Rabu, 29 Oktober 2014

Cerpen : Sepakbola Senja Karya Arif Riduan




Hari Minggu adalah hari keluarga bagi saya. Setelah sibuk satu minggu penuh lepas rasanya penat pekerjaan ketika bercanda sambil bermain playstation bersama anak pertama saya yang berumur 10 tahun di rumah. Ahmad sekarang duduk di bangku kelas 5 Madrasah Ibtidayah Negeri Kelayan, tempat saya bersekolah dulu. Ketika itu kami bermain game sepakbola, saya memainkan club sepakbola asal Inggris, Chelsea dan Ahmad memainkan Manchester United. Ahmad tidak bermain sendirian, dia didukung ibunya yang juga penggemar MU, sepanjang pertandingan ibunya selalu mengganggu saya agar saya kalah dalam pertandingan kali ini, kadang-kadang dia teriak-teriak ketika tembakan pemain Chelsea menyeset, kadang-kadang menggelitik pinggang saya. Pokoknya istri saya yang bernama Nur Ain ini pengen Chelsea kalah.
            Tentu saja Chelsea menang, walaupun menangnya hanya dengan adu finalti. Istri dan anak saya yang tadinya sorak sorai kini tersipu tanpa kata, saya pun hanya tertawa kecil, melihat kekalahan mereka berdua.
“ Iiihh, Ayah curang ! jelas aja ayah menang, anak kecil yang dilawan, tutur istri saya yang masih gak terima kelahannya.
“ iya, Bunda, ayah curang ! gimana kalau kita yang main Bunda ? ayah kita tinggal aja, ayah curang, Ahmad mengajak ibunya bermain.
            Dengan menerima nasib, saya pun pindah duduk di belakang mereka bermain Playstation. Penuh keceriaan yang saya lihat dari wajah lucu mereka, sambil tertawa dan sesekali Dinda mencoba menggoda saya karena gak diajak bermain. Seketika itu ingatan saya mulai datang tentang masa kecil saya dulu yang suka bermain bola.
            Setiap hari, sekitar jam 16:00 wita atau jam 4 sore, saya dan temannya selalu bermain sepakbola dilapangan sekolah. Nama saya Irfan Ramadan dan dipanggil Ervan, (keren cuy !). Reza adalah sahabat saya yang sangat suka bermain bola, dia adalah striker terbaik dikalangan anak kecil seumur kami. ada pula teman-teman yang lain, yang hebat bermain sepakbola, seperti Firdaus, Andy, Ahyar, Madi dan lainnya. Saya sebagai pemain belakang yang diperhitungkan oleh teman-teman, karena tendangan saya yang keras apabila menyapu bersih bola dari lawan.

            Keceriaan kami selalu terusik ketika orang-orang dewasa mulai berdatangan dan bermain bola. Kami yang hanya anak-anak diumur 10-12 tahun hanya bisa mengalah dengan orang-orang dewasa ini. Saat itu lapangan sepakbola hanya ada satu, yakni di halaman Sekolah Dasar dikampung kami. Hal itu terjadi setiap hari, sehingga durasi kami bermain bola hanya sekitar 30 menit, bahkan sering kuang dari pada itu. Bukan anak-anak namanya jika hanya berdiam diri saja, kami pun melanjutkan permainan selanjutnya, yakni bermain air di sungai. Berenang di sungai kebanggaan orang Kelayan.
            Musim kemarau pun tiba. Musim inilah yang kami tunggu-tunggu. Alfi mengajak kami untuk membawa peralatan yang kami miliki guna membersihkan sawah yang sudah dipanen untuk kami jadikan lapangan sepakbola. Alfi adalah teman kami yang paling tua, umurnya 14 tahun, namun dia masih duduk di kelas 6 SD. Pastilah dia menjadi ketua atau yang kami segani waktu itu, karena umurnya tua dari kami.
“ yang punya parang bawa, celurit juga bawa !, pokoknya alat untuk memotong rumput bawa aja, kita mencari lokasinya dulu, sekalian kita bersihkan agar besok kita sudah bisa main sepakbola” kata Alfi yang udah duluan membawa golok untuk membersihkan sawah.
