disebut sebagai ‘Aamul Jama’ah (tahun persatuan) (lihat Syarah Lum’ah, hal. 141 dan 143, Al Is’aad, hal. 72

Khulafa



BAB I
PENDAHULUAN
Khalifah Ar-Rasyidin atau Khulafa’ur Rasyidin adalah empat khalifah pertama dalam tradisi Islam, sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW, yang dipandang sebagai pemimpin yang mendapat petunjuk dan patut dicontoh. Mereka semua adalah sahabat dekat Nabi Muhammad SAW, dan penerus kepemimpinan mereka bukan berdasarkan keturunan, suatu hal yang kemudian menjadi cirri-ciri kekhalifahan selanjutnya.
Sistem pemerintahan terhadap masing-masing khalifah tersebut berbeda-beda, hal tersebut terjadi karena para sahabat menganggap bahwa Nabi Muhammad SAW tidak member petunjuk yang jelas mengenai pengganti beliau.
BAB II
PEMBAHASAN
I.                   SEJARAH KHULAFA’UR RASYIDIN
Imam Nawawi menerangkan bahwa yang dimaksud Khulafa’ur Rasyidin adalah para khalifah yang empat yaitu; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum (Ad Durrah As Salafiyah, hal. 201) Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied juga menjelaskan bahwa mereka adalah keempat khalifah tersebut berdasarkan ijma’ (Ad Durrah As Salafiyah, hal. 202) Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “…Dan termasuk di dalamnya (Khulafa’ur Rasyidin) adalah para khalifah/pengganti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ilmu, ibadah dan dakwah pada umatnya, dan sebagai pemuka mereka ialah Empat orang Khalifah yaitu Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum.” (Ad Durrah As Salafiyah, hal. 203)
Khilafah merupakan sebuah kedudukan yang sangat agung dan sebuah tanggung jawab yang begitu besar. Karena dengan jabatan tersebut seorang khalifah berkewajiban untuk mengurusi dan mengatur berbagai urusan kaum muslimin. Khalifah lah orang pertama yang paling bertanggung jawab dalam hal ini. Adanya khilafah ini merupakan kewajiban yang sifatnya fardhu kifayah. Sebab urusan umat manusia tidak akan terurusi dengan baik kecuali dengannya. Khilafah itu bisa didapatkan melalui salah satu dari tiga proses berikut ini :
  1. Keputusan tegas dari khalifah sebelumnya untuk menunjuk/mengangkat calon penggantinya. Sebagaimana yang terjadi pada saat pergantian kepemimpinan sesudah wafatnya Abu Bakar dengan ditunjuknya ‘Umar bin Al Khaththab berdasarkan keputusan Abu Bakar radhiyallahu’anhu sendiri.
  2. Berdasarkan kesepakatan ahlul halli wal ‘aqdi (badan permusyawaratan ulama umat). Baik pemilihan anggota Ahlul halli wal ‘aqdi itu bersumber dari penentuan yang sudah ditetapkan oleh Khalifah terdahulu sebagaimana terpilihnya ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu sebagai khalifah yang dipilih berdasarkan kesepakatan ahli halli wal ‘aqdi yang ditunjuk oleh ‘Umar untuk bermusyawarah, ataupun pemilihan anggota ahlul halli wal ‘aqdi itu bukan berdasarkan dari penentuan oleh Khalifah sebelumnya, sebagaimana yang terjadi pada pengangkatan khalifah Abu Bakar radhiyallahu’anhu menurut salah satu versi pendapat ulama, dan juga sebagaimana pengangkatan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu.
