TERAPI REALITAS DALAM
KONSELING
PENGGUNAAN TERAPI REALITAS DALAM KONSELING
ARIF RIDUAN
BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini
terutama di dunia barat, teori Bimbingan dan Konseling (BK) terus berkembang
dengan pesat. Perkembangan itu berawal dari berkembangnya aliran konseling
psikodinamika, behaviorisme, humanisme, dan multikultural. Akhir-akhir ini
tengah berkembang konseling spiritual sebagai kekuatan kelima selain keempat
kekuatan terdahulu (Stanard, Singh, dan Piantar, 2000:204). Salah satu
berkembangnya konseling spiritual ini adalah berkembangnya konseling religius.
Perkembangan
konseling religius ini dapat dilihat dari beberapa hasil laporan jurnal
penelitian berikut. Stanard, Singh, dan Piantar (2000: 204) melaporkan bahwa
telah muncul suatu era baru tentang pemahaman yang memprihatinkan tentang
bagaimana untuk membuka misteri tentang penyembuhan melalui kepercayaan ,
keimanan, dan imajinasi selain melalui penjelasan rasional tentang sebab-sebab
fisik dan akibatnya sendiri. Seiring dengan keterangan tersebut hasil
penelitian Chalfant dan Heller pada tahun 1990, sebagaimana dikutip oleh Gania
(1994: 396) menyatakan bahwa sekitar 40 persen orang yang mengalami kegelisahan
jiwa lebih suka pergi meminta bantuan kepada agamawan. Lovinger dan Worthington
(dalam Keating dan Fretz, 1990: 293) menyatakan bahwa klien yang agamis
memandang negatif terhadap konselor yang bersikap sekuler, seringkali mereka
menolak dan bahkan menghentikan terapi secara dini.
Nilai-nilai
agama yang dianut klien merupakan satu hal yang perlu dipertimbangkan konselor
dalam memberikan layanan konseling, sebab terutama klien yang fanatik dengan
ajaran agamanya mungkin sangat yakin dengan pemecahan masalah pribadinya
melalui nilai-nilai ajaran agamanya. Seperti dikemukakan oleh Bishop (1992:179)
bahwa nilai-nilai agama (religius values) penting untuk dipertimbangkan oleh
konselor dalam proses konseling, agar proses konseling terlaksana secara
efektif.
Berkembangnya
kecenderungan sebagian masyarakat dalam mengatasi permasalahan kejiwaan mereka
untuk meminta bantuan kepada para agamawan itu telah terjadi di dunia barat
yang sekuler, namun hal serupa menurut pengamatan penulis lebih-lebih juga
terjadi di negara kita Indonesia yang masyarakatnya agamis. Hal ini antara lain
dapat kita amati di masyarakat, banyak sekali orang-orang yang datang ketempat
para kiai bukan untuk menanyakan masalah hukum agama, tetapi justru mengadukan
permasalahan kehidupan pribadinya untuk meminta bantuan jalan keluar baik
berupa nasehat, saran, meminta doa-doa dan didoakan untuk kesembuhan penyakit
maupun keselamatan dan ketenangan jiwa. Walaupun data ini belum ada dukungan
oleh penelitian yang akurat tentang berapa persen jumlah masyarakat yang
melakukan hal ini, namun ini merupakan realitas yang terjadi di masyarakat kita
sekarang ini.
A. Latar
Belakang
Terapi realitas
merupakan suatu bentuk hubungan pertolongan yang praktis,reltif sederhana dan
bentuk bantuan langsung pada klien.hal ini berdasarkan pada konsep terapi
realitas dimana seorang klien ditolong agar dia mampu masa depannya yang penuh
optimis. Terapi realitas berprinsip bahwa seseorang dapat dengan penuh optimis
menerima bantuan dan terapi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan
mampu menghadapi kenyataan tanpa merugikan siapapun.
Terapi realitas lebih
menekankan masa kini,maka dalam memberikan alternatif bantuan tidak usah
melacak sejauh mungkin pada masa lalunya.sehingga yang dipentingkan bagaimana
klien dapat sukses mencapai hari depannya.
B. Perumusan Masalah
Bahwa manusia mempunyai
kebutuhan psikologis yang tunggal yang hadir dalam kehidupannya .oleh karna
adanya kebutuhan psikologis yang tunggal tersebut menyebabkan individu atau
seseorang tadi menjadi seseorang yang merasa mempunyai keunikan berbeda dengan
yang lain
Ciri kepribadian khas
itu,menimbulkan dinamika tingkah laku yang menjelma dengan pola-pola yang
tersendiri dari setiap individu secara universal ciri-ciri kepribadian individu
tersebut ada pada seluruh kebudayaan manusia.