            Saya pun diam-diam ke dapur rumah, tempat ayah saya meletakkan parang miliknya. Kalau ketahuan ayah, saya membawa parang miriknya pasti beliau gak mengijinkan. Kata beliau “ jangan di bawa ke sawah, ananti parang ayah jadi karatan “. gitu, kalau ayah lihat saya bawa parang miliknya. Saya berhasil mengambil parang dan bergegas menyusul teman-teman yang sudah ada di sawah yang akan dijadikan lapangan dengan peralatan mereka masing-masing.
            Rumly, sangat cekatan menebas batang-batang pagi yang sudah dipanen, ya, maklum teman saya ini adalah anak seorang petani yang sering membantu orang tuanya bekerja disawah. Rumly dan teman-teman yang lain bertugas untuk memotong batang-batang padi, Saya serta Ahyar dan Andy bertugas untuk mengangkut potongan-potongan batang padi yang berserakan ditengah lapangan ke pinggir lapangan.
            Adzan magrib sebentar lagi tiba, karena radio orang mengaji al-quran mulai terdengar dipengeras suara Langar Arrahman di kampung kami. Alfi pun menyerukan kepada kami agar aktivitas membikin lapangan ini disambung besok sore. Lapangan 16 X 10 meter pun sudah terbentuk, tinggal membikin tiang gawang dan membersihkan sisa-sisa batang padi yang belum sempat terangkut untuk di bawa ke pinggir lapangan.
            Besok hari sekitar jam 4 sore , setelah semuanya selesai lapangan pun sudah bisa dipakai untuk bermain sepakbola, Andy membawa bola plastik yang dibelinya enam ribu rupiah dengan uang pribadinya ke lapangan untuk kami bermain bola. Andy adalah anak orang yang lebih berada dan lagi pula dia tidak pelit, sangat sering dia membawa bola miliknya untuk kami mainkan bersama.
            Dimulai dengan pim-plah ( hom pimpa), kami pun terbagi menjadi dua club, yakni club pertama Alfi, Andy, Daus, Dali, Upin dan saya, clup kedua Ahyar, Madi, Reza, Fahri, dan Adan. Club saya di kapteni oleh Alfi dengan striker andalan Daus dan Club yang menjadi lawan kami di kapteni oleh Madi dengan striker andalannya Reza serta Madi sendiri.
            Permainan kali ini sangat seru, dengan berbagai imajinasi yang muncul dari jurus-jurus tendangan teman-teman, begitu juga saya. Mulai dari jurus tentangan membelah bumi sampai tendangan Captain Tsubasa selalu terdengar takala ada yang menendang di depan mulut gawang. Gawang kami pun berhasil dibobol oleh Reza yang sangat piawai menggiring bola. Karena gol tersebut kami harus melepas baju yang kami pakai sebagai hukuman dan sebagai pembeda, agar tahu yang mana kawan dan mana yang lawan. Jadi, yang tidak memakai baju adalah kawan di club kami. Itulah aturannya, untuk gol-gol berikutnya siapa yang kebobolan harus pust-up sebanyak sepuluh kali.
            Jual beli serangan selalu terjadi disepanjang pertandingan, tak ketinggalan saya pun menyumbangkan satu gol untuk club saya kali ini. Begitu juga teman-teman yang lain. Selebrasi yang lucu kadang terlihat ketika gol tercipta dari kedua club. Bukan hanya bermain bola yang membuat kami senang, namun tikah laku yang lucu juga membuat suasna bermain kami semakin menarik.
            Tak terasa pengeras suara lantunan ayat suci Al-qur’an mulai terdengar Langgar Arrahman, itu tandanya kami harus menyudahi permainan sepakbola pada hari ini. Dengan skor 14 : 8 , yaitu kemenangan Reza dan kawan-kawan membuat kami harus melaksanakan hukuman selanjutnya, yaitu bagi club yang kalah gak boleh memakai baju dari lapangan sampai ke rumah. Itulah aturan permainan yang harus kami taati, walau tak tahu kenapa harus ditaati.