  3. Terjadinya penggulingan kekuasaan sehingga muncul khalifah baru yang berhasil menguasai pemerintahan, sebagaimana proses terangkatnya Khalifah Abdul Malik bin Marwan ketika Ibnu Zubair terbunuh sehingga berakhirlah kekhilafahan di tangannya. (disadur dari Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 156-157)
II.                SEJARAH SINGKAT DAKWAH PARA KHULAFA’UR RASYIDIN
I.                   Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu’anhu
Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata, “Umat beliau yang paling utama adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, kemudian ‘Umar Al Faruq, kemudian ‘Utsman Dzu Nurain, kemudian ‘Ali Al Murtadha, semoga Allah meridhai mereka semuanya…” (lihat Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 138)
Nama aslinya adalah Abdullah bin ‘Utsman bin ‘Aamir dari suku Taim bin Murrah bin Ka’ab. Beliau adalah orang pertama yang beriman kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan lelaki dewasa. Beliau adalah sahabat yang menemani hijrah beliau. Beliau jugalah orang yang menggantikan Nabi untuk menjadi imam shalat serta amir jama’ah haji. Ada lima orang sahabat yang termasuk orang-orang yang dijanjikan surga yang masuk Islam melalui perantara dakwahnya, mereka itu adalah ; ‘Utsman, Zubair, Thalhah, Abdurrahman bin ‘Auf dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Beliau wafat pada bulan Jumadil akhir tahun 13 hijriyah dalam usia 63 tahun. (lihat Syarah Lum’atul I’tiqad syaikh Utsaimin , hal. 141)
Para ulama berbeda pendapat tentang proses terpilihnya beliau sebagai khalifah. Apakah beliau terpilih berdasarkan nash [dalil tegas] dari Nabi ataukah berdasarkan bai’at (janji setia) seluruh para sahabat kepada beliau. Sebagian ulama sejarah yang pakar di bidang hadits berpendapat bahwa pengangkatan Abu Bakar sebagai khilafah itu berdasarkan nash yang khafi/samar. Sedangkan ulama yang lain dari kalangan mutakallimin berpendapat bahwa beliau terpilih dengan proses pemilihan. Para ulama golongan pertama berdalil dengan hadits yang terdapat di dalam shahih Bukhari dari Jubair bin Muth’im tentang kisah seorang perempuan yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau menyuruhnya untuk pulang. Maka perempuan itu pun mengatakan kepada beliau, “Bagaimana kalau saya tidak dapat berjumpa dengan anda lagi ?” Seolah-olah yang dimaksudkannya adalah wafatnya beliau. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Apabila engkau tidak menemuiku maka temuilah Abu Bakar.” Begitu pula dalil lainnya yang terdapat di dalam Shahihain dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu’anha yang mengisahkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Panggilkan Abdurrahman bin Abu Bakar untukku, aku akan suruh dia untuk menulis sebuah ketetapan, niscaya tidak akan ada perselisihan terhadap ketetapanku.” Kemudian beliau mengatakan, “Allah lah tempat berlindung, jangan sampai umat Islam menyelisihi Abu Bakar.” Selain itu terdapat juga dalil lainnya seperti pengutamaan beliau sebagai imam apabila Rasulullah tidak bisa menjadi imam, dsb. (lihat Al Is’aad, hal. 71)
Kekhalifahan Abu Bakar berlangsung selama dua tahun tiga bulan dan sembilan hari. Semenjak 13 Rabi’ul Awwal 11 hijriyah hingga 22 Jumadil akhir tahun 13 hijriyah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sahabat yang paling berhak menjadi khilafah sesudah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakar radhiyallahu’anhu karena beliau adalah sahabat paling utama dan paling terdepan dalam hal jasanya kepada Islam. Dan juga karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutamakan beliau sebagai imam shalat (apabila beliau berhalangan). Dan juga karena para sahabat radhiyallahu’anhum telah sepakat untuk mendahulukannya dan memba’iatnya, sedangkan Allah tidak akan pernah mengumpulkan mereka dalam kesesatan. Kemudian orang yang paling berhak sesudah beliau adalah ‘Umar radhiyallahu’anhu, karena dia adalah orang paling utama sesudah Abu Bakar, dan juga karena Abu Bakar telah berjanji untuk melimpahkan kekhilafahan kepadanya. Kemudian diikuti oleh ‘Utsman radhiyallahu’anhu dengan dasar keutamannya dan keputusan ahlu syura untuk mendahulukan beliau, yaitu orang-orang yang disebutkan dalam sebuah bait sya’ir :
‘Ali, ‘Utsman, Sa’ad dan Thalhah Zubair dan Dzu ‘Auf, mereka itulah para tokoh yang bermusawarah.