Setiap mempunyai
kemampuan potensial untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan pola-pola yang
sudah tertentu.kemampuan tumbuh dan berkembang tersebut dapat menjadi
aktual,atas sebagian besar menurut usahanya yang dinyatakan melalui tingkah
lakunya yang nyata.karna setiap individu mempunyai optimisme dia dapat menerima
dirinya dan mencintai dirinya dalam arti yang luas menjadi pribadi yang sukses.
Reality therapy tidak
bersandar p-ada hakekat itu sendiri yang artinya bahwa individu tidak dapat
mandambakan potensi-potensi yang telah dimiliki dan dibawa sejak lahir untuk
berkembang dengan sendirinya,potensi tersebut harus diusahakan melalui tingkah
laku yang nyata.Reality therapy menentukan membangun anggapan bahwa tiap orang
menentukan nasib sendiri.
C. Tujuan Pembahasan
Terapi realitas dapat
menolong inidividu untuk menolong dirinya sendiri,artinya supaya individu dapat
melaksanakan tingkah laku dalam bentuk yang nyata,juga dapat membuat keputusan
yang tepat udari pola-pola tingkah laku yang dibuatnya untuk mencapai masa
depannya yang lebih baik.jadi menanamkan dan memandirikan klien.
Mendorong klien untuk
bertanggung jawab serta memikul resiko yang ada dari tanggung jawab
tersebut.tanggung jawab yang dimintakan kepada klien harus sesuai dengan
kemampuan dan keinginannya dalam perkembangan dan pertumbuhannya .
Mengembangkan rencana
yang nyata dalam mencapai yang telah ditetapkan.jadi rencana harus dubuat yang
realistik,dan dapat diwujudkan dalam tingkah laku nyata dan merupakan harapan
yang dicapai.
Tingkah laku yang
sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang sukses.kesuksesan
pribadi dicapai dengan menanamkan nilai-nilai tanggung jawab yang penuh atas
kesadaran dirinya sendiri.
D. Manfaat Pembahasan
DI.
Mendorong klien untuk
bertanggung jawab serta memikul resiko yang ada dari tanggung jawab
tersebut.tanggung jawab yang dimintakan kepada klien harus sesuai dengan
kemampuan dan keinginannya dalam perkembangan dan pertumbuhannya .terapi
bermanfaat untuk kedisiplinan dan rsa tanggung jawab atas kesadaran diri klien
sendiri.
Menekankan konsep
tangguing jawab, agar klien dapat berguna bagi dirinya dan bagi orang lain
melaluiperwujudan dari tingkah lakunya yang nyata.
BAB II
D.
DI. KAJIAN TEORI DAN
PEMBAHASAN
A. Penulisan Biografi
Dr. Glesser
adalah seorang dokter jiwa yang terbaik dikenal sebagai pengarang Therapy reality,
suatu metode psikoterapi yang ia menciptakan di tahun 1965 dan itu kini diajar
seluruh penjuru dunia.
yang
dilahirkan Di tahun 1925 dan yang diangkat di Cleveland, Ohio, Dr. Glesser pada
awalnya seorang Insinyur Bahan kimia tetapi memasuki psikiatri. Ia menghadiri
sekolah medis pada Kasus Cadangan Barat Universitas di Cleveland, dan mengambil
pelatihan psikiatris nya di Veteran Administrasi Rumah sakit di Los Angeles
Barat dan UCLA ( 1954-57). Ia menjadi [Papan/Meja] Bersertifikat di (dalam)
1961 dan *apakah sendirian praktek dari 1957 [bagi/kepada] 1986.
Alur
Glasser's telah (menjadi) salah satu dari suatu kemajuan berkelanjutan dari
pribadi praktek untuk memberi kuliah dan menulis dan akhirnya memuncak di
(dalam) penerbitan (di) atas duapuluh buku. Setelah menulis menasihati buku,
Kenyataan Therapy ( 1965), ia menerbitkan buku [yang] pertama nya pada [atas]
pendidikan, Sekolah tanpa Kegagalan ( 1969), sangat memperluas pemahaman
perilaku dan motivasi dengan Pilihan Teori ( 1998), dan kemudian menambahkan,
Memperingatkan: Psikiatri Dapat Penuh resiko ke Mental Mu Kesehatan ( 2003),
untuk membantu masyarakat meningkatkan kebahagiaan dan kesehatan mental mereka.