            Hampir setiap hari kami bermain sepakbola di lapangan yang kami bikin. Sesekali sifat nakal anak-anak kami muncu, terkadang disaat kami mulai lelah karena permainan sepak bola yang seru. Fahry teman saya yang terkenal dengan ide-ide kreatifnya, walau terkadang ide kreatifnya tersebut cenderung nakal sering sekali mengajak kami mengambil kelapa milik orang lain. Saat itu sudah seperti perang saja, ide kreatif Fahry disambut baik oleh Alfi yang menagtur skema pencurian kelapa yang akan kami lakukan.
“ Fahry yang naik pohon kelapanya nanti, Andy, Lupin dan Dali bertugas mengambil kelapa yang sudah dijatuhkan, Arif, Reza dan Madi bertugas memantau situasi kalau-kalau yang punya kelapa tahu atau melihat, dan saya akan duluan kedalam (mencari persawahan) untuk mencari pohon mana yang akan kita selesaikan “ tutur Alfi mengatur skema.
            Setelah Alfi kembali dan mengarahkan ke tempat pohon kelapa yang akan kami eksekusi, kami pun melaksanakan tugas yang telah dibagi. Bergegas Fahry menaiki pohon kelapa dan menjatuhkannya, dan Andy Cs segera memungut kelapa yang dijatuhkan untuk dibawa ke tempat yang telah kami rencanakan. Saya pun menaiki pohon jambu sambil memantau kalau-kalau yang punya pohon kelapa datang begitu juga Madi dan Reza memantau di sisi sawah yang lain. Tak lama dari kejauhan Madi melihat seseorang menuju ke tempat kami, Madi pun berlari-lari kecil untuk meberi tahu yang lain bahwa ada orang yang menuju ketempat ini.
“ hey, ayo turun ada orang yang menuju kesini “ kata Madi menyeru Fahry untuk turun dari pohon.
“ ya sudah, ayo kita bawa kelapa kelapa yang sudah kita petik, eh, Andy, dimana kamu tadi membawa kelapa yang lain” Seru Alfi
“ di sana , dekan arah kuburan sana” sahut Andy dengan nada pelan
            Kami pun bergegas membawa kelapa-kelapa tersebut ketempat lain. disana kami menyantap puas hasil kenakalan kami. Tanpa rasa bersalah kami pun melanjutkan permainan sepakbola kami. Dan hal tersebut sering terjadi, dengan skema yang baik kelapa muda selalu berhasil kami ambil.
            Beberapa minggu kemudian Alfi pun mengutarakan niatnya untuk mengadakan perlombaan sepakbola untuk umur sebaya kami di lapangan yang sudah kami buat.
“ Van, bagaimana kita mengadakan perlombaan sepakbola di lapangan ini, kalau main-main saja gak asik juga kan ? “ tanya Alfi kepada saya ketika kami berkumpul di lapangan.
“ betul juga Fi, lagi punya musim kemarau juga akan berakhir, kita nunggu satu tahun lagi untuk bisa bermain di lapangan sawah ini “ saya menjawab.
“ saya setuju, gimana kalau kita adakan CUP (maksudnya turnamen sepakbola) saja “ sahut Andy yang mendengarkan perbincangan kami.
“ kira-kira apa dong nama Cupnya nanti ?” tanya Alfi kepada kami
“ gimana kalau Senja Cup aja, gini kita mulai pertandingannya sekitar jam lima-an, jika mulai terdengar mengaji dari langgar maka habislah waktunya “ saya memberika ide.
            Semuapun sepakat kami akan mengadakan Senja Cup yang akan di selenggarakan di lapangan yang sudah kami buat. Lupin yang memiliki tulisan yang bagus diminta oleh Alfi untuk membuat pengumuman akan diadakannya Senja Cup. Saya pun mempotocopi pengumuman tersebut sebanyak 20 lembar yang uangnya dari hasil patungan kami satu orang seribu rupiah guna mendanai Senja Cup ini. Pengumuman yang sudah diperbanyak kami sebar ke kampung kampung sebelah, isi pengumuman tersebut di antaranya maksimal peserta kelas 6 SD dan membayar uang pendaftaran 5000 rupiah satu tim dan pendaftarannya di buka besok hari jam 3 siang.
