Tanggal 31 januari tahun ini (2014)
Nahdlatul Ulama (NU) telah genap berusia 88 tahun, sebuah usia yang tidak lagi
muda untuk sebuah organisasi kemasyarakatan berbasis sosial-keagamaan. NU dalam
sejarah panjang perjalanannya telah mengalami proses dinamisasi yang begitu
kompleks, sehingga beberapa peneliti barat tertarik untuk mengkaji ormas Islam
berlambang bola dunia ini secara massif sejak awal tahun 70-an hingga kini,
sebut saja peneliti, sosiolog sekaligus antropolog sekelas Kenneth Ward,
Martin van Bruinessen, Mitsuo Nakamura, Greg
Barton, Greg Fealy, Andrée Feillard, Douglas Ramage, dan Robin
Rush. Mereka melihat bahwa pengaruh NU dalam masyarakat Indonesia begitu
tertanam kuat, NU menjadi bagian dari suprastruktur sosial yang banyak berperan
dalam pembentukan corak budaya keagamaan, karakter sosial-kemasyarakatan hingga
gerakan politik kebangsaan.
Selain dalam arena sosial-keagamaan NU
telah turut pula berperan dalam percaturan politik di bangsa ini, sejak memisahkan
diri dari Masyumi pada tahun 1952 kemudian mendeklarasikan diri sebagai partai
politik dengan berbagai macam konsekuensi yang harus diterima sebagai bagian
dari dinamika kehidupan organisasi. Walaupun pada tahun 1973 harus turut pada
desakan kebijakan fusi partai yang digalakkan rezim orde baru, sehingga harus
berafiliasi bersama partai Islam lainnya dalam Partai Persatuan Pembangunan
(PPP). Hingga pada akhirnya berkomitmen untuk kembali ke garis perjuangan khittah
1926 pada tahun 1984 di era kepemimpinan KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) untuk
keluar dari politik praktis dan kembali menjadi organisasi yang bergerak dalam
urusan keagamaan, sosial-kemasyarakatan dan pendidikan. Langkah itu diambil
sebagai ijtihad dalam menghadapi realitas di masa itu, sekaligus untuk proyeksi
di masa depan, juga demi menjaga eksistensi organisasi yang terus-menerus
menjadi bulan-bulanan penguasa.
NU yang selama bertahun-tahun
distigmatisasi sebagai organisasi tradisional milik kaum sarungan (pesantren) yang
kolot dan jumud, perlahan membuktikan bahwa komitmen mempertahankan tradisi
adalah sebuah kewajiban kolektif demi meneguhkan eksistensi Islam sebagai agama
dengan kerahmatan yang universal, sehingga senantiasa mengakomodir khazanah nusantara yang telah lebih dulu
hadir berabad-abad lamanya. NU hadir dengan nuansa pemahaman keagamaan yang
moderat dan inklusif. Satu kaedah yang masih dipegang oleh kalangan NU adalah
mempertahankan tradisi dan nilai lama yang masih baik dan mengambil hal dan
nilai baru yang lebih baik, hal itu mengisyaratkan bahwa NU bukanlah organisasi
yang anti perubahan dan menolak kemajuan serta arus modernisasi seprerti yang
banyak dituduhkan kepadanya.
Komitmen Kebangsaan
Tidak ada yang bisa meragukan komitmen
kebangsaan NU, sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia bahkan di dunia dengan
pengikut tak kurang dari 80 juta jiwa NU menjadi salah satu stakeholder
di bangsa ini yang peran dan kontribusinya terhadap negara menjadi begitu
vital, dalam sejarahnya NU adalah salah satu ormas Islam yang secara nyata
menerima Pancasila sebagai asas bernegara yang tak perlu dibenturkan dengan
persoalan keyakinan, karena dalam pemahaman NU bahwa Pancasila sebagai ideologi
negara bukanlah agama, dan tak akan pernah menggantikan kedudukan agama,
melainkan sebagai landasan bersama untuk membangun sebuah tatanan bernegara.
Dengan keinsyafan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural yang tak
mungkin disatukan melalui pendekatan primordialisme kelompok, sehingga Pancasila
diterima sebagai sebuah hasil konsensus dari segenap elemen bangsa.
Anehnya ketika kita mencoba melihat akronim
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di sana telah terlihat adanya sebuah
komitmen kebangsaan yang sangat kuat. Huruf P dapat menjadi singkatan dari
Pancasila, huruf B merupakan singkatan dari Bhineka Tunggal Ika, huruf N adalah
singkatan dari NKRI, dan U adalah singkatan dari UUD. Sebuah hal yang tentuya
tak terjadi secara kebetulan, poin-poin dari kepanjangan huruf-huruf itu adalah
apa hari ini kita kenal sebagai empat pilar bangsa yang beberapa tahun terakhir
begitu gencar disosialisakin oleh MPR.
Komitmen NU terhadap bangsa Indonesia
bukannya tak memiliki landasan teologis, ada dalil yang menyatakan hubbul
wathan minal iman (cinta tanah air merupakan bagian dari iman) yang bagi
kalangan pesantren yang merupakan basis terbesar warga NU dapat dijadikan
sebagai hujjah (landasan epistemologi) yang melegitimasi sebuah komitmen
nasionalitas. Mengutip perkataan Gusdur bahwa kita bukanlah orang-orang Islam
yang kebetulan tinggal di Indonesia, tetapi kita adalah orang-orang Indonesia
yang beragama Islam. Maka menjaga keutuhan NKRI dan memperjuangkan terciptanya
kehidupan yang damai dan sejahtera adalah merupakan wujud manifestasi
keberislaman ala orang-orang NU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar