Selasa, 16 Februari 2016

Rasa terima kasih yang belum tersampaikan ( Buat Pak Zaini )

Rasa terima kasih yang belum tersampaikan ( Buat Pak Zaini )



Pada umumnya anak-anak usia belia atau usia sekolah dasar mempunyai kegiatan mengaji/belajar membaca alquran di taman pendidikan alquran ( TPA ). Berbeda halnya dengan aku, saat itu aku berusia sekitar 6 tahun dan duduk di bangku Madrasah Ibtidayyah Negeri ( MIN ) kelas 1. Rasa anehku mulai menghampiri pikiranku ketika ku lihat teman-teman sebayaku hilir mudik menenteng sebuah buku yang ku lihat selalu dibawa mereka dengan peci menempel di kepala.

Sampai pada saatnya aku mengetahui apa yang mereka kerjakan, yakni mengaji. Dengan sepeda yang beriringan tampak ada sebuah keceriaan yang terlihat di wajah-wajah mereka ketika pulang mengaji. Sehingga pada akhirnya aku berpikir untuk ikut mengaji bersama-sama mereka. Namun aku sadar, saat itu aku tak memiliki sepeda, lagi pula untuk mendaftar dan mengaji di TPA itu memerlukan uang pendaftaran dan uang iuran. Dengan usia sekecil itu aku memikirkan hal yang demikian, mungkin juga dikarnakan kondisi ekonomi keluargaku pada saat itu juga pas-pasan untuk keperluan keluarga sehari-hari dan biaya sekolahku.

Dalam usia sekecil itu pun aku berpikir bagaimana caranya agar aku bisa seperti teman-temanku yang mendapatkan sebuah keceriaan setiap pulang mengaji. Kedua orang tua sibuk bekerja dan mereka juga tak lancar mengaji, sehingga tak memungkinkan untuk mengajariku mengaji.
Pada akhirnya terdengar oleh kuping kecilku ini bahwa di sekolahku, Madrasah Ibtidaiyah Negeri tempatku bersekolah telah diadakan kegiatan belajar mengajar alquran oleh seorang tenaga pengajar yang bertempat tinggal di sekolah tersebut. Kegiatan tersebut diadakan pada malam hari, yakni setelah sholat isya.

Rasa inginku untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut ku utarakan kepada kedua orang tuaku, mereka pun sangat senang dengan keinginanku tersebut. Mereka sangat mendukung, bahkan masih sampai saat ini terniang-niang perkataan ibuku yang berucap “ ibu senang kamu belajar mengaji, mudah-mudahan kamu jadi anak yang sholeh sehingga ibu dan bapak bisa belajar ngaji dengan kamu nak “. Dan pada saat itu aku sama sekali tak mengerti apa yang dimaksud oleh ibuku itu.

Memang sejak saat kecil saya pandai berbicara. Kebetulan guru yang menjadi wali kelas saya, ialah guru yang menjadi pengajar pada kegiatan belajar mengaji yang sudah diadakan beberapa hari yang telah lalu. Saya pun dengan plosnya mengutarakan keinginan saya untuk ikut belajar mengaji bersama beliau. “ Pak, saya mau ikut belajar mengaji pak, boleh tidak pak ? tapi saya sama sekali tidak bisa mengaji pak ?” beliau yang bernama Zaini ini dengan lemah lembut beliau menjawab “ iya, tidak ada yang melarang siapa saja yang mau mengaji, nanti mulai malam ini kamu bisa ikutan nak” tutur beliau yang lembut.

Mengenakan peci saya yang kumal dan baju koko kebangga saya, saya diantar oleh ayah menuju sekolah setelah sholat isya. Singkat kata singkat cerita saya mulai belajar dengan Pak Zaini. Saya pun kenal dengan yang namanya Alif, Ba, Ta, Tsa, Jim, Ha, dan kho, sampai seterusnya. Berhari-hari, berminggu-minggu saya belajar mengaji dengan antusias. Sampai pada akhirnya saya sampai ke iqro 3 dan pada saat itu saya sudah berada di bangku kelas 2 madrasah.

Kegiatan belajar mengaji yang tanpa biaya alias gratis ini pada akhirnya dipindah ke siang hari dikarnakan waktu kegiatan yang berlarut malam, sedangkan malam tentunya menjadi waktu beristirahat untuk anak-anak sembari besok kembali bersekolah. Pak Zaini pun memindah kegiatan tersebut ke pukul 3 sore dan ditutup dengan sholat ashar. Tanpa pamrih beliau mengajarkan kami murid-murid beliau dengan santun, beliau mengajarkan berwudhu sholat dan doa-doa pendek.

Kegiatn ini berlangsung sekitar satu bulan lebih, sampai pada akhirnya ketika beliau menjadi imam sholat ashar dan kami murid-murid beliau menjadi ma’mum dibelakang. Pada saat itu naluri anak-anak kami muncul, saya sangat ingat kala itu pas waktu sholat teman saya yang bernama Fe*dy tertawa kecil mengetawakan teman saya S*si, sehingga pada saat itu suasana menjadi gaduh dan ribut. Sebagaimana anak-anak kalau sudha ribut sangat gak ketulungan, begitupun saya tak ketinggalan ikut serta dalam keributan. Saya sekali-kali melirik Pak Zaini dengan khusu’nya terus melanjutkan sholat beliau, sampai pada akhir sholat beliau mengucapkan salam, sontak kegaduhan yang kami buat serentak berhenti.


Kami yang tampak tanpa rasa bersalah sama sekali tampak tenang-tenang saja setelah bergaduh disaat sholat. Pak Zaini pun berdiri beliau marah kepada kami, pada saat itu saya bingung beliau sama sekali tidak tampak seperti orang yang sedang marah. Beliau yang santun dan berbicara lemah lembut kepada murid-muridnya dan kepada orang lain, bahkan kali ini disaat beliau marah masih berbicara sangat santun. Kala itu saya yakin bahwa beliau marah ketika air mata beliau mengucur ke pipi beliau, dengan santunnya beliau marah kepada kami yang bergaduh saat sholat, dan pada puncak kemarahan beliau, beliau membubarkan kegiatan belajar mengaji ini. Kami, terlebih khusus saya waktu itu sadar bahwa yang kami lakuakn adalah salah, dan wajar belaiu sangat marah. Kegitan mengaji pun ditiadakan.

Setelah beberapa minggu, mungkin sekitar 1 bulan lebih kegiatan mengaji sudah ditiadakan. Beliau ( Pak Zaini ) kembali mengadakan kegiatan belajar mengajar alquran juga di bantu oleh istri beliau ( Ibu Yanti ) dan juga Bapak H. Marwan. Saya yang masih mersa malu dengan kegadukan kemarin tak mau melewatkan kesempatan untuk kembali bisa belajar mengaji, saya pun mendaftar ikut serta untuk belajar mengaji.

Seiring waktu berjalan, saya pun sudah beranjak kelas 3 Madrasah, murid TPA yang punggawai oleh Pak Zaini ini semakin banyak peminatnya dan semakin bertambah jumlah muridnya. Sehingga bertambahlah juga pengajar di TPA tersebut, yakni beberapa orang yang bersekolah di Pondok Pesantren Nurul Jannah membatu mengajar di TPA.

Tak terasa saya sudah piawai membaca mengaji, saya mentamatkan iqro dan berlanjut ke jenjang belajar membaca alquran. Bertahun-tahun saya lewati saya semakin piawai membaca alquran dan pada akhirnya, yakni pada saat ini saya dapat membaca alquran berkat didikan para pengajar, terlebih lagi Pak Zaini yang pertama kali mengenalkan saya dengan yang namanya alif. Berkat kepandaian saya membaca alquran pun saya bisa mengajarkan lagi kepada orang tua saya, orang tua saya pun ikut pandai mengaji. Dan alif yang beliau kenalnya dulu menjadi beberapa kitab kuning yang telah saya pelajari, beberapa kitab hadits yang saya pelajari di pesantren seerta menjadi amalan serta ibadah yang saya kerjakan. Terlbih lagi saya tidak pernah lagi gaduh saat sholat setelah beliau marah dengan santun,, hihihihihi.

Rasa terima kasih yang tak pernah saya sampaikan kepada beliau ini, masih saya simpan disetiap do’a-do’a saya untuk Bapak.

saya pribadi tentu tak dapat membalas jasa beliau, cukuplah Tuhan yg akan selalu meninggikan derajat beliau.. amiin..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Manaqib KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin

  Manaqib Syekh KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin Penulis Arif Riduan, S.Sos.I Alumni ponpes Nurul Janna...