            Besok harinya banyak anak-anak sebaya kami datang ke lapangan untuk mendaftarkan tim ke Senja Cup yang kami adakan. Ada enam tim yang mendaftar dan dua tim dari kami tuan rumah jumlahnya ada delapan tim yang akan bertanding. Nama tim tersebut ialah tuan rumah Brazil dan Egle FC, sedangkan tim tamu ialah Telukkubur FC, Ankomgur, Yukaba, Bocah Junior, X-FC , serta Bintang 29. setelah ada 8 tim yang mendaftarkan kami pun mengacak tim yang akan bertanding mulai besok. Pertandingan diatur dalam sistem gugur. Partai pembuka Yukaba melawan Bocah Junior.
            Besok harinya ketika Yukaba dan Bocah Junior bertanding Saya dan Andy ditugaskan untuk membeli makanan ringan untuk nanti dijadikan hadiah Senja Cup dari sejumlah uang dari pendaftaran. Pertandingan pertama dimenangkan oleh tim Yukaba.
            Pertandingan yang telah terselenggara beberapa hari menyisakan partai puncak yakni Egle Fc melawan Bocah Junior yang sebelumnya mengalahkan Brazil dan Yukaba, serta kami Egle Fc berhasil mengalahkan X-Fc dan Bintang 29. Hadiah yang berupa minuman fanta beberapa botol dan mie instan serta beberapa makanan ringan lainnya telah menunggu di pinggir lapangan untuk sang juara Senja Cup.
            Partai Final pun tiba, Saya dan Daus sebagai pemain belakang, Alfi sebagai pemain tengah , Adan sebagai penjaga gawang serta Reza striker andalan kami sudah berada di dalam lapangan berhadapan dengan anak-anak dari tim Bocah Junior yang selalu menang telak terhadap lawannya. Tanpa ada wasit yang memimpin pertandingan pun dimulai. Jual beli serangan terjadi, tak berselang lama tendangan keras dari Ferry membentur tumit kaki saya sehingga bola mengarah ke gawang yang dijaga oleh Adan padahal tindak saya untuk menghalau bola tersebut. Adan pun terkecoh dan gol untuk Bocah Junior pun tercipta.
            Rasa kecewa terlihat dari wajah teman-teman yang menyesalkan gol bunuh diri dari saya. Mengingat tim Bocah Jonior sulit sekali dijebol oleh lawannya membuat kami semakin takut akan kekalahan.
“ woyy.. semangat woy, baru satu kita kebobolan, waktu masih panjang senja masih lama, ayo semangat “ teriak Madi di pinggir lapangan, yang timnya sudah gugur dikalahkan oleh Bocah Junior sebelumnya.
            Reza dan kerjasamanya dengan Alfi belum mampu membobol gawang Bocah Junior yang dijaga oleh Iky Kok yang dikenal sangat piawai menjaga gawang. Tendangan-tendangan keras dari Daus pun tak mampu mencatatkan namanya di pertandingan kali ini sebagai mencetak gol. Saya sebagai pemain belakang sangat kewalahan menahan serangan dari duet penyerang Bocah Junior Ferry dan Amat yang gencar mengintar gawang kami. Saya pun hanya bisa sapu bersih dengan tendangan keras untuk menghalau serangan mereka.
            Hari mulai menggelap, namun kumandang ayat suci Al-quran dari pengeras suara langgar belum terdengar, itu tandanya pentandingan belum berakhir. Sorak-sorai dukungan teman-teman sayup-sayup terdengar memberikan semangat agar kami memenangkan pertandingan final Senja Cup ini.