Di (dalam) 2005 ia memproduksi suatu buklet, Melukiskan Mental Kesehatan
sebagai Kesehatan masyarakat Isu untuk menyediakan suatu sumber daya baru untuk
para profesional kesehatan mental. Yang akhirnya, di 2007, Delapan Pelajaran
untuk suatu Perkawinan Lebih bahagia, yang ia co-authored dengan isteri nya,
Carleen, menjadi buku yang ketiga nya untuk membantu kopel belajar perkakas
penting untuk meningkat;kan hubungan mereka.
Dr.
Glasser’S pendekatan tidak tradisional. Ia tidak percaya akan konsep sakit
ingatan kecuali jika ada sesuatu yang secara organis TERPOTONG. ALINEA TERLALU
BESAR.
B. Kajian Teori
Paul Meier, dkk.,
mengatakan bahwa terapi realitas tampaknya memiliki pengaruh yang besar
terhadap konseling karena menekankan tanggung jawab individu dan berusaha
membedakan apa yang benar dan salah. Para psikoterapis umumnya hanya menyerukan
dengan lantang kepada konseli untuk menghadapi kenyataan, melakukan yang
terbaik dan bertanggungjawab, namun mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar
klien. Karena itu seorang konselor Kristen, juga berusaha memenuhi kebutuhan
dasar konseli: kasih dan rasa berharga (love and self-worth).
Apabila
kebutuhan-kebutuhan konseli sebagaimana dikemukakan di atas merupakan tujuan
yang hendak dicapai dalam terapi realitas maka hal itu sedikit banyak dapat
tercapai bila dilakukan oleh para konselor. Oleh karena hanya melalui relasi
yang intim, seorang konselor dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia. Kasih
tanpa syarat kepada konseli bukan kasih yang bersifat temporer dan situasional;
bukan hanya kasih karena keprihatinan kita kepada klien sebagai sesama kita
melainkan harus dilandasi kasih yang rela menerima apa adanya tanpa tendensi
balas budi atau pamrih.
Sebagaimana ditekankan
oleh Gary Collins bahwa masyarakat merupakan sebuah kelompok terapis, tidak
hanya terbatas pada pertemuan-pertemuan antara sesama konseli atau antara
konseli dengan konselor yang terlatih, tetapi mencakup para keluarga, kelompok
studi, sahabat yang dapat dipercaya, rekan profesional, kelompok karyawan mapun
sejmlah orang yang seringkali menyediakan bantuan yang diperlukan baik pada
masa-masa krisis, maupun pada saat individu menghadapi tantangan hidup
sehari-hari. Orang-orang percaya dapat memberikan dukungan (support) kepada
anggota-anggotanya, menyembuhkan mereka yang sedang menghadapi masalah, serta
membimbing orang ke arah pengambilan keputusan untuk melangkah maju ke arah kedewasaan
.
Berdasarkan pemikiran
tersebut maka signifikansi selektif terapi realitas yang dapat digunakan dalam
pelayan konseling , antara lain:
1 Perubahan perilaku. Glasser beranggapan bahwa perilaku
yang tidak bertanggungjawab dari seorang konseli sebagai penyebab gangguan
mental sebenarnya sejalan dengan asumsi konseling. Larry Crabb mengatakan bahwa
manusia bertanggungjawab untuk percaya pada kebenaran yang akan menghasilkan
perilaku yang bertanggungjawab yang akan menyediakan baginya makna, pengharapan
dan kasih yang berfungsi sebagai penuntun kepada hidup yang lebih efektif
dengan orang lain sebagaimana dengan dirinya sendiri. Crabb lebih lanjut
mengatakan bahwa manusia tidak bertanggungjawab dalam hidupnya karena berusaha
untuk mempertahankan diri terhadap rasa tidak aman dan tidak signifikan .
Kebutuhan akan rasa aman: kasih tanpa syarat, diterima telah dijamin oleh
Tuhan. Perubahan perilaku ditekankan agar orang percaya tidak menjadi serupa
dengan dunia ini, tetapi berubah oleh pembaruan budi.
2 Berpatokan pada nilai benar dan salah. Konseling
terhadap individu yang mengalami berbagai persoalan kehidupan dewasa ini harus
tetap berpatokan dan menjunjung tinggi nilai benar dan salah. Agaknya persoalan
etis tidak diabaikan dalam konsep terap realitas. Sebab itu dalam pelayanan
konseling bilamana terindikasi bahwa persoalan diakibatkan oleh masalah etika
dan tatanilai, maka konseli harus didorong untuk bertanggungjawab dengan
memperhatikan nilai benar dan salah. Bilamana persoalan yang dialaminya diakibatkan
oleh dosa maka ia patut dibimbing untuk memohon pengampunan dan tidak
menjadikan gangguan mental sebagai alasan untuk melanjutkan perilaku
keberdosaannya
3 Pengalaman masa lalu konseli tidak boleh dijadikan
alasan dalam menghadapi realitas kehidupan. Terapi realitas menolak mengaitkan
masa lalu dengan rasa bersalah (guilty feelings), maka hal ini merupakan
sesuatu yang positif agar konseli berani melangkah menghadapi kenyataan
sekarang. Demikian pula masa lalu seseorang yang meninggalkan trauma bisa
dihindari dengan cara konselor membantu konseli untuk melupakan pengalaman
buruk di masa lampau . Misalnya, orang yang pernah mengalami pemutusan hubungan
kerja harus ditolong untuk menyingkirkan trauma itu. Ia tidak boleh beranggapan
bahwa bila bekerja lagi pasti akan kena PHK sehingga ia memilih untuk berdiam
diri dan menyesali nasib. Konselor perlu memotivasinya untuk mencari pekerjaan
baru demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegagalan di masa lampau tidak
seharusnya menjadi alasan untuk menghindari realitas kehidupan. Meskipun
begitu, Gary Colins mengingatkan bahwa pengalaman-pengalaman hidup masa lalu (past
life experiences), terutama peristiwa-peristiwa yang terjadi di usia dini,
acapkali menambah angka stress yang menimbulkan suatu krisis. Sebagai seorang
konselor, kita harus menolong konseli untuk memahami bahwa ia memiliki
kemampuan untuk mengontrol jalan hidupnya, tetapi ia tidak harus dibanjiri oleh
perasaan ketiadaan harapan dan tidak bisa ditolong.
4 Terapi realitas menolak alasan pembenaran terhadap
perbuatan tertentu sangat positif untuk dijadikan perhatian dalam konseling.
Kecenderungan untuk mencari kambing hitam dengan menuding orang lain atau
mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatannya harus ditolak. Contoh,
seorang suami yang berselingkuh dengan wanita lain tidak selayaknya menggunakan
alasan “khilaf” untuk membenarkan perbuatannya. Ia tidak boleh menjadikan
kekurangan istrinya, atau ketidak-harmonisan rumahtangga sebagai alasan
perbuatan yang dilakukannya.
5 Pemikiran terapi realitas yang memfokuskan upaya
pertolongan kepada konseli agar dapat memahami dan menerima keterbatasan
dirinya perlu dikembangkan dalam konseling Kristen. Sebagai contoh, orangtua
yang tidak mampu secara ekonomi dan finansial untuk menyekolahkan anak-anaknya kerap
tidak mau menerima dirinya sebagai orang yang kurang mampu demi gengsi. Bahkan
ia akan menolak bantuan yang diberikan dengan tulus oleh pihak lain
(donatur,dll.) terhadap dirinya atau keluarganya. Konseli seperti ini perlu
disadarkan akan pentingnya kejujuran terhadap diri sendiri dan terbuka terhadap
pertolongan Tuhan yang disalurkan melalui orang lain.
6 Melalui terapi realitas konseli dibantu untuk merubah
cara berpikir dan paradigma lama yang dianutnya dengan kukuh. Cara berpikir,
paradigma yang dianut, serta sikap kaku yang cenderung menutup diri terhadap
realitas yang tumbuh dan berkembang di sekitar kita acapkali menjadi pemicu
lahirnya berbagai konflik menyangkut sistem nilai, dan sebagainya.
7 Oleh karena terapi
realitas juga menggunakan teknik konfrontasi, yang sejalan dengan konseling
nouthetis sebagaimana digunakan secara luas oleh Jay Adams, maka hal ini dapat
digunakan dalam mengkonseling klien yang mengalami persoalan karena dosa.
Konfrontasi diharapkan dapat mengoreksi kesalahan konseli dan membantu dia
mengubah perilaku berdasarkan pengajaran yang diberikan kepadanya.
Terapi realitas yang
menekankan kelakuan konseli yang bertanggungjawab terhadap realitas, perbuatan
baik dan tanggungjawab; pada dasarnya erat kaitannya dengan pemenuhan lima
kebutuhan dasar manusia yang dibuat oleh Abraham Maslow, sebagaimana dikutip
oleh Larry Crabb, yaitu:
kebutuhan fisik (physical): adalah unsur-unsur penting
untuk memelihara kehidupan fisik manusia (makan-minum,tempat tinggal, dsb).
Rasa aman (security/physical security):
kayakinan bahwa kebutuhan fisik kita akan tersedia pada hari esok.
Kasih (love): yang disebut rasa aman oleh
Crabb.
Tujuan: signifikansi (Crabb)
Aktualisasi diri:
ekspresi kualitas terbaik manusia: mengembangkan diri secara penuh, kreatif,
ekspresi diri pribadi.
Dalam mengadopsi terapi
realitas para konselor hendaknya tetap berpatokan pada apa yang sebagai dasar
proses konseling. Terapi realitas menjadi instrumen pendukung di mana konseli
ditolong untuk meninggalkan pengalaman masa lalu yang merupakan penghalang
baginya agar mampu bangkit untuk menyongsong masa depan yang disediakan Tuhan.
Sebagaimana pengalaman Yeremia yang terus menerus meratap dan berdukacita atas
hukuman yang datang silih berganti atas umat Tuhan, akhirnya sampai pada
kesimpulan bahwa: “Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya
rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!”. Ketika Yeremia mencoba
berdiri di masa lalu maka yang ia hadapi adalah kesengsaraan dan tekanan dalam
diri/tekanan batin. Namun pada saat ia menyadari hal itu dan mulai beralih pada
sikap penuh harap dan optimis.
Dengan menggunakan
terapi realitas seorang konselor menolong konseli untuk dapat mengatasi
persoalan kehidupan yang dihadapi dan secara bertanggungjawab melakukan hal-hal
yang baik bagi dirinya berdasarkan realita yang dihadapinya. Dengan begitu maka
diharapkan akan terjadi pemulihan dalam diri konseli untuk kembali menemukan signifikansi
dan aktualisasi diri.
Upaya pertolongan
demikian dapat diberikan kepada anggota jemaat yang sedang menghadapi
kesulitan. Sebagai contoh, pertolongan yang hendak dilakukan oleh seorang
konselor terhadap seorang suami yang sedang tidak memiliki pekerjaan. Kepada
klien tersebut dibimbing untuk menerima kenyataan bahwa ia sedang tidak bekerja
(jobless) sehingga dengan sendirinya ia tidak memiliki penghasilan pula. Di
sisi lain ia harus diingatkan untuk bertanggungjawab terhadap anggota
keluarganya. Hal terbaik yang dapat dilakukannya adalah mencari pekerjaan atau
melakukan pekerjaan apa saja, yang penting halal untuk menghidupi keluarganya.
Sementara proses pertolongan demikian dilakukan, seorang konselor Kristen pada
waktu bersamaan membangun kembali identitas diri sang suami agar ia tidak
merasa minder, tidak mandek (burn-out) apalagi merasa tidak berguna lagi
sebagai seorang suami yang gagal menghidupi keluarganya. Seorang konselor
menjadi mediator baginya untuk menghubungkan dengan klien yang memiliki peluang
untuk merekrut atau mempekerjakan orang tersebut. Atau paling tidak ia dapat
menghubungkan dengan pihak-pihak lain yang kemungkinan bisa menolongnya keluar
dari krisis kehidupan yang dialaminya.
Dalam pelayanan contoh
kasus yang dapat ditangani melalui terapi realitas beraneka ragam. Misalnya:
seorang mahasiswa teologi yang suka menyontek, harus bertanggungjawab atas
perilakunya dengan menerima sanksi akademis tertentu dan berjanji untuk tidak
mengulanginya di masa mendatang. Ia harus menyadari pula bahwa hal menyontek
adalah salah. Seorang konselor yang temperamental harus menerima kenyataan
bahwa klien pindah ke konselor lain, atau menerima kenyataan bahwa ia tidak
diminati klien. Ia harus merubah perilaku tersebut.
Pada kasus lain di mana
seorang mantan direktur yang jatuh bangkrut, diliputi oleh rasa putus asa
sehingga tidak lagi mau melakukan apapun demi kehidupannya dan keluarganya.
Permasalahannya adalah bahwa ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia sekarang
miskin, bukan lagi direktur yang memiliki segala-galanya. Gaya hidupnya masih
ingin dipertahankan sebagai orang kaya: hidup mewah, makan enak, foya-foya,
dsb. Padahal ia tidak lagi memiliki penghasilan untuk yang memadai untuk
mendukung gaya hidup seperti itu. Tragisnya, mantan direktur ini tidak mau
menerima tawaran pekerjaan dari konselor yang ingin membantunya keluar dari
krisis yang dihadapinya, bila gaji yang akan diterimanya tidak setara dengan
apa yang pernah diterimanya sebagai seorang direktur. Dalam kasus ini agaknya
terapi realitas sangat relevan untuk menolong klien tersebut