Rabu, 24 Februari 2016

AKU DAN BARONGSAI ( CERPEN TERBARU MENGENAIKU )











AKU DAN BARONGSAI 


Tepat pada pukul 21:30 Wita, hmmm.. gak ah, kayaknya gak tepat 21:30 deh, mungkin saja lebih ? kayaknya lebih deh, sekitar 21:35 / 21:40 wita, ya sudahlah gak penting juga. Pokoknya malam Rabu, tepat saat latihan musikalisasi puisi yang bakalan dipentaskan sebulan yang akan datang, aku mengantar kembali wanita cantik nan imut-imut kembali ke kosnya, ya itulah kewajiban seorang pria yang mengantar  seorang  wanita yang telah dijemput sebelumnya. Dia ialah teman ku yang sama-sama juga latihan musikalisasi puisi dimalam kemarin.
            Di tengah perjalan, aku dan temanku yang cantik imut-imut, yang disingkat “ camut “ ( bukan semut yaa ) tertahan oleh macetnya jalanan, dimana dari kejauhan sangat terdengan suara tabuhan gendang yang biasanya dimainkan oleh penggiring Barongsai. Perkiraanku benar, ternyata ada pagelaran Borongsai ditepi jalan, tepatnya dihalaman pertokoan yang cukup luas. Pekan ini bertepatan dengan hari “ Cap Go Mei “ entah apakah begitu tulisannya, hanya orang cina dan sekitarnya yang tahu. Ku tanya si Camut “ kamu pernah lihat Barongsai ? “, dia menyahut belum, lalu ku ajak dia untuk menonton sebentar pertunujukan Barongsai yang dimainkan oleh beberapa anak muda ini.
            Lenggang-lenggok bokong Barongsai seakan-akan goyang patah-patah kaya Dewi Persik, hahahaha, ( itu cuma imaginasi ku saja ). Barongsai loncat kesana kemari, diiringi dengan tabuhan gendang besar yang merasuk hingga kejantung. Malam itu aku terbawa suasa yang indah, yang bahagia serta berkesan dalam sepanjang ingatanku bersama Barongsai. Aku mulai teringat saat aku kecil, sekitar umur 7 tahun, kecil-kecil mungil serta menggemaskan pada waktu itu. Pada waktu itu pentunjukan Barongsai saat itu sangat jarang terlihat, entah kenapa ( kalau mau tahu, silahkan buka google ), bahkan saat perayaan Cap go Mei seperti sekarang kemungkinan hanya dipertunjukan hanya sekali dalam setahun, tidak seperti sekarang sudah ada dimana-mana yang namanya Barongsai ini, di pasar, dijalan-jalan raya, dipertokoan Cina, di televisi, di radio ( musiknyaaaa !!! ), di lapangan terbuka, diacara atau di event-event etnis Tionghoa dan lainnya.
            Ketika umurku 7 tahun ..
            Ariiifffff.. ayo cepat sana mandi, ayo ke musholla, sholat magrib sana ? tentu saja itu suara ibu yang agak sedikit halus namun kencang ( jangan ditanya maksudnya apa, aku juga gak tahu mau menulis apa, pokoknya nadanya halus namun kencang, daah gak usah dibayangkan). Aku yang sedang asik melihat televisi, mendatangi ibu yang asik ngasih makan adik perempuanku yang masih 4 tahun. “ Ibu, ibu nyuruh mandi, ke musholla atau sholat magribku, masa ibu nyuruh aku yang membulum mandi ini ke musholla dan ini belum waktunya sholat magrib buu “ ocehku, ya maklumlah sudah sejak kecil aku ini suka ngoceh, bahkan kepada ibuku. Namun bukan berarti aku mau ngelawan perintah ibu, tapi itu murni karna sifat asliku yang memang sangat suka bercanda. Ibuku tak menyahut apa-apa namun beliau mengambil “centong “ ( ituuu,, alat mengambil ai, kecil saja tapi tangkainya yang panjang, warnanya biasanya warna hijau, pink, merah, biru, warna ungu gak ada, kalo nanya harganya berapa aku beneran sumpah gak tahu !! ). Centong yang diarahkan ibu kepadaku, itu ialah jawaban yang tak bersuara namun aku sangat pahan maksudnya, artinya aku harus mandi, setelah mandi aku harus mengenakan pakaian sholat, yaa setidaknya pakai celana panjang dan memakai kopiah, setelah pakai baju sholat aku harus pergi ke musholla, dan ketika waktu sholat magrib tiba aku harus sholat magrib, itulah maksud si centong ketika ia mulai diarahkan kepadaku. Hahahahaha.. keselamatan terancam, ibu kejam, wahahaha.