            Ketika bola berhasil saya rebut dari Ferry, saya langsung mengumpan lambung kepada Reza yang sudah ada di depan gawang Bocah Junior, Reza berhasil menyambut umpat dari saya dan dia berhadapan langsung denan Iky Kok penjaga gawang Bocah Junior, Reza pun mengecohnya seakan-akan ingin menendang akan tetapi mengumpan kepada Daus yang ada di sampingnya. Daus pun mengarahkan bole kegawang dan berhasil mencetak gol untuk penyeimbang. Tak berselang lama gol kedua Daus pun terjadi saat tendangan keras tak bisa dibendung oleh Iki Kok.
            Teriak kawan-kawan serta selebrasi Daus yang melepas baju dan memutarkannya dengan tangan, menjadikan suasana bak kejuaraan piala dunia. Suara lantunan ayat suci al-Qur’an pun  terdengar itu tandannya waktu pertandingan pertandingan sudah habis, dengan skor 2-1 tim kami pun memenangi Senja Cup yang kami selenggarakan sendiri. Dengan bangganya saya mengangkat botol fanta yang berwarna hijau mengelilingi lapangan, seakan-akan botol yang berisi fanta tersebut adalah piala.
            Makanan ringan dan snack-snack yang dijadikan hadiah kami santap bersama-sama, tak lupa tim Bocah Junior pun kami tawarkan untuk bergabung menikmati snack-snack hadiah, namun mereka menolak dan bergegas meninggalkan lapangan dengan wajah-wajah mereka yang kecewa. Suka riya mengiringi senja pada saat itu, anak-anak yang seharusnya pulang kerumah pada saat itu belum juga pulang.
            Adzan magrib pun menandakan Senja telah usai, malam akan datang, kami pun berlarian menuju ke rumah masing-masing, dengan snack yang ada didua belah tengan, berlari kencang menuju ke rumah dengan pikiran menerka nanti setelah di rumah saya akan di marahi oleh ibu saya, karena kaki yang kotor dan pulang magrib tentu akan membuat kemarahan ibu. Itu yang saya pikirkan sepanjang saya berlari. Saya lihat teman-teman yang lain juga berlari kencang dengan senyuman indah di wajah mereka.
            Sudah saya duga, ibu pun memarahi saya dan menggiring saya menuju ke kamar mandi, ibu pun memandikan saya dengan marah-marah.
“ Van, Vaaaan.. sudah tahu senja, kenapa gak pulang, kan sudah ibu bilang kamu boleh main boleh, kamu boleh jalan-jalan, tapi kalau sudah mau magrib ya pulang, mandi terus ke langgar sholat magrib” ibu marah.
            Saya hanya bisa jawab “ iya buu’ Ervan janji gak akan telat pulang lagi “. Ibu memandikan saya sambil marah-marah sesekali gayung kecil untuk memandikan saya dipukulkan ibu ke pantat saya.
            Padahal saya udah besar gak perlu dimandikan sama ibu lagi kali ini dimandikan ibu karena badan kotor dan telat pulang. Setelah saya selesai dimandikan ibu, bergegas saya memakai maju dan mengambil peci dan berlari keluar rumah menuju ke langgar Arrahman untuk sholat magrib, padahal untuk menghindari omelan ibu yang selanjutnya saya melarikan diri dengan alasan bergeges ke langgar, padahal di langgar udah hampir salam.
            “ gooooooooool “ teriak anak saya berhasil menbobol gawang ibunya dipermainan Playtation mereka membuat sama kembali jaman sekarang, khayalan masa lalu tentang sepakbola senja hilang dikejutkan dengan teriak kegembiraan Ahmad.
            Kasihan Ahmad hanya bisa bermain sepakbola melaui Playtation, sekarang gak ada lagi sawah yang bisa dijadikan lapangan, karena saat kemarau tanah akan membangkan keras dan kering. Lapangan sekolah gak diperbolehkan lagi untuk bermain sepakbola karena mengotori lingkungan sekolah dan dikhawatirkan membuat kaca-kaca sekolah menjadi pecah. Ya setidaknya ibunya menjadi gak repot memandikan sambil marah-marah jika Ahmad pulang magrib dan berbadan kotor.

“ selesai “

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Manaqib KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin

  Manaqib Syekh KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin Penulis Arif Riduan, S.Sos.I Alumni ponpes Nurul Janna...