Kamis, 20 Oktober 2016

Sekolah Ngaji ( Sebuah Cerpen )

Sekolah Ngaji
Karya Arif Riduan





cover-ilustrasi, sumber Net, edit penulis


            “ Dir.. Dir.. Khaidir !! Sadang nak cari kupiah sakulah ngaji sana, parak jam setengah tiga dah ni.. ! “ . Seru ibuku ketika menyuruhku untuk pergi mengaji saat aku lagi asik menonton Si Bolang di televisi. Seperti biasanya, ibuku menjadi alaram hidup untuk anak-anaknya. “ inggih ma ! “. Aku pun bergegas mencari peci baru yang kemarin dibelikan oleh ayahku, karena peci yang lama udah usang dan agak sobek sedikit. Melihat anaknya yang sudah siap berangkat ke sekolah ngaji (  Taman Pendidikan Alquran ) mama pun memberikan uang Rp. 1200 kepadaku. Rp. 1000 untuk uang saku jajan, dan Rp. 200 untuk bayar iuaran per-sekali mengaji. Aku pun bergegas menuju sekolah ngaji. “ Ma ! ulun turun ma ai  “ izinku. “ eeh , Jangan kalahi lah, lawan jangan minum es “. Sahut ibuku.
            Sudah menjadi kewajiban bagi seorang anak seusiaku untuk belajar mengaji, itulah yang sudah menjadi kebiasaan di tempat tinggalku. Anak seusia aku ini, yakni 7-8 tahun biasanya di masukan oleh orang tua ke tempat mengaji Alquran, atau yang biasanya kami sebut sekolah ngaji, dan juga bisa belajar privat kepada seorang guru ngaji. Biasanya kalau di sekolah ngaji itu waktunya sekitar jam 3:00 sampai jam 5:00 sore, dan kalau belajar privat ke guru ngaji biasanya sekitar waktu sehabis magrib, atau setelah sholat isya.
            Aku berbeda dengan kakak-kakakku, hanya aku yang belajar ngaji di sekolah ngaji (TPA), sedangkan kakak-kakakku belajar mengaji dengan cara privat ke rumah salah satu guru ngaji di tempat tinggal kami. Setelah sholat magrib banyak anak-anak seusia aku dan seusia kakakku ( Usia SMP ) belajar mengaji ke rumah guru ngaji tersebut selepas sholat Magrib. Nama beliau ialah Kakek Umar Mayah atau sering dipanggil dengan sebutan “ Kai Ngaji “. Dalam mengajarkan Alquran beliau tidak sendirian, Kai Ngaji dibantu oleh istri beliau yang juga akrab dengan sapaan “ Nini Ngaji “ . Di tempat Kai Ngaji ini para murid tidak dipungut biaya sepeser pun dan beliau juga tidak pernah meminta imbalan untuk ilmu membaca Alquran yang beliau ajarkan setiap hari. Namun biasanya para orang tua setiap bulan/minggunya memberi hadiah kepada beliau berupa gula, kopi serta sembako lainnya.
Begitu pula orang tuaku, pada setiap bulannya beliau memberikan beberapa kilo gula kepada Kai Ngaji sebagai rasa terima kasih kepada beliau. Itu pun jika ada uang berlebih yang didapat oleh orang tuaku, jika tidak ada yang diberi maka ditunda dilain hari. Pernah juga dalam sebulan orang tuaku tidak memberikan apa-apa kepada Kai Ngaji karena banyak kebutuhan rumah tangga yang harus dikeluarkan. Kai Ngaji dan istri pun sebenarnya tidak pernah meminta kepada orang tua yang anaknya belajar ngaji di tempat beliau, namun itu sudah menjadi kebiasaan di tempat kami, sebagai ucapan terima kasih kepada seseorang guru.
Beberapa menit berjalan, akhirnya aku sampai di depan sekolah, tempat aku menimba ilmu membaca Alquran. Namun sebelum aku belajar membaca Alquran, aku ( juga anak yang lain ) di wajibkan dulu belajar iqro atau yang kami sebut dengan “ Jilid “. Ada enam tingkatan jilid yang harus kami pelajari sebelum melangkah ke jenjang Alquran, yakni dari jilid 1 sampai ke jilid 6, setelah itu baru kami bisa menyambungnya ke Alquran, dengan bahasa lain untuk bisa membaca Alquran terlebih dulu kami harus mempelajari dasarnya dulu dengan belajar iqro / jilid.
Tidak terasa hari demi hari, aku sudah beranjak ke jilid 2, yakni setelah jilid 1 sudah selesai. Depan sekolah ngaji aku sudah mendengar sayup-sayup lantunan lagu islami yang biasanya kami nyanyikan sebelum memulai pelajaran. Aku pun berlari menuju ruang kelas, sepertinya aku terlambat. Tentu saja setelah aku sampai ke kelas, maka aku langsung duduk di tempat biasanya aku duduk, dan ikut bernyanyi.
“  rukun Islam yang lima ..
Syahadat, sholat puasa ..
Zakat untuk si papa, Haji bagi yang kuasa ..
Siapa tidak sholat ! DOR !!! akan rugi di akhirat
Siapa tak bayar zakat, oleh Allah di laknat”

