HUKUM ( USHUL FIQIH )
ARIF RIDUAN
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Seperti kita ketahui, Al-Qur’an dan Hadits yang sampai kepada kita masih
otentik dan orisinil. Orisinilitas dan
otentisitas didukung oleh penggunaan bahasa aslinya, yakni bahasa Arab karena
Al-Qur’an dan Hadits merupakan dua dalil hukum, yakni petunjuk-petunjuk adanya
hukum.
Pembahasan masalah hukum, mahkum fih, mahkum ‘alaih, beserta hakimnya
sangant penting untuk dibicarakan karena sangat erat kaitannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Rumusan Masalah
1. Jelaskan tentang bentuk-bentuk hukum!
2. Apa saja syarat-syarat mahkum fih?
3. Apa yang dimaksud dengan hakim?
4. Apakah objek dari mahkum fih?
BAB II
PEMBAHASAN
A. HUKUM
1. Pengertian Hukum
Mayoritas ulama ushul mendefinisikan hukum sebagai
berikut:
Artinya: “Kalam
Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik, bersifat
imperative, facultative atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan
penghalang”.
Yang dimaksud Khittab Allah dalam definisi tersebut
adalah semua bentuk dalil, baik Al-Qur’an, As-Sunnah maupun yang lainnya,
seperti Ijma’ dan Qiyas. Yang dimaksud
dengan yang menyangkut perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh
manusia dewasa yang berakal sehat meliputi perbuatan hati, seperti niat dan
perbuatan ucapan.
Yang dimaksud dengan imperative (iqtidha) adalah
tuntutan untuk melakukan sesuatu yakni memerintah atau tuntutan untuk
meninggalkannya yakni melarang, baik tuntutan itu bersifat memaksa maupun
tidak. Sedangakan yang dimaksud tahyir
(fakultatif) adalah kebolehan memilih antara melakukan sesuatu atau
meninggalkannya dengan posisi yang sama.
2. Pembagian Hukum
Hukum menurut ulama ushul terbagi dalam dua bagian,
yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
a.
Hukum Taklifi
1) Pengertian Hukum Taklifi
Hukum Taklifi adalah firman Allah yang menuntut
manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat
dan meninggalkannya[1]. Hukum taklifi dimaksudkan menyuruh memilih
diantara memperbuat dan menghentikan.
Bentuk ini jelas tentang apa yang diminta dari mukallaf itu yaitu
memperbuat atau menghentikannya[2].
2) Bentuk-Bentuk Hukum Taklifi
Terdapat
dua golongan ulama dalam menjelaskan bentuk-bentuk hukum taklifi. Pertama, bentuk-bentuk hukum taklif menurut
Jumhur ulama Ushul Fiqh/mutakallimin.
Menurut mereka bentuk-bentuk hukum tersebut ada lima macam, yaitu ijab,
nadb, ibahah, karahah, dan tahrim.
Kedua, bentuk-bentuk hukum taklifi seperti iftirad, ijab, nadb, ibahah,
karahah tanzhiliyah, karahah tahrimiyyah dan tahrim.
a)
Ijab
Yaitu
tuntutan syar’I yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh
ditinggalkan, orang yang meninggalkan dikenakan sangsi.
b)
Nadb
Yaitu
tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa,
melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya,
orang yang meninggalkannyatidak dikenakan sangsi.
c)
Ibahah
Yaitu
khithab Allah yang bersifat fakultatif, mengandung pilihan antara berbuat atau
tidak berbuat secara sama.
d) Karahah
Yaitu
tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan
melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa.
e)
Tahrim
Yaitu
tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa.[3]
b.
Hukum Wadh’i
Adapun hukum Wadh’I yaitu apa yang berlaku menempatkan
suatu sebab bagi sesuatu atau syarat untuknya atau yang melarang
daripadanya. Hukum wadh’I adalah firman
Allah swt. yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau
penghalang dari sesuatu yang lain.
Macam-Macam Hukum Wadh’i
1.
Sebab
Menurut
bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada
sesuatu tujuan. Menurut istilah adalah
suatu sifat yang dijadikan syar’I sebagai tanda adanya hukum.
2.
Syarat
Yaitu
sesuatu yang berada diluar hukum syara’ tetapi keberadaan hukum syara’
bergantung kepadanya. Apabila syarat
tidak ada maka hukum pun tidak ada, tetapi adanya syarat tidak mengharuskan
adanya hukum syara’.