Kemudian diikuti oleh Ali radhiyallahu’anhu karena keutamaan yang beliau miliki dan kesepakatan para sahabat yang ada di masanya. Keempat orang itulah khulafaur rasyidun yang telah mendapatkan anugerah hidayah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang mereka, “Wajib bagi kalian untuk mengikuti Sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan hidayah sesudahku, gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian.” (Syarah Lum’atul I’tiqad, hal. 142-143)
II.                Khalifah ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu’anhu
Nama beliau adalah Abu Hafsh. Kuniyah Abu Hafsh ini didapatkan beliau dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena Nabi melihat sifat tegas yang dimilikinya. Abu Hafsh adalah julukan bagi singa. Beliau adalah orang pertama yang dijuluki sebagai Amirul Mukminin secara luas oleh umat. Beliau juga dijuluki dengan Al Faruq, karena sikap beliau yang sangat tegas dalam memisahkan kebenaran dari kebatilan. Dialah sahabat pertama yang berani berterus terang memeluk Islam. Dengan keislamannya inilah dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin bertambah kuat. Masuk Islamnya Umar merupakan bukti dikabulkannya do’a beliau, “Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah satu di antara dua Umar yang lebih Kau cintai; Umar bin Khaththab atau Amr bin Hisyam/Abu Jahal.” (lihat Fawa’id Dzahabiyah, hal. 10)
Beliau berasal dari suku Adi bin Ka’ab bin Lu’ai. Beliau masuk Islam pada tahun keenam setelah Nabi diutus (bukan 6 hijriyah, sebagaimana tercantum dalam kitab Al Is’aad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad, hal. 71, mungkin penulis lupa atau bisa jadi salah cetak, wallahu a’lam). Beliau masuk Islam setelah sekitar 40 orang sahabat lelaki dan 11 wanita telah masuk Islam sebelumnya mendahului beliau. Abu Bakar menyerahkan urusan kekhalifahan untuk mengatur umat Islam kepada beliau. Beliau pun menunaikan tugas khalifah dengan baik hingga akhirnya mati syahid terbunuh pada bulan Dzulhijjah tahun 23 hijriyah dengan usia 63 tahun (lihat Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Utsaimin, hal. 141) Kekhalifahan beliau berlangsung selama 10 tahun, 6 bulan lebih 3 hari. Semenjak tanggal 23 Jumadil Akhir 13 hijriyah hingga 26 Dzulhijjah tahun 23 hijriyah (Al Is’aad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad, hal. 71, Syarah Lum’ah, hal. 143)
III.             Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu
Kuniyah beliau adalah Abu Abdillah. Sang pemilik dua cahaya. ‘Utsman bin ‘Affan. Beliau berasal dari suku Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf. Beliau masuk Islam sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke Darul Arqam. Beliau adalah seorang yang kaya. Beliau menjabat sebagai khalifah sesudah ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu’anhuma berdasarkan kesepakatan ahlu syura. Beliau terus menjabat khalifah hingga terbunuh sebagai syahid pada bulan Dzulhijah tahun 35 hijriyah dalam usia 90 tahun menurut salah satu pendapat ulama. (lihat Syarah Lum’ah, hal. 141)
Salah satu prinsip yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah barangsiapa yang mendahulukan Ali bin Abi Thalib di atas ‘Utsman dalam hal keutamaan maka dia adalah orang yang melontarkan ucapan yang jelek dan apabila ada orang yang menilainya (orang yang berkata jelek itu) sebagai ahli bid’ah maka tidak boleh diingkari, inilah madzhab Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana diterangkan dalam As Sunnah karya Al Khalaal. Dan apabila ada yang mendahulukan ‘Ali di atas Utsman dalam hal hak menjabat khilafah maka dia telah sesat, bahkan lebih sesat daripada keledai tunggangannya, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Kekhalifahan beliau berlangsung selama 12 tahun kurang 12 hari, beliau wafat dalam keadaan mati syahid pada tanggal 18 Dzulhijah tahun 35 hijriyah (lihat Al Is’aad, hal. 71-72)
IV.             Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu
Kuniyah beliau adalah Abul Hasan. Putera paman Rasulullah Abu Thalib. Beliau juga dijuluki dengan Abu Turab oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan remaja. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan kepadanya bendera jihad pada saat perang Khaibar yang dengan perantara perjuangannyalah Allah memenangkan umat Islam dalam pertempuran. Beliau dibai’at sebagai khalifah setelah khalifah ‘Utsman terbunuh. Beliau menjadi khalifah secara syar’i hingga wafat dalam keadaan mati syahid pada bulan Ramadhan tahun 40 hijriyah dalam usia 63 tahun. Kehalifahan Ali berlangsung selama 4 tahun 9 bulan, sejak 19 Dzulhijah tahun 35 hijriyah hingga 19 Ramadhan tahun 40 hijriyah. Dengan demikian kehalifahan empat orang khalifah ini berlangsung selama 29 tahun 6 bulan dan 4 hari. Kemudian Al Hasan bin Ali dibai’at menjadi khalifah setelah wafatnya ayahnya. Kemudian pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 41 hijriyah beliau menyerahkan urusan kekhalifahan kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiyallahu’anhuma (dan kemudian Mu’awiyah menjadi raja pertama dalam sejarah perjalanan pemerintahan Islam) sehingga genaplah usia khilafah menjadi 30 tahun, membuktikan kebenaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kekhalifahan sesudahku berlangsung selama 30 tahun (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi dan dinilai hasan sanadnya oleh Al Albani) Peristiwa itu juga membuktikan kebenaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya cucuku ini adalah pemimpin yang akan mendamaikan dua kelompok besar umat Islam yang bertikai.” (HR. Bukhari) Oleh sebab itulah tahun 41 hijriyah disebut sebagai ‘Aamul Jama’ah (tahun persatuan) (lihat Syarah Lum’ah, hal. 141 dan 143, Al Is’aad, hal. 72

Manaqib KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin

  Manaqib Syekh KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin Penulis Arif Riduan, S.Sos.I Alumni ponpes Nurul Janna...