Inilah  lagu yang kami nyanyikan kali ini bersama ustadz Arul dan ustazah Heny kali ini, lagu rukun islam yang nadanya seperti nada “ balonku ada lima”. Lagu berikutnya ialah lagu yang berjudul “ Aku cinta Allah “ yang nadanya seperti nada lagu “ sayang semua “ namun liriknya yang diubah, entahlah siapa yang mengubah liriknya.

Satu-satu aku cinta Allah ..
Dua dua, cinta Rasulullah ..
Tiga tiga sayang ibu bapak..
Satu dua tiga, sayang semuanya … yeeeeeeeeeeeee

            Beginilah ramainya ketika pelajaran ngaji ingin dimulai, kami anak-anak yang rata-rata umur 7-8 tahun seperti aku ini terkumpul di satu kelas, yakni kelas jilid, sedangkan para murid yang sudah tingkat Alquran belajar di kelas sebelah bersama Bapak Haji Marwan dan Bapak Zaini. Kami yang jilid ini dibimbing oleh kakak-kakak dari Pondok Pesantren di sekitar tempat tinggal kami, diantranya ialah kak ustadz Arul dan ka ustadzah Heni dan Munirah.

            Pelajaran pun dimulai, Kak ustadz Arul mulai menuliskan ayat Alquran yang harus kami tulis di papan tulis, tulisan kak ustadz Arul sangat bagus, mungkin karena beliau santri di pesantren yang terbiasa menulis tulisan kaligrafi arab. “ ini tulislah, adding-ading .. tulis sampai habis “. Seru kak ustadz Arul kepada kami. Sedangkan ustadzah Heny dan Munirah duduk depan dan memanggil nama kami satu persatu untuk mengaji dengan bimbingan beliau. Biasanya panggilan itu menurut abjad di buku absen, yakni dari A. “ Ahmadi, dan Afif Rahman “ ustadzah Heny memanggil dua orang dari kami untuk maju ke depan. Sedangkan nama-namanya yang belum dipanggil tetap duduk ditempat sembari menyelesaikan tulisan yang sudah dicontohkan di papan tulis.

            “ Khaidir Malik ! “. Kak ustadzah Munirah memanggil, itu artinya kini giliranku ke depan untuk mengaji dengan bimbingan beliau. Aku pun mengeluarkan uang 200 rupiah untuk membayar iuaran ngaji. “ Nah jilid 2 dah kam Dir ai, rajin-rajin turun mengaji, nyaman capat ke Alquran “. Kak ustadzah Munirah menasihatiku agar rajin mengaji, supaya cepat ke jilid berikutnya dan cepat ke tingkatan Alquran. “ inggih ka “.  Sahutku.

            Ada hal yang unik di sekolah ngaji ini, salah satunya ialah jam istirahat. Jam istirahat di sekolah ini terbilang unik karena tidak ada memiliki patokan jam. Siapa yang sudah selesai mengaji dan selesai menulis maka boleh istirahat. Itulah kenapa sering ada kegaduhan antar murid siapa yang duluan maju ke depan untuk mengaji. Terkadang biasanya sesuai dengan urutan absen, namun kadang pula siapa yang selesai menulis duluan boleh maju ke depan untuk mengambil giliran untuk mengaji. Hal yang unik selanjutnya ialah terkadang seminggu dua kali kami semua murid dikumpulkan di halaman sekolah, bernyanyi lagu-lagu anak islami bersama yang mana hal tersebut dipimpin oleh Bapak Zaini selaku pengurus sekolah ngaji ini. Sehabis menyanyi bersama biasanya beliau bercerita tentang kisah-kisah Islami, seperti kisah Nabi Musa membelah lautan. Kami anak-anak tampak tercengang dengan cerita yang beliau sampaikan, terlebih lagi aku, paling suka dengan yang namanya cerita.
           
