Sabtu, 18 Oktober 2014

Pemuda Lintas Iman Baksos (LK3) di Loksado

            Alunan lagu-lagu yang dinyanyikan oleh sahabat-sahabat Pemuda Antar Iman ketika makan siang bersama masyarakat telah selesai masih terniang dalam ingatan. Ketika itu Paula, Basit dan Clara menyanyikan beberapa lagu andalan mereka masing-masing secara bergantian untuk menghibur peserta bakti sosial yang diadakan oleh Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan ( LK3 ) Banjarmasin di Kampung Balai Bidukun Desa Malinau Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
            Tampak ada rasa malu-malu di wajah mereka ketika bernyanyi. Diawali sahabat saya Abdul Basit yang menyanyikan lagu Mungkin Nanti ( Peterpan ) dan lagu Tanah Papua yang sedikit dirubah liriknya, untuk menyesuaikan tempat; karena lagi berada di Loksado bukan di Papua, Basit menyanyikannya bersama sahabat saya Paula. Dengan antusias dan agak sedikit mengolok-ngolok canda Kaka Ariel (sapaan akrab Abdul Basit) para peserta lainnya juga ikut bernyanyi bersama-sama. Lagu berikutnya dinyanyikan oleh sahabat saya Clara, yakni lagu dari Kerispatih yang berjudul Demi Cinta. Walaupun Clara bilang ‘terpaksa bernyanyi’ namun penampilannya cukup menghibur para peserta serta para warga yang menontonnya di pelataran rumah dari kejauhan.
            Masyarakat Kampung Balai Bidukun begitu antusias menyambut kami-perserta Bakti Sosial- dengan keramahan mereka. Kami yang terdiri dari Pemuda-pemudi dari berbagai Organisasi Kemahasiswaan, baik itu PMII, HMI, GMKI, PMKRI, KMHDI terkesima melihat keramahan Masyarakat Dayak Meratus ini. Masyarakat tak segan-segan menyapa kami terlebih dahulu dan tak segan-segan berbagi cerita kepada kami.
            Sebelumnya, sekitar 30 orang peserta berangkat dari Banjarmasin mengunakan bus yang difasilitasi oleh panitia  dari LK3. Setelah berada di Daerah Kabupaten Tapin kami mampir sejenak untuk beristirahat dan makan siang. Mulai di sana kebersamaan peserta terlihat, ketiak duduk bersama di tanah tanpa alas, makan bersama-sama serta gelak tawa dan canda seakan-akan menjadi hiburan tersendiri ketika kami berada di bawah pohon-pohon karet. Pejalananpun kami lanjutkan setelah makan siang selesai. Saat menuju Loksado sahabat-sahabat dari STAI Darul Ulum Kandangan yang juga menjadi peserta Bakti Sosial LK3 menyambangi bus yang kami tumpangi. Ada sekitar 15 orang; mereka yang mengunakan sepeda motor pun membonceng sahabat-sahabat peserta yang mulai mual berada dalam bus untuk menuju Desa Malinau.
            Setelah sampai di Desa Malinau, kami harus berganti tumpangan dari bus ke mobil bak terbuka jenis pick up karena medan yang sangat terjal dan tak memungkinkan untuk bus melewatinya. Dengan bersesakan, bukan hanya sesak dengan sesama peserta akan tetapi juga bersesakan dengan barang bawaan kami yang  segunung, terlebih lagi barang bawaanya peserta perempuan “ sudah seperti mau pindahan rumah” semua barang dibawa. Kebersamaan yang diiringi canda dan tawa yang terdengar lucu serta menghibur di sepanjang perjalan yang seakan-akan seperti terombang-ambing gelombang lautan ditengah badai.
            Rasa penatpun mulai hilang saat kami tiba di Kampung Balai Bidukun. Suasana perkampungan yang jauh dari hiruk-pikuk kota serta senyuman masyarakat yang menyambut kami dengan ramah. Pijakan kaki pertama di Kampung Balai Bidukun kami awali dengan sesuatu yang sakral, yang tak boleh untuk ditiadakan, yakni berfoto. Wajah-wajah yang kusam, rambut-rambut yang berantakan serta mata-mata yang sayup mulai pasang gaya; yang menurut mereka adalah gaya berfoto terbaik didiri mereka. Yang awalnya malu untuk berkenalan di bus mulai berkenalan, yang awalnya malu untuk bilang ingin buang air besar mulai mencari toilet, tak terkecuali yang awalnya malu buang kentut mulai mencari korban untuk dikentuti.
