Sabtu, 22 Oktober 2016

Sejarah & Tujuan Pendidikan Pondok Pesantren

Arif Riduan, S.Sos.I
Arif Riduan, S.Sos.I
Sejarah Pondok Pesantren
Jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan yang muncul di Indonesia, pesantren merupakan  sistem pendidikan yang tertua saat ini dan merupakan produk budaya asli yang terbentuk di Indonesia.[1] Pesantren sebelum menjadi pusat penyebaran dan pendidikan agama Islam pesantren ialah tempat penyebaran dan pendidikan untuk agama Hindu yang kemudian diadopsi oleh para ulama untuk menyebarkan agama Islam agar agama Islam dapat diterima oleh merubah tanpa menghapus tradisi yang telah ada, oleh karena itu maka pondok pesantren memang benar-benar merupakan salah satu bentuk budaya asli Indonesia.[2]
Pesantren merupakan pusat transmisi Islam  di Nusantrara sudah mulai berdiri sejak menyebarnya Islam ke Nusantara, yakni pada abad ke-15. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren ialah Syekh Maulana Malik Ibrahim yang berasal dari Gujarat, India, sekaligus tokoh ulama yang menyebarkan Islam di tanah Jawa.[3]
Syekh Maulana Malik Ibrahim berdakwah menggunakan masjid dan pesantren sebagai pusat penyebaran dan pendidikan Islam. Melalui pendidikan tersebut maka terlahirlah para ulama yang sering disebut dengan para Walisongo. Para ulama tersebut juga menggunakan pesantren sebagai tempat penyebaran dan pendidikan Islam. Sunan Ampel mendirikan pesantren di Kembang Kuningan, Surabaya dan di Ampel Denta, Surabaya. Pesantren tersebut sangat berpengaruh di wilayah Jawa Timur pada saat itu. Pada tahap selanjutnya berdirilah pesantren yang didirikan oleh para ulama di berbagai tempat, seperti Sunan Giri di Gersik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Paciran, Lamongan dan Raden Fatah di Demak, Jawa Tengah.[4]
Pesantren di Indonesia tumbuh dan berkembang dengan sangat pesat. Berdasarkan laporan pemerintah kolonial Belanda, tahun 1831 di Jawa saja terdapat tidak kurang dari 1.853 buah. Pada masa penjajahan Jepang tahun 1942 jumlah pondok pesantren bertambah menjadi 1.871 buah, jumlah tersebut belum dijumlahkan dengan pondok pesantren di luar pulau Jawa dan pesantren-pesantren kecil. Pada masa kemerdekaan jumlah pondok pesantren terus bertambah, berdasarkan catatan Departemen Agama RI tahun 2001 jumlah pondok pesantren di Indonesia mencapai 12.312 buah pondok pesantren yang tersebar di seluruh tanah Indonesia.[5]
2. Arti Kata dan Istilah Pondok Pesantren
Dalam pemakaian sehari-hari, istilah pesantren bisa disebut dengan pondok saja maupun sebalik,  atau kedua kata ini digabung menjadi pondok pesantren.[6] Kata pondok berasal dari kata funduq yang berarti penginapan, hotel atau asrama. Sedangkan dalam bahasa Indonesia mempunyai banyak arti, diantaranya adalah madrasal dan tempat pendidikan agama Islam. Di Sumatra Barat dikenal dengan nama surau, dan di Aceh dikenal dengan sebutan rangkang.[7] Pesantren berasal kata santri dengan awalan ‘pe’ di depan dan akhiran ‘an’ berarti tempat tinggal para santri atau nama suatu tempat di mana santri bertempat tinggal untuk menuntut ilmu agama.[8]
Menurut Djohan Efendi di dalam bukunya A Renewal Without Breaking Tradition: The Pesantren is a traditional center for Islamic learning led by ulama called ‘kiyai’. Generally it consists of kiyai’s residence, mosque, and pondok or boarding house for santri. The emergence of pesantren usually begins with the appearance of a kiyai who plays an important role as a central figure in it.[9] Artinya kurang lebih seperti ini: pesantren adalah pusat tradisional untuk belajar agama Islam, yang dipimpin oleh ulama yang disebut kiyai. Pada umumnya (pesantren) terdiri dari kiyai, masjid dan pondok atau asrama untuk santri. Munculnya pesantren biasanya dimulai dengan adanya kiyai yang memegang peranan penting sebagai tokoh sentral di dalamnya.
Ada beberapa pandangan yang mengarah kepada definisi pesantren, diantaranya Abdurrahman Wahid mendefinisikan pesantren adalah sebuah kompleks yang di dalamnya terdapat beberapa bangunan, yakni tempat tinggal kiyai atau pengasuh pondok pesantren, sebuah surau atau mesjid, tempat belajar ilmu agama, serta asrama untuk para santri.[10] Mahmud Yunus, mendefinisikan pesantren sebagai tempat santri belajar agama Islam. Abdurrahman Mas’ud mendefinisikan pesantren refers to a place where the santri devotes most of his or her tme to live in and acqtire knowledge.[11] Serta definisi Imam Zarkasi yang mengartikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kiyai sebagai figur sentralnya, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran Islam di bawah bimbingan kiyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya.[12]
Dalam buku The Islamic Traditions of Cirebon karangan Muhaimin AG diterangkah “ pesantren in Indonesia are officially classified by The Ministry of Religios Affairs, into four types, A, B, C and D. Type-A is that which retains the most traditional characteristics where the students (santri) stay in boarding house (pondok) around the kiyai’s house; there is no set curriculum and thus the kiyai holds full aurhority over the teaching-learning process including the type and depth of the offered subject matter. The method of teaching is typically ‘traditional’, relying on the sorongan and the badungan methods. In either one the santri sits around the kiyai who reads, translates and explains his lessons, wich are repeted or followed by his students. The lessons cansist only of religius subjects and Arabic language, usually taken from using classical religious texts. Type-B pesantren includes those which, besides offering the traditional instuctions in classical texts with sorongan and badungan, have modern religius schools (madrasah) where both religion and secular subjects are taught. The madrasah has a curriculum of its own or adopts the curriculum set by the Ministry of Religious Affairs. Type-C is a pesantren which, along with providing religious education of a type-B model with both traditional intruction and madrasah system, has also an ordinary public shool administered by the Ministry of Education and Culture such as a Primary (SD) and Secondary (SMP and SMA). Thus, a type-C pesantren is a type-B plus public school. Finally, a type-D pesantren is that which provides only boarding accommodation to students. These students go to either madrasah or public schools somewhere outside this boarding complex. No formal instruction is geven in this type of pesantren. The function of the kiyai is only as a counsellor and spiritual guide to create a religious atmosphere at the complex”.[13]