            “ Nabi Musa beserta para pengikut beliau berlari karena dikejar-kejar oleh raja yang dzolim, yakni Raja Firaun. Nabi Musa pun terhenti di lautan yang dalam, tidak ada jalan lagi untuk lari. Lalu Nabi Musa berdoa meminta pertolongan kepada Allah Swt, maka saat itu pula Allah Swt mewahyukan agar Nabi Musa memukulkan tongkat yang ada di tangan beliau ke lautan “. Bapak Zaini menceritakan kisah Nabi Musa dengan sangat serius, ditambah dengan gaya dan mimik beliau yang sangat menggambarkan situasi saat itu, seakan akan kami ada di dalam cerita tersebut, membayangkan seakan nyata.  Beliau pun menyambung cerita “ Setelah Nabi Musa memukulkan tongkal ke lautan, seketika itu lautan pun terbelah dari sisi kanan dan sisi kiri sehingga lautan yang dalam menjadi daratan kerana terbelah. Tidak menunggu lama Nabi Musa dan pengikutnya pun berlari menyebrangi lautan yang kini menjadi daratan. Melihat hal tersebut Firaun tercengang, namun masih saja mengejar rombongan Nabi Musa bahkan semakin kencang. Akhirnya rombongan Nabi Musa sudah sampai di seberang, sedangkan Firaun dan anak buahnya masih di tengah laut, maka kembalilah lautan pada semula sehingga menenggelamkan Firaun dan pengikutnya”. Cerita pun selesai, kami kelihatannya gembira mendengar Nabi Musa akhirnya selamat dari kejaran Firaun.

            “ Jadi anak-anak bapak sekalian, perlu diingat bahwasanya Allah Swt akan selalu menolong hamba-hambaNya yang berdoa, semuanya paham ? “ Tutur Bapak Zaini kepada murid-murid yang setadi begitu tegang. ‘ iyaaa paaaaa, paham ! “ sahut kami yang agak sedikit serempak. Begitulah biasanya kegiatan di sekolah ngaji kami. Penuh kecerian, namun juga penuh dengan hikmah pembelajaran tentang ilmu Alquran dan ilmu agama.

            Jam sudah menunjukan pukul 5:00 sore, itu tandanya tiba waktu kami untuk kembali pulang ke rumah. Tak lupa kami membaca doa-doa yang telah kami hapalkan dari ajaran kakak-kakak Ustadz dan Ustadzah yang bergitu sabar mengajarkan kami yang belum paham tentang agama. Terlebih lagi aku, aku bahkan selalu bertanya-tanya di dalam hati apa makna doa-doa yang kami ucapakan ketika memulai dan mengakhiri pelajaran ini. Cukup panjang doa yang kami bacakan, namun aku hanyalah anak kecil yang tak paham dengan makna doa tersebut. Hanya ada satu doa yang ku paham, yakni doa kepada ibu bapak, karena sejak kecil sebelum usia sekolah aku sudah diajarkan oleh ibuku membaca doa tersebut beserta artinya, begitu juga dengan doa sebelum makan dan doa sebelum tidur, hanya itu yang ku paham.

            “ Assalamualaikum !! “. Ucapaku ketika sesampainya di rumah. “ Wa’alaikum salam “. Sahut ibuku sambil mengayun adikku yang masih kecil di ayunan. “ Andak kupiah tu di atas lemari Dir ai, kena abut mencarii kada dapat “. Nasihat ibu kepadaku agar aku meletakkan peci ditempatnya. Seperti biasanya aku sering lupa menaruh dimana peci ku taruh, karena tidak meletakkan ditempatnya. “ kaya apa tadi Dir ? jilid berapa dah mengaji ? “ . tanya ibuku, menanyakan sudah sampai mana aku mengaji. “ ulun sudah jilid 2 ma ai tadi, maa ! maa ! Jar bapak tadi minggu kena tulakan jar ziarah ke Kelampayan “. Sahutku, sekalingus memberi tahukan bahwa hari minggu depan akan diadakan ziarah ke makam salah satu tokoh alim ulama yang ada di Kalimantan, yakni Makan Syekh Muhammad Arsyad Al-banjari atau yang biasanya disebut Datu Kelampayan.