3.
Mani’ (penghalang)
Yaitu
sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Keterkaitan antara sebab, syarat, dan mani’
sangat erat. Penghalang itu ada
bersamaan dengan sebab dan terpenuhinya dan terpenuhinya syarat-syarat. Syar’I menetapkan bahwa suatu hukum yang akan
dikerjakan adalah hukum yang ada sebabnya, memenuhi syarat-syaratnya dan tidak
ada penghalang (mani’) dalam melaksanakannya.
4.
Shihhah
Yaitu
suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’, yaitu terpenuhinya sebab syarat
dan tidak ada mani’.
5.
Bathil
Yaitu
terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat
hukum yang ditimbulkannya.
6.
‘Azimah dan Rukhshah
‘Azimah
adalah hukum-hukum yang disyari’atkan Allah kepada seluruh hamba-Nya sejak
semula. Rukhshah yaitu apa yang
disyariatkan Allah, dari hal hukum-hukum yang meringankan kepada mukallaf dalam
hal-hal yang khusus memperlakukan keringanan.
B. MAHKUM FIH
1.
Pengertian Mahkum Fih
Mahkum
Fih adalah perbuatan yang dikenai hukum.
Menurut ulama ushul fiqh, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah objek
hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’I
(Allah dan Rasul-Nya) baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan
meninggalkan, memilih suatu pekerjaan dan yang bersifat syarat, sebab,
halangan, azimah, rukhsah, sah, serta batal.
Para
ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syar’I itu ada objeknya, yakni
perbuatan mukallaf. Dan terhadap
perbuatan mukallaf tersebut ditetapkanlah suatu hukum, misalnya:
a. Firman Allah swt. Dalam surat Al-Baqarah :
43
Artinya : Dirikanlah shalat…
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf,
yakni tuntutan untuk mengerjakan shalat, atau berkaitan dengan kewajiban
mendirikan shalat.
b. Firman Allah swt. Dalam surat Al-An’am :
151
Artinya :
janganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar.
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait
dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak,
maka membunuh tanpa haq itu hukumnya haram.
2.
Syarat-syarat Mahkum Fih
a.
Mukallaf mengetahui secara sempurna perbuatan yang
akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia
lakukan.
b.
Mukallaf mengetahui dengan baik sumber taklif suatu
perbuatan yang akan ia laksanakan, sehingga pelaksanaannya merupakan ketaatan
dan kepatuhan terhadap perintah Allah.
c.
Perbuatan itu mungkin dikerjakan atau ditinggalkan
oleh mukallaf.
Berkaitan
dengan hal ini, terdapat beberapa syarat antara lain :
1)
Jumhur ulama ushul fiqh menyatakan bahwa tidak boleh
ada taklif terhadap sesuatu yang
mustahil baik kemustahilan itu dilihat pada zatnya maupun kemustahilan itu
dilihat dari luar zatnya.
2)
Para ahli ushul fiqh menyatakan bahwa tidak sah
hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas nama
orang lain, karena hal ini adalah taklif yang bukan kepada dirinya. Oleh sebab itu, seseorang tidak dibebani
kewajiban untuk mengerjakan shalat buat saudaranya, membayarkan zakat dari
hartanya sendiri untuk dan atas nam a saudaranya.
3)
Tidak sah menurut syara’, membebankan perbuatan yang
bersifat fithri, yang manusia tidak turut campur didalamnya dan terhadap
perbuatan itu manusia tidak mempunyai hak pilih (ikhtiar), seperti sikap marah,
benci, takut, gembira dan lainnya.
C. MAHKUM ‘ALAIH
1.
Pengertian Mahkum ‘Alaih
Mahkum
‘Alaih adalah orang mukallaf yang berkewajiban menjalankan hukum dan tanggung
jawab hukum, sadar dan merdeka. Dalam
hal ini orang yang tidak sadar, misalnya : gila, tertidur dan lupa, demikian
pula anak kecil tidak termasuk subyek hukum.
Mahkum ‘alaih yaitu, perbuatan mukallaf yang menyangkut hukum syari’.
Para
ulama ushul fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum ‘alaih adalah
seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah Ta’ala, yang disebut dengan
mukallaf. Secara etimologi, mukallaf
berarti yang dibebani hukum. Dalam ushul
fiqh, istilah mukallaf disebut juga mahkum ‘alaih (subjek hukum). Orang mukallaf adalah orang yang telah
dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah
maupun dengan larangannya.