            “ iya bu, aku akan mandi, terus ke musholla dan sholat magrib “ sahutku kepada agar ibu menurunkan centong yang ada ditangannya. Aku pun mandi. ( tak perlu ku tuliskan detailnya ritual aku mandi, karena itu rahasia ). Aku yang sudah mengenakan pakaian sholat dan mau pergi ke musholla ibuku memanggil “ Rif.. Rif, kalau udah sholat, langsung pulang yaa, jangan jalan-jalan ke Bali yaa atau jangan ke monas dulu “ wahahaha, ya gak gitu lah, ibu pesan “ jangan ke mana-mana, langsung pulang, karena ayah mau ngajak nonton Barongsay “.
            “ apaaaaaa !!! Barongsaaaaaaaaaaiiiiii !!! gilaaaa, nonton Barongsai adalah impianku, sejak aku belum dilahirkan, terima kasih ayah, terima kasih ibu, kalian memang orang tua yang berbakti kepada anaknya “ ( hatiku bergembira ). Dalam pikiranku “ asik barongsai, asik barongsai “ bahkan ketika aku sholat pun barongsai kayaknya ada berlenggang lenggok di depanku. Maklum aku sama sekali tidak pernah menonton Barongsai, hanya pernha lihat di televisi saja, dan itu ialah impianku sejak aku belum dilahirkan, hahaha, aku senang malam ini aku diajak untuk menonton secara langsung.
            Setelah sholat magrib aku pun mengucap syukur kepada Allah “ Ya Allah terima kasih, hidupku sangat mengasikan “. Aku segera pulang ke rumah, dengan langkah 12 ribu dalam hitungan yang tak pernah ku hitung aku sampai ke rumah. Di depan rumah ayah sudah siap dengan kendaraan mewahnya, ayah mengelap dan membersihkan kendaraan mewahnya sembari menunggu ibu yang lagi dandan. Aku yang masih menggunakan peci dan baju koko ( baju muslim yang biasanya dipakai untuk sholat dan untuk ke WC juga bisa sih sebenarnya ), naik duluan ke kendaraan mewah ayah, aku duduk didepan, sepeti biasa dan selalu duduk di depan. Ibu pun seselai dengan dandanannya, dia juga duduk di depan bersama adikku yang kecil imut cantik menggemaskan, ya hanya ayahku yang duduk di belakang, tentu saja dong dibelakang, karena yang sedang kami tunggangi ini ialah becak kesayangan ayah, becak yang membawa rezeki dari Tuhan kepada ayah, dan becak yang akan ku lihat sampai umurku 23 tahun nanti.
            Sekitar tiga puluh menit lamanya ayah mengayuh becak sampailah kami ke tempekong, tempat masyarakat etnis Tionghoa beribadah itu kata ibuku “ nahhh.. kita sudah sampai Rif, ini namanya tempekong, dimana orang cina, sembahyang “ loohh, kan sembahyang itu ke musholla bu, atau ke masjid bukan ke tempekong “ sahutku ?. ibu belum menjawab pertanyaanku, kami pun turun dari becak, ayah pun juga, setelah becak yang kami tunggangi sudah di parkirkan di tempat parkir yang sudah tersedia. “ oh, ya Rif.. itukan orang Muslim, Muslim memang bersembahyang di musholla, masjid dan lainnya, orang cina sembahyangnya disini, begitu juga dengan orang kristen mereka sembahyangnya di gereja, masing-masing orang mempunyai agama masing-masing dan tempat sembahyang masing-masing “ itu jawaban ibuku. Aku pun bertanya lagi “ apakah itu punya Allah bu “ , ibuku menjawab “ segala yang ada dimuka bumi, alam semesta ini ialah punya Allah nak “ sahut ibuku. Aku yang rada-rada kebingungan berpikir, ya sudahlah yang penting malam ini nonton Barongsai !!!, aku yakin setelah dewasa aku akan mengerti apa yang dimaksud ibu tadi, ini aku masih anak-anak belum bisa berpikir sedama itu.
            Dentuman gendang besar mulai terdengan, Barongsai juga sudah siap di pinggir arena itu tandanya pentunjukan akan segera dimulai. Aku yang menggenakan peci tampak berbeda dengan sekelilingku yang kebanyakan bermata sipit dan berkulit putih, aku berdiri dibarisan depan bersama ayah, ibu dan adikku. Aku tampak kegirangan, tampak senang melihat tarian-tarian yang diperagakan oleh dua pemain Barongsai yang ada didalamnya, begitu juga di sekelilingku anak-anak sipit berkulit putih juga tampak gembira melihat Barongsai menari, namun ada juga anak-anak seumuranku yang menangis ketakutan melihat Barongsai. Ketika Barongsai tepat dihadapanku ayah memberiku amplop kecil berwarna merah ( angpao ) yang sebelumnya beliau beli dipasar dan beliau isi dengan uang lima ribuan didalamnya sebelum kami berangkat. “ Ayo rif berikan kepada Barongsai itu !! “ ayah menyuruhku untuk meemberikan angpao itu kepada Barongsai yang tepat dihadapanku. Aku yang agak sedikit takut, langsung mengulurkan tanganku yang memengang angpao ke mulut Barongsai. Betapa senangnya hatiku, entah seberapa ukurannya.