            “ berapa bayarnya Dir ?” ibu bertanya berapa pembayaran untuk ikut ziarah. “ 10.000 ma ai, tulaknya pakai trak Haji Udin “. Sahutku. “ mudahan ai mama ada duit balabih Dir lah, mun kada umpat kada papa jua Dir lo “. Kata ibuku yang mecoba memberiku pengertian bahwa kalau tidak ada uang aku mungkin tidak bisa ikut ziarah. Aku hanyalah anak kecil yang tak paham dengan samua ini, di dalam hatiku aku harus ikut, ibuku harus memberiku uang untuk ikut ziarah, hatiku bergumam seperti itu. Aku belum mengerti bahwa uang begitu sulit dicari, karena ayahku hanyalah seorang penarik becak yang penghasilannya terkadang tidak lebih dari 20.000 rupian dan itu pun hanya untuk keperluan sehari-hari, makan dan uang saku sekolah aku dan kakak-kakakku yang bersekolah di bangku SMP. Ibu pun hanya seorang penjaja Buras atau Lepet ( lapat), yang ketika malam ibu bikin dan paginya ibu jajakan ke warung-warung di pasar. Aku tak tahu persis berapa penghasilan ibu, namun yang pasti penghasilan dari penjualan beras itu hanya mampu untuk menutupi SPP sekolah aku dan kakak-kakakku, susu adikku, dan kebutuhan ruamh tangga lainnya seperti bayar listrik dan memberi air bersih ke Pak RT harun seharga 100 rupiah per-tangki sepuluh liter air bersih.

            Hari sudah berjalan beberapa waktu, tiba saatnya hari ini batas terakhir pembayaran uang 10.000 untuk ikut pergi ziarah ke Kelampayan. Ibuku sepertinya amnesia tentang ziarahku besok, atau mungkin sengaja lupa tentang agenda ziarah sekolah ngajiku besok karena beliau belum memiliki uang untuk diberikan kepadaku, namun aku sekali lagi hanyalah anak kecil yang tak paham dengan semua itu. Dibenakku hanyalah aku ingin ikut pergi ziarah dan ibuku harus memberikan uang kepadaku 10.000 hari ini.

            “ Maa, hari ini terakhir ma ai bayaran gasan isuk ziarah “. Pintaku kepada ibu dengan agak sedikit kesal dan melas. “ Maa ! Maa !, kasi ma, minta duit 10.000, kena ulun kada kawa umpat ziarah isuk “. Mataku mulai memerah dan berkaca-kaca karena masih belum diberi uang oleh ibu. Ibu pun menyahut “ Dir, mama kadada bisi duit nak ai, tadi dijulung abah 10.000 mama tukarakan gasan baras wan iwak, habis duitnya, hadangi ai kalo pina abah kena datang membawa duit”. Aku pun terdiam, bibir terpaku dan mata yang masih berkaca-kaca menahan tangis. Tak menunggu lama, aku yang masih kecil yang tak mengerti apa-apa ini berdiri mengambil peci ditempat biasa aku menaruhnya, setelah itu aku duduk di teras rumah kecilku sambil menunggu ayahku pulang dari menarik becak dan membayangkan ketika ayah pulang memberikan uang untuk aku ikut ziarah besok pagi.

            “ Maaaaaa .. abah lawasnya bulik “. Keluhku yang sudah hampir satu jam menunggu kedatangan ayahku yang tak kunjung datang kepada ibu yang berada di dalam rumah. “ hadangi Dir, abah bulik ai setumat lagi .. “ . ibu mencoba menenangkanku dari dalam rumah. Tidak lama kemudian ayah pun datang dengan becak tuanya. Ayah yang kelihatan lelah, keringat membasahi bajunya sangat terlihat di mataku menghampiri aku, seakan-akan ayah sudah tahu bahwa kau sudah menunggunya dan menunggu uangnya. “ Dir.. nah, hari ini lo hari terakhir bayar gasan ziarah esok tu .. “ . Tanya ayah sembari mengambil uang dari saku kanannya. Ayah pun memberikan uang Rp. 11.200 kepadaku. Rp. 10.000 untuk bayar ikut ziarah, Rp. 1000 untuk aku jajan dan Rp.200 untuk bayar iuran sekolah ngaji per-sekali ngaji.


            Aku yang sejak tadi sudah siap berangkat ke sekolah ngaji langsung mengambil uang yang diberikan oleh ayah, dan menaruh ke dalam tas. Aku pun bersalaman kepada ayah, dan langsung berlari menuju sekolah ngaji karena aku tahu hari ini aku terlambat, karena menunggu ayah datang. Aku berlari sambil membayangkan bahwa aku bisa ikut pergi ziarah bersama teman-teman yang lain besok hari. Setibanya aku di sekolah ngaji aku pun melaksanakan aktivitas seperti biasanya, mengaji, menulis dan membayar iuran harian sekolah ngaji. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Manaqib KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin

  Manaqib Syekh KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin Penulis Arif Riduan, S.Sos.I Alumni ponpes Nurul Janna...