2.
Taklif
a. Dasar Taklif
Seorang
manusia belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia cakap untuk
bertindak hukum. Untuk itu, para ulama
ushul fiqh, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum tersebut adalah akal dan
pemahaman. Maksudnya, seseorang baru
bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif
yang ditujukan kepadanya.
b. Syarat-Syarat Taklif
1)
Orang itu telah mampu memahami khithab Syar’I (tuntutan
syara’) yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah, baik secara langsung maupun
melalui orang lain,
2)
Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam
ushul fiqih disebut dengan ahliyah.
3.
Ahliyyah
a. Pengertian ahliyyah
Secara
harfiyah, ahliyyah berarti kecakapan menangani suatu urusan.
b. Pembagian ahliyyah
Menurut para ulama ushul fiqih, ahliyyah terbagi dalam
dua bentuk, yaitu:
1)
Ahliyyah ada’
Yaitu
sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna
untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif
maupun negative.
2)
Ahliyyah al-wajib
Yaitu
sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi
belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban.
c. Halangan ahliyyahulama ushul fiqh
menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa beubah disebabkan
hal-hal berikut:
a) Awaridh as-samawiyah, yaitu halangan yang datangnya
Allah bukan disebabkan perbuatan manusia, seperti gila, dungu, perbudakan,
mardh maut, dan lupa.
b) Awaridh al-muktasabah, maksudnya halangan
yang disebabkan perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, bersalah, berada di
bawah pengampunan dan bodoh.
D.
HAKIM
1.
Pengertian Hakim
Bila
ditinjau dari segi bahasa, hakim mempunyai dua arti, yaitu:
Pertama,:
Artinya:
“Pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan
sumber hukum”.
Kedua:
Artinya:
“Yang menemukan, menjelaskan,
memperkenalkan, dan menyingkapkan”.
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa hakim adalah
syari’at yang turun dari Allah swt. Yang
dibawa oleh Rasulullah saw.
2.
Tahsin dan Taqbih
Al-Husnu adalah segala perbuatan yang dianggap sesuai dengan
tabiat manusia, misalnya tentang rasa manis dan menolong orang yang
celaka. Sedangkan qabih adalah
segala sesuatu yang tidak sesuai dengan sifat tabiat manusia, misalnya
menyakiti orang lain.
3.
Kemampuan akal mengetahui syari’at
Para ulama trbagi kepada tiga golongan dalam
menentukan kemampuan akal untuk menentukan hukum sebelum turunnya syari’at:
1)
Menurut ahlu
sunnah wal jamaah, akal tidak memiliki kemampuan untuk menentukan hukum, sebelum turunnya syari’at.
2)
mu’tazilah berpendapat bahwa akal bisa menentukan
baik-buruknya suatu pekerjaan sebelum datangnya syara’ meskipun tanpa perantara
kitab samawi dan rasul.
3)
Golongan Maturidiyah berusaha menengahi kedua pendapat di
atas. Mereka berpendapat bahwa perkataan
atau perbuatan itu adakalanya baik atau buruk pada zatnya.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
·
Hukum adalah Kalam Allah yang menyangkut perbuatan
orang dewasa dan berakal sehat, baik, bersifat imperative, facultative atau
menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang.
·
Hukum dibagi dalam dua macam, yaitu:
1.
Hukum taklifi
2.
Hukum wadhi’
·
Mahkum Fih yaitu perbuatan yang dikenai hukum.
·
Syarat-syarat mahkum fih yaitu:
1.
Mukallaf mengetahui secara sempurna perbuatan yang
akan dilakukan.
2.
Mukallaf mengetahui dengan baik sumber taklif suatu
perbuatan yang akan ia
laksanakan.
3.
Perbuatan itu mungkin dikerjakan atau ditinggalkan
oleh mukallaf.
·
Mahkum ‘alaih adalah orang mukallaf yang berkewajiban
menjalankan hukum dan tanggung jawab hukum, sadar dan merdeka.
·
Hakim adalah syari’at yang turun dari Allah swt. Yang
dibawa oleh Rasulullah saw.
.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarsono, Pokok-Pokok
Hukum Islam, Rineka Cipta, Tanpa Tahun.
Khallaf, Syekh, Abdul, Wahab, 1993, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Rineka cipta.
Haroen, Nasrun, 1997, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Syafe’I, Rachmat, 2007, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia.
شكراالكثريااخي
BalasHapus