Maksudnya ialah tipe-A adalah  pesantren yang mempertahankan karakteristik tradisional di mana santri tinggal di asrama sekitar rumah kiyai, tidak ada set kurikulum dan dengan demikian kiyai memegang otoritas penuh atas proses belajar-mengajar termasuk jenis dan kedalaman materi. Metode pengajaran yang tradisional, yakni sorongan dan badungan. Pelajarannya diambil dari kitab-kitab klasik.
Pesantren tipe-B menawarkan sistem tradisional dalam kitab-kitab klasik dengan sorongan dan badungan serta memiliki madrasah (sekolah agama modern) di mana pelajaran agama dan pelajaran sekuler diajarkan. Madrasah memiliki kurikulum sendiri atau mengadopsi kurikulum yang ditetapkan oleh Kementerian Agama.
Pesantren Tipe-C, pesantren sama dengan tipe-B yakni memiliki pendidikan tradisional (sorongan dan badungan) dan sistem madrasah, juga memiliki sebuah sekolah umum biasa dikelola oleh Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan seperti Sekolah Dasar  dan menengah SMP dan SMA. dengan demikian, pesantren tipe-C adalah tipe-B ditambah dengan sekolah umum.
Pesantren tipe-D adalah yang hanya menyediakan asrama tempat tinggal bagi santri. Para  santri pergi ke salah satu madrasah atau sekolah umum suatu tempat di luar asrama. Tidak ada instruksi formal yang diberikan dalam jenis pesantren. Tugas kiyai hanya sebagai konselor dan pembimbing spiritual untuk menciptakan suasana religius.

