Kamis, 13 Oktober 2016

Coretan Mahasiswa : Menakar Kemerdekaan

Coretan Mahasiswa  : Menakar  Kemerdekaan
            Angka delapan cukup untuk membuat bangsa ini berfikir ketika melihatnya. 1928 terjadi gerakan serentak pemuda dari seluruh penjuru nusantara dalam rangka realisasi wacana sebuah Negara merdeka bernama Indonesia, kemudian dibulan delapan tahun 1945 tepat pada tanggal 17 secara konstitusi berdirilah sebuah negara yang diidamkan-idamkan (Indonesia), tahun 1998 mahasiswa kembali bergerak dengan dibantu oleh buruh dalam rangka meraih reformasi dari tangan orde baru.

            Sebelum ketiga sub bahasan diatas, mari kita merenungkan sebuah pesan bijak yang berbunyi “kelompok yang berbeda bisa kompak kalau ada musuh bersama”  Tahun 1928 para pemuda mengucapkan sumpah pemuda dengan satu tujuan yakni meraih kemerdekaan dari Belanda. Pada waktu itu, tentu musuhnya adalah Belanda. 1945 seluruh penduduk Indonesia merayakan (meski tidak merasakan) kemerdekaannya dengan suka cita, masih dengan musuh bersama yakni Belanda dan ditambah Jepang. Lalu, 1998 saat terjadi krisis ekonomi di Indonesia mahasiswa dan buruh berontak kepada pemerintah Orde Baru sampai tergulinglah kursi Soeharto, dizaman itu Orde Baru menjadi kambing hitamnya.

            Ketiga contoh sejarah tersebut memiliki ceritanya sendiri, namun secara garis besar kita bisa memahami bahwa bangsa akan mau bergerak apa bila musuhnya itu nyata secara Dzahir dan Bathin (maksudnya bathin adalah penjajahan ide dan mental). Hari ini, musuh tersebut berenkarnasi kedalam bentuk yang baru (baru kita pahami).

            Mengenai musuh yang berenkarnasi ini sebenarnya sudah dijelaskan di masa-masa awal penyebaran Islam, yakni ketika Sang Nabi berpesan kepada para sahabat setelah kemenangan perang. Yang inti pesan tersebut adalah agar para sahabat lebih berhati-hati terhadap musuh yang sebenarnya , yaitu diri kita sendiri (nafsu).

            Hari ini -setelah reformasi kita raih, setelah demokrasi kita terapkan, dan setelah lebih dari empat elas abad pesan ini disampaikan (oleh rasulullah)- kita baru merasakannya kembali. Bahwa tantangan terbesar kita berada pada diri sendiri, yang dalam bahasa lebih luas tantangan tersebut berada pada organisasi atau partai kita sendiri. Manakala mahasiswa tidak bisa lagi berperang dengan nyata sebab yang membuat kebijakan adalah seniorannya, buruh tidak lagi bicara politik sebab untuk makan saja sangat sulit, pedagang tidak lagi bermusyawarah ketika harga daging mahal disebabkan dirumah telah datang petugas inpor yang menghantarkan uang tutup mulut.

            Maka benar apa kata Nabi Muhammad SAW, musuh sebenarnya itu sangat berbahaya. Yang berasal dari diri kita, keluarga kita, atau orang kita adalah sebuah yang sangat membahayakan. Namun, apa bila kita bisa menanganinya pasti itu menjadi senjata ampuh dalam memenangkan percaturan duniawi ini.

            Sejatinya, inilah ujian sebenarnya pada zaman reformasi ini atau zaman demokrasi muda kita. Akan tetapi tidak hanya sampai disitu, keterpurukan Indonesia saat ini juga datang dari pintu yang lain. Misalnya 350 tahun Belanda juga menjajah kita secara ide, sekarang budaya kita dirasuki roh-roh dari hantu Hollywood, Bollywood, Korean Style dan baru ini senetron Turki. Dari segi ekonomi telah datang dihadapan kita pasar bebas atas nama MEA, dari segi pertahanan negara senjata kita telah diketahui oleh asing sebab mereka yang membuatnya untuk kita (beberapa hal saja), dari segi pendidikanpun ternyata sistem pendidikan di Indonesia sangat jauh tertinggal dengan Firlandia (negara dengan sistem pendidikan terbaik didunia) ditambah pendidikan ditempat kita malah dikatagorikan jenis bisnis.

            Dari manakah itu semua ? tentu tak lain adalah berasal dari budaya rakyat kita yang telah berusia 70 tahun ini. Sebagai mahasiswa, dizaman ini kita berada di Zona Aman. Dimana penderitaan dan kesengraan seolah stimulus tak berarti untuk membuat sebuah gerakan pembaharuan. Mungkinkah dosis pederitaan kita selama ini justru menjadi antibiotik bagi mahasiswa, sehingga mereka antipati terhadap kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Wajar kalau mereka kemudian berfikir kuliah hanya untuk kerja saja, masalah kerja “apapun” tidak ada hubungannya dengan kuliahnya.

            Lalu, inikah yang diinginkan oleh orangtua kita ? bahwa kuliah itu untuk dapat pekerjaan yang lebih baik dan bisa hidup lebih layak darinya ? kalau jawabannya adalah “Ya”. Maka jangan heran banyak sarjana kita minta bayaran ketika membuatkan surat kerangan miskin dikelurahan, minta dispensasi sepihak untuk tanah warga yang terkena proyek pembangunan jalan umum, membayar kepala sekolah hanya agar nilai bagus bagi anaknya yang masih TK, korupsi waktu saat rapat dan lain sebagainya.
PENULIS


            Setelah 70 tahun Indonesia merdeka, mari saatnya kita bicara tentang prestasi dan kemajuan disegala bidang. Bukannya justru mendengarkan pidato 17-an dengan tema “membangun masyarakat yang sejahreta” layaknya pidato di tahun-tahun pertama merdeka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Manaqib KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin

  Manaqib Syekh KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin Penulis Arif Riduan, S.Sos.I Alumni ponpes Nurul Janna...