            Senja tiba perut mulai menunjukan tanda-tanda harus ada sesuatu yang mesti dimakan. Fadli dan sahabat-sahabat yang lain menuju kebun milik warga untuk meminta ubi kayu yang ada dikebun. Sedangkan sahabat-sahabat yang lainnya menyiapkan api serta peralatan memasak dari warga sekitar Langgar Nurul Huda (nama sementara) tempat kami beristirahat. Fadli dan yang lainnya kembali dengan membawa beberapa bongkah ubi kayu yang mendapatkan izin oleh warga untuk diambil. Ubi kayu dibersihkan, perapian dinyalakan dan semua peratan telah siap pakai. Tak lama menunggu ubi kayu gorengpun siap disantap dengan bumbu khas tradisional-modern (royko rasa ayam).
            Sekitar jam 8 malam, Balai adat Bidukun mulai disambangi para sahabat peserta bakti sosial dan juga kepala adat, tokoh-tokoh adat, pemuda-pemudi, anak-anak serta masyarakat Dayak Kampung Balai Bidukun juga berkumpul di balai tersebut. Pertemuan antar lapisan masyarakat Dayak Kampung Balai Bidukun dan peserta bakti sosial bukan hanya sekedar silaturrahmi dari agenda LK3 selaku panitia pelaksana bakti sosial, namun juga diisi dengan sosialisasi pelayanan publik dari Ombudsman perwakilan Kalimantan Selatan yang mencoba mendengarkan aspirasi serta pengaduan masyarakat tentang pelayanan publik di kampung mereka, yakni Kampung Balai Bidukun. Dari perbincangan, maka terkemukalah masalah yang selama ini dialami oleh masyarakat, yakni akses jalan menuju perkampungan mereka yang sangat rusak, namun untuk pengajuan proposal atau permintaan bantuan kepada pemerintah selalu dihiraukan dan tidak ditangani. Pada malam itu pula, peserta baksos laki-laki juga berbagi cerita dan pengalaman kepada pemuda Kampung Bidukun. Begitu pula halnya peserta perempuan, yang berbagi cerita serta pengalaman mereka kepada pemudi Kampung Balai Bidukun.
            Banyak yang kami dapatkan, yang selama ini kami sama sekali tak mengetahuinya. Seperti halnya pemuda-pemudi yang tidak besekolah lantaran minder dan tak percaya diri untuk bersekolah di luar kampung mereka. Mereka merasa anak dari kampung dan sering diejek ketika bersekolah di Kota. Apalagi kepercayaan yang mereka anut “ Kaharingan” sangat dipermasalahkan ketika mereka duduk dibangku sekolah. Begitu pula ketika mereka beranjak keperguruan tinggi, mereka disuruh memilih salah satu agama yang diakui oleh Negara dan menanggalkan kepercayaan yang mereka anut.
            Hati seakan iris mendengar semua berita yang sama sekali tak pernah ku dengar. Padahal kepercayaan yang mereka anut ini sudah ada sebelum Indonesia yang kita cintai ini terwujud. Memilih kepercayaan pada hakikatnya ialah Hak Asasi Manusia dan tugas Negaralah yang menjaga keseimbangan dan perdamaian serta tugas para tokoh agama-agamalah yang membentuk diri pribadi kaumnya untuk memiliki jiwa toleransi beragama. Cukuplah ku pejamkan mata yang mulai mengantuk disuasana dingin malam itu dan apa yang ku dengarkan malam itu, ku sampaikan kepada Tuhan melalui doa.
            Sebelumnya, sebelum peserta mengambil posisi masing-masing untuk beristirahat dan tidur semua peserta dikumpulkan oleh Abdani Sholihin yang sering disapa “ Bang Dhani” atau “Kaka Pemuda”. Dengan arahan Bang Dhani satu persatu peserta baksos maju kedepan untuk memperkenalkan diri mereka. Ada yang tampak malu-malu, ada yang tampak malu-malu mau dan ada juga tampak seperti orang yang tak tahu malu. Awalnya belum kenal karena belum sempat kenalan, jadi kenal. Disadari ataupun tidak perkenalan pada malam itu masing-masing peserta telah memiliki kenalan baru dan sahabat yang baru. Semakin memiliki banyak sahabat maka hidup akan semakin berwarna dan indah, itu yang saat itu ada dalam benak pikiranku.
            Tidur yang lelap terusik dengan cuaca yang amat dingin. Selimut sekali pun tak mampu mengatasi serangan cuaca dingin yang diiringin suara-suara ayam yang berkokok tandanya peserta harus beranjak dari tidurnya dan pertanda umat Muslim untuk menunaikan kewajibannya sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan.