Tujuan Pendidikan Pondok Pesantren
            Adapun tujuan pendidikan pondok pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt, berakhlak yang mulia, bermanfaat bagi masyarakat, yakni menjadi abdi di masyarakat untuk membimbing umat seperti halnya Nabi Muhammad Saw, mampu berdiri sendiri, bebas, teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama islam, menegakkan kebenaran ( amar ma’ruf nahi munkar ) serta mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian manusia.[14]
            Menurut beberapa definisi, antara lain Kiyai Ali Ma’shum mengatakan bahwa tujuan pesantren adalah untuk mencetak ulama.[15] Menurut M. Arifin pada dasarnya tujuan pendidikan pesantren terbagi menjadi dua, yakni tujuan khusus dan tujuan khusus. Tujuan khusus ialah mepersiapkan para santri untuk menjadi orang yang berpengetahuan dalam ilmu agama dan mengamalkannya dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat. Tujuan umum ialah membimbing para anak didik (santri) untuk menjadi manusia yang berkepribadian muslim yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi juru dakwah dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.[16] Serta Imam Zarkasi secara tegas mengatakan tujuan pendidikan pesantren ialah untuk kemasyarakatan dan dakwah Islamiyah, artinya pendidikan diarahkan pada kebutuhan masyarakat muslim pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya serta untuk kepentingan dakwah Islamiyah.[17]



                [1]  M. Sulthon Masyhud  dkk, Manajemen Pondok Pesantren ( Jakarta: Diva Pustaka, 2005), Cet. 2, h. 1
                [2] Rohadi Abdul Fatah, Rekonstruksi Pesantren Masa depan ( Jakarta: Listafariska Putra, 2005), Cet. 1, h. 14
                [3]  Khamami Zada dkk, Intelektualisme Pesantren (Jakarta : Diva Pustaka, 2004), Cet. 2, h. 7-8
                [4]  Ibid., h. 8
                [5]  Rohadi Abdul Fatah, Op. Cit., h. 15
                [6]  Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Instistusi ( Gelora Aksara Pratama, 2005) h. 1
                [7]  Rohadi Abdul Fatah, Op. Cit., h. 11
                [8]  Khoiriyah, menggagas Sosiologi Pendidikan Islam ( Yogyakarta: Teras, 2012), Cet. 1, h. 165.
                [9]  Djohan Efendi, A Renewal Without Breaking Tradition ( Sleman: DIAN/Interfidei Institute, 2008), cet. 1, h. 23
                [10]  Agung Nugroho, “ Gus Dur dan Pendidikan Pesantren”, dalam Noorhalis Majid (eds.), Bubuhan Banjar Bapander Gus Dur (Banjarmasin: LK3 & Forlog Kalsel, 2010), Cet. 1, h. 61
                [11]  Rohadi Abdul Fatah, Op. Cit., h. 12
                [12]  Loc. Cit.
                [13]  Muhaimin AG, The Islamic Traditions of Cirebon ( Jakarta: Canter for Rescearh and Development of Socio-Religious Affairs Office of Religious Research, Development, and In-Service Training, Ministry of Religious Affair Rebublic of Indonesia, 2004),  h. 291-292
                [14]  Mujamil Qomar, Op. Cit., h. 4
                [15] Loc. Cit.
                [16]  Rohadi Abdul Fatah dkk, Op. Cit., h. 20
                [17]  Ibid., h. 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Manaqib KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin

  Manaqib Syekh KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin Penulis Arif Riduan, S.Sos.I Alumni ponpes Nurul Janna...