            Ayahku pengambil bambu kecil yang dikasih tali ujungnya, tampak seperti alat pancing ( unjun ) yang disedia disana, begitu juga dengan penonton yang lain mereka juga nampak masing-masing mengambil pancingan tersebut, dimana ujung tali pancing itu di ikat dengan angpao yang telah masing-masing dibawa oleh penonton dari rumah. Ayahku juga tak ketinggalan, beliau melilitkan angpao di ujung alat pancint tersebut, aku digendung ayah kebahunya dan aku disuruh ayah untuk memegang bambu kecil tersebut tinggi-tinggi “ ayo, Rif, pegang tinggi-tinggi “ ayah begitu bersemangat. Tak lama kemudian setelah pancingan lain dilahat oleh Barongsai, kini giliran pancinganku. Barongsai yang meloncat tinggi, nampak berdiri lurus keatas berhasil mengambil angpao yang ada diujung tali pancing yang ku pegang. Sungguh menyenangkan. Dan itu berkali-kali kami lakukan, begitu juga ibuku dan adikku yang masih kecil. Rupaya ayah sangat banyak membawa angpao yang aku tahu didalamnya ada uang lima ribu rupiah. Karena pada sore hari aku melihat ayah memasukan uang lima ribu kedalam masing-masing amplop merah yang saya kira itu adalah jimat ala-ala cina buat mengusir vampir agar tidak mempir ke rumah. Padahal pada saat ini ( tahun 2000 ) uang lima ribu rupiah itu uang yang sangat banyak bagi keluarga kami dan apa lagi ada beberapa amplop yang diisi oleh ayah yang masing-masing berisi Rp. 5000, dan apalagi pekerjaan ayah yang hanya penarik becak uang segitu sangat banyak bagi kami. Namun ibu sama sekali tidak mempermasalahkannya. Aku belum tahu mengapa, aku pun tidak menanyakannya kepada orang tuaku menganai hal tersebut.
            Malam semakin larut, dentuman penggiring musik Barongsai masih terdengar hingga kejantung. Adikku yang mulai mengantuk membuat kami beranjak dari halaman tempekong depan jembatan merdeka menuju parkiran dimana becak ayah parkir. Tak mengapa, padahal aku ingin sekali masih melihatnya, karena aku tahu momen ini hanya ada setahun sekali di kota ini, tapi aku sudah puas, aku juga mulai mengantuk. Becak mewah ayah meulai ia kayuh aku pun tertidur hingga pagi harinya aku terbangun, aku sudah berada dikasur kecil tempat ku tidur, betapa lelapnya tidurku setelah lelah menonton Barongsai tadi malam, manun tak ada kata lelah dalam hidup ayahku, pagi hari dihari minggu dia kembali melaksanakan tugasnya sebagai pencari nafkah untuk keluarganya  menggunakan becak yang sangat ia sayangi ini.
            Setelah aku beranjak dewasa ini, aku baru sadar jauh sebelum aku dikenalkan tentang toleransi oleh guru-guruku dan uatadz-ustadzku dipesantren, jauh sebelum dikenalkan tentang pluralisme oleh para dosenku dibangku kuliah, aku sudah diajarkan oleh kedua orang tuaku tentang toleransi umat beragama melalui Barongsai. Dengan menggunakan peci aku tetap diperbolehkan ikut menonton berbaur bersama etnis cina, tidak dilarang masuk. Aku yang menggukan peci juga ikut “ memancing Barongsai dengan angpao “ sama seperti yang lain, yang berkulit putih bermata sipit. Sesekali Barongsai menatapku tepat dihadapanku tandanya ia menghargai keberadaanku yang berbeda dengan sekelilingku. Ibu dan ayahku mengajarkanku  berbeda bukan berarti harus dibeda-bedakan, apa yang mereka lihat aku juga berhak melihat, begitu pula dengan mereka apa yang aku lihat tak berhak aku melarangnya untuk melihat hanya karena berbeda.
            “ eh, gimana ni udah jam sepuluh, mau pulang ? “ tanyaku kepada temenku Cemut belum ku antar pulang ke kos. “ yaa boleh “, jawab dia.  Setelah lama kami menonton Barongsai kami pun pulang, aku mengantarkan ia pulang ke kosnya dan aku pulang ke rumag.

Arif Riduan 24/02/2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Manaqib KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin

  Manaqib Syekh KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin Penulis Arif Riduan, S.Sos.I Alumni ponpes Nurul Janna...