            Ketika langit mulai terang peserta maupun panitia dari LK3 bersiap-siap untuk kegiatan selanjutnya, tentunya setelah mandi dan memakai baji kaos yang telah dibagikan oleh panitia untuk peserta. Peserta dan panitia yang siap dengan baju kaos yang sama (sudah seperti kampaye partai) berkumpul di depan Langgar Darul Hijrah Kampung Balai Bidukun. Sebagian peserta, terlebih peserta perempuan bersama panitia dan ibu-ibu sekitar menyiapkan makan siang di depan Langgar Darul Hijrah. Sebagian peserta lainnya, diantara Bonek, Saidul, Tyo dan lainnya gotong-royong bersama warga memperbaiki lapangan bulu tangkis dan mengecetnya dan saya berserta sahabat-sahabat yang lain, seperti Ririn, Paula, Subli, Dede, Nana dan lainnya menyiapkan kegiatan perlombaan yang akan diadakan untuk anak-anak kampung Bidukun.
            Saat semuanya berkumpul; peserta, panitia dan warga untuk menyantap masakan yang aromanya menggoda indera penciuman saya pun mengambil gitar dan meminta sahabat-sahabat yang lainnya untuk bernyanyi bersama. Referensi pengetahuan chord  lagu-lagu yang banyak saya tidak ketahui membuat saya bingung untuk memainkan lagu apa yang mau dinyanyikan. Tak lama setelah beberapa lagu yang kami lantunkan tibalah saatnya makan siang, perut yang lapar sentak menghentikan lagu-lagu yang kami lantunkan.
            Perut yang lapar sudah kenyang, tiba saatnyalah para vocalis unjuk kebolehan bakat mereka Basit, Paula dan Clara secara bergantian menyanyikan lagu-lagu andalan mereka masing-masing. Suasana hening menjadi semarak saat penampilan mereka yang sudah seperti artis papan atas dan tidak kalah dengan penyanyi-penyanyi dari Indonesia Idol maupun vocalis band terkenal lainnya. Bernyanyi bersama, tertawa bersama melihat tingkah konyol vocalis andalan ( Basit ) saat bernyanyi menjadi kebersamaan tersendiri bagi kami dan lagi-lagi disadari atau tidak hal tersebut semakin mempererat ikatan kebersamaan Pemuda Antar Iman yang tergabung dalam peserta bakti sosial yang diadakan oleh LK3.
            Selang beberapa lama kemudian, saya dan para peserta laki-laki bersama warga menuju kedalam hutan untuk membersihkan bendungan yang sudah mulai kotor. Bendungan tersebut digunakan warna untuk mengalirkan air bersih untuk kebutuhan warga Kampung Desa Bidukun, mulai dari buang air sampai memasak. Air bersih yang dialirkan ke rumah-rumah warna dan bak besar untuk menampung air sudah seperti air-air yang mengalir melalui pipa-pila layaknya buatan PDAM.
            Gotong-royong membersihkan lumpur dan kotoran serta sampah yang ada di dalam bendungan tersebut. Batu-batu besar yang menutupi aliran air kami singkirkan. Dan keisengan sahabat saya yang bernama Bonek (nama asli)  mulai terlihat. Awalnya, badan Bonek yang penuh lumpur dan tanah memelur Ricky yang saat itu tidak memakai baju, maka keisengan tersebut menjalar kepada sahabat-sahabat lainnya. Saking kalahnya sahabat saya Aldy dengan Bonek yang melumpuri badannya, ketika Bonek mencoret wajahnya sendiri dengan lumpur agar terlihat keren seperti orang-orang pedalaman, sontak Aldy pun berkata “ Bonek itu mencoret muka dan badannya bukan karena ingin terlihat keren ! tetapi untuk menutupi panu yang menyebar di badannya !!, kami pun tertawa dengan sangat lepas, tentunya menertawakan Bonek yang saat itu melumpuri kami. Dengan senyum-senyum yang disimpan dan tertawa kecil yang hampir tak terdengar warna yang juga membersihkan bendungan ikut menertawakan Bonek setelah mendengar ocehan Aldy tersebut.
            Wajah dan badan yang cemong penuh lumpur masih kami sempat-sempatkan untuk berfoto eksis, bermacam gaya kami peragakan. Mulai dari gaya terjelek sampai gaya pose yang sok cool (Saidul). Yang lebih mengherankan lagi Bang Dhani ternyata takun sama cek-becek, dengan alasan mengambil foto kami yang sedang becek-becekan, padahal tidak suka becek, wajar saja, kan beliau rada gimana gitu, takut kulitnya rusak. Beberapa lama kemudian, bersih-bersih bendunganpun selesai, bergegas kami yang cemong mengambil peralatan mandi dan menuju kesungai, tentunya dengan diiringi gelak-tawa yang selalu hadir didalam kebersamaan kami.
