Minggu, 02 Februari 2014

Nahdatul Ulama

Tanggal 31 januari tahun ini (2014) Nahdlatul Ulama (NU) telah genap berusia 88 tahun, sebuah usia yang tidak lagi muda untuk sebuah organisasi kemasyarakatan berbasis sosial-keagamaan. NU dalam sejarah panjang perjalanannya telah mengalami proses dinamisasi yang begitu kompleks, sehingga beberapa peneliti barat tertarik untuk mengkaji ormas Islam berlambang bola dunia ini secara massif sejak awal tahun 70-an hingga kini, sebut saja peneliti, sosiolog sekaligus antropolog sekelas Kenneth Ward, Martin van Bruinessen, Mitsuo Nakamura, Greg Barton, Greg Fealy, AndrĂ©e Feillard, Douglas Ramage, dan Robin Rush. Mereka melihat bahwa pengaruh NU dalam masyarakat Indonesia begitu tertanam kuat, NU menjadi bagian dari suprastruktur sosial yang banyak berperan dalam pembentukan corak budaya keagamaan, karakter sosial-kemasyarakatan hingga gerakan politik kebangsaan. 
Selain dalam arena sosial-keagamaan NU telah turut pula berperan dalam percaturan politik di bangsa ini, sejak memisahkan diri dari Masyumi pada tahun 1952 kemudian mendeklarasikan diri sebagai partai politik dengan berbagai macam konsekuensi yang harus diterima sebagai bagian dari dinamika kehidupan organisasi. Walaupun pada tahun 1973 harus turut pada desakan kebijakan fusi partai yang digalakkan rezim orde baru, sehingga harus berafiliasi bersama partai Islam lainnya dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hingga pada akhirnya berkomitmen untuk kembali ke garis perjuangan khittah 1926 pada tahun 1984 di era kepemimpinan KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) untuk keluar dari politik praktis dan kembali menjadi organisasi yang bergerak dalam urusan keagamaan, sosial-kemasyarakatan dan pendidikan. Langkah itu diambil sebagai ijtihad dalam menghadapi realitas di masa itu, sekaligus untuk proyeksi di masa depan, juga demi menjaga eksistensi organisasi yang terus-menerus menjadi bulan-bulanan penguasa.
NU yang selama bertahun-tahun distigmatisasi sebagai organisasi tradisional milik kaum sarungan (pesantren) yang kolot dan jumud, perlahan membuktikan bahwa komitmen mempertahankan tradisi adalah sebuah kewajiban kolektif demi meneguhkan eksistensi Islam sebagai agama dengan kerahmatan yang universal, sehingga senantiasa mengakomodir  khazanah nusantara yang telah lebih dulu hadir berabad-abad lamanya. NU hadir dengan nuansa pemahaman keagamaan yang moderat dan inklusif. Satu kaedah yang masih dipegang oleh kalangan NU adalah mempertahankan tradisi dan nilai lama yang masih baik dan mengambil hal dan nilai baru yang lebih baik, hal itu mengisyaratkan bahwa NU bukanlah organisasi yang anti perubahan dan menolak kemajuan serta arus modernisasi seprerti yang banyak dituduhkan kepadanya. 
Komitmen Kebangsaan
Tidak ada yang bisa meragukan komitmen kebangsaan NU, sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia bahkan di dunia dengan pengikut tak kurang dari 80 juta jiwa NU menjadi salah satu stakeholder di bangsa ini yang peran dan kontribusinya terhadap negara menjadi begitu vital, dalam sejarahnya NU adalah salah satu ormas Islam yang secara nyata menerima Pancasila sebagai asas bernegara yang tak perlu dibenturkan dengan persoalan keyakinan, karena dalam pemahaman NU bahwa Pancasila sebagai ideologi negara bukanlah agama, dan tak akan pernah menggantikan kedudukan agama, melainkan sebagai landasan bersama untuk membangun sebuah tatanan bernegara. Dengan keinsyafan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural yang tak mungkin disatukan melalui pendekatan primordialisme kelompok, sehingga Pancasila diterima sebagai sebuah hasil konsensus dari segenap elemen bangsa.
Anehnya ketika kita mencoba melihat akronim Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di sana telah terlihat adanya sebuah komitmen kebangsaan yang sangat kuat. Huruf P dapat menjadi singkatan dari Pancasila, huruf B merupakan singkatan dari Bhineka Tunggal Ika, huruf N adalah singkatan dari NKRI, dan U adalah singkatan dari UUD. Sebuah hal yang tentuya tak terjadi secara kebetulan, poin-poin dari kepanjangan huruf-huruf itu adalah apa hari ini kita kenal sebagai empat pilar bangsa yang beberapa tahun terakhir begitu gencar disosialisakin oleh MPR.
Komitmen NU terhadap bangsa Indonesia bukannya tak memiliki landasan teologis, ada dalil yang menyatakan hubbul wathan minal iman (cinta tanah air merupakan bagian dari iman) yang bagi kalangan pesantren yang merupakan basis terbesar warga NU dapat dijadikan sebagai hujjah (landasan epistemologi) yang melegitimasi sebuah komitmen nasionalitas. Mengutip perkataan Gusdur bahwa kita bukanlah orang-orang Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia, tetapi kita adalah orang-orang Indonesia yang beragama Islam. Maka menjaga keutuhan NKRI dan memperjuangkan terciptanya kehidupan yang damai dan sejahtera adalah merupakan wujud manifestasi keberislaman ala orang-orang NU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Naskah Teater : Ospek Mahasiswa Baru, Bubar ! ( karya Arif Riduan)

Ospek Mahasiswa Baru, Bubar ! Karya : Arif Riduan Suasana panggung : Taman Kampus atau halaman kampus tempat ospek, ada bak sampah, kursi ta...