            Ada pemandangan yang unik saat kami membersihkan diri di sungai Kampung Balai Bidukun yang bersih dan sejuk. Saat itu ada Mak Haji yang juga ikut mandi ( Fajar Si Gimbal yang sedang mandi berendam dengan Bandana di kepala; persis seperti wanita tua yang sedang mandi memakai penutup rambut), momen tersebut mengundang gelak tawa yang menghibur untuk menghilangkan penat kami. Ketika kami mulai mandi, saya di samping Aldy berendam, dia pun mengatakan “ Rif, kamu merasa gak airnya panas ?”. Saya tahu apa yang dia maksud, dia sedang buang air kecil, saya hanya tersenyum kecil, padahal saya juga buang air kecil sejak tadi.
            Waktu juga yang memaksa kami untuk beranjak pergi dari Kampung Balai Bidukun. Agenda kegiatan kami yang berikutnya sudah menanti. Dalam agenda selanjutnya kami akan menuju Balai Malaris untuk mengadiri acara adat Aruh Ganal yang diadakan oleh masyarakat Dayak Meratus ketika musim panen telah usai. Sebelum berangkat ke Balai Malaris, kami beserta semua peserta bakti sosial dan panitia dari LK3 berfoto bersama tokoh-tokoh masyarakat, anak kecil serta pemuda Kampung Balai Bidukun. Bersamaan dengan itu pula panitia menyerahkan kenang-kenangan berupa peralatan olahraga untuk masyarakat khususnya olahraga bulu tangkis.
            Bus yang kami tumpangi kemaren telah menunggu di dekat Kantor Kepala Desa Malinau dan siap untuk mengantar kami menuju ke Balai Malaris, dimana acara Aruh Ganal dilaksanakan. Dengan lantunan lagu-lagu yang nyanyikan oleh sahabat-sahabat yang berada dibagian belakang bus setia mengiringi perjalan hingga sampai di Desa Tanuhi. Untuk mencapai Balai Malaris kami harus menumpang mobil pick up, karena bus tidak memungkinkan untuk melewati jalan yang sempit.
            Setibanya di depan jembatan gantung menuju Balai Malaris yang rusak akibat diterjang banjir, kami pun harus berjalan kaki sekitar 2 km untuk menuju lokasi. Sekitar jam 20:00 Wita kami tiba di Balai Malaris. Pemandangan yang tak pernah saya lihat memanjakan badan yang lelah, ratusan masyarakat berkumpul di dalam balai tersebut; saling bercengkrama, dan makan bersama. Tua maupun muda membaur dalam kebersamaan untuk melaksanakan Aruh Ganal yang diadakan setahun sekali oleh masyarakat Dayak Meratus. Kekagumanku akan kebersamaan mereka (masyarakat dayak) malam itu membuatku berpikir ‘seandainya seluruh rakyat Indonesia seperti ini, semuanya akan sangat indah’.
            Pukul 21:00 Wita, suara gendang terdengar dan ku lihat seeorang yang berdiri di tengah-tengah arena Balai Malaris seperti ingin menari. Seseorang tersebut menghentakan kakinya mengiringi suara gendang yang dimainkan beberapa orang dipinggir arena, sontak beberapa orang dewasa serta anak-anak juga beramai-ramai menari dengan hentakan kaki yang sama mengelilingi arena ditengah balai. Tarian itu disebut dengan Batandik.
            Melihat keseruan para pemuda menari menggugah rasa sahabat-sahabat saya untuk ikut menari. Ricky, Bonek, Tyo, Fajar ikut menari ketengah arena ikut bergabung untuk menari bersama pemuda yang lainnya. Tarian yang diikuti sahabat-sahabat saya tersebut sontak mengundang tawa, bukan hanya peserta baksos yang tertawa akan tetapi warga yang menyaksikan gerakan-gerakan konyol merekapun itu tertawa melihatnya. Apapun gerakan yang mereka tarikan itu tidak menjadi masalah, karena tarian tersebut adalah tarian pembuka dan tarian dari sahabat-sahabat saya yang konyol menjadi hiburan tersendiri bagi yang menonton.
            Mantra-mantra serta doa-doa dikumandangkan oleh kepala Adat dan diikuti oleh beberapa tokoh adat lainnya ketika acara Balian dimulai. Suara gendang mengiringi prosesi Aruh Ganal  sepanjang malam. Bingung memang melihat apa yang mereka lakukan, saya juga tidak tahu apa yang mereka kumandangkan, namun yang pasti acara ini merupakan ungkapan rasa syukur Masyarakat Dayak Meratus atas panen padi yang melimpah. Malam mulai larut, suara gendang dan mantra-mantra masih terdengar, beberapa peserta baksos ssudah terlelap di pinggiran arena acara. Dengan mata yang mengantuk saya pun tertidur sekitar pukul 03:00 wita.
            Suasana dingin yang teramat dingin membangunkan saya dan sahabat-sahabat yang lainnya. tepat jam 6 pagi kami mulai berkemas dan berkumpul di depan Balai Malaris untuk menuju Desa Tanuhi. Agenda berikutnya ialah naik rakit menulusuri sungat Amandit Loksado bersama seluruh panitia dan peserta bakti sosial. Sebelum sampai Tanuhi, kami harus berjalan kaki entah seberapa jauh, karena saya tidak mengukurnya; tapi kira-kira sekitar 5-6 kilo meter rasanya kami berjalan.
            Rasa lelah terbayar ketika saya berada di atas rakit dan memandang suasana indah yang memanjakan mata. Sambil memakan nasi bungkus yang dibagikan oleh panitia, saya serta dua sahabt saya Basit dan Clara bercanda riya menikmati keindahan alam yang asri. Begitu juga saya lihat denagn sahabat-sahabat yang lain. kegembiraan bisa tampak saya lihat dari wajah-wajah lelah mereka. Clara dan juga Basit yang jago nyanyi mengajak saya untuk membikin musik dari rakit bambu yang saya naiki, segera saya meminta untuk bapak-bapak yang memandu perjalan kami untuk menepi sebentar untuk mencari ranting yang dapat dipukulkan kebambu agar dapat menghasilkan suara musik. Sembari menyanyi riya kami nikmati perjalan kami diatas rakit hingga tiba dititik persinggahan yang telah direncanakn oleh panitia.
            Rakit yang kami tumpangi pun berhenti begitu juga dan sahabat-sahabat yang lain ada yang duluan sampai dan ada yang datang belakangan. Baju yang basah saya ganti di kamar mandi masjid dimana bus yang kami tumpangi telah menunggu. Dengan perasaan lelah dan penat saya merebahkan diri di ruangan masjid tersebut. Tak peduli jika saya ditinggal bus ketika saya tidur karena mata sangat mengantuk. Sadang tak sadar saya pun tertidur lelap tak peduli lagi apa yang akan terjadi entah mimpi apa yang ada saat saya tidur, saya pun tak ingat. Sesekali saya terbangun dari tidur namun mata masih terpejam dan terdengar sayup-sayup keriuhan canda tawa sahabat-sahabat yang ada diluar masjid, saya berpikir ini berarti saya belum ditinggal. Untuk kali kedua saya terbangun lagi dan masih dengan keadaan memejamkan mata, saat itu masih terdengar suara sahabat-sahabat yang ribut diluar. Tak lama kemudian saya terlelap pulas dan akhirnya terbangun lagi untuk kali yang ketiga. Tak ada lagi suara ribut peserta diluar masjid.
            Mata yang masih terpejam namun pikiran saya menyimpulkan bahwa saya sudah ditinggal pulang bus yang sama tumpangi. Sontak saya pun terbangu dan berdiri dengan kedua belah kaki yang tegak serta dengan perasaan yang was-was ditinggal bus. Betapa terkejutnya saya ketika melihat sahabat-sahabat yang tadinya ribut di luar masjid ternyata juga ikut tidur pulas di samping saya di dalam masjid. Saya lagi-lagi berpikir dan menyimpulkan, saking eratnya kebersamaan kami bahkan saat lelah pun kami sama-sama tertidur dengan pulas dan sama-sama tak takut ditinggal bus.
            Setelah makan siang, kami dan panitia bergegas untuk pulang kembali ke Banjarmasin. Ketika bus mulai. Bus yang semula terdengar riuh dan ribut tak berapa lama menjadi sunyi sepi. Saya lihat wajah-wajah lelah dari lelapnya sahabat-sahabat perserta baksos. Saya tersenyum ketika bayang-banyang kegiatan baksos serta kebersamaan yang kami jalan selama 3 hari kemarin, terlebih lagi ketika mengingat Basit dan Paula bernyanyi dibawah pohon sdah seperti shotting film India. Lelahpun menghampiri, saya pun juga ikut terlelap didalam keheninga, dan hingga akhirnya tiba di Banjarmasin lagi dengan selamat.

by. Arif Riduan / Haji Olee
           
           

           








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Manaqib KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin

  Manaqib Syekh KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin Penulis Arif Riduan, S.Sos.I Alumni ponpes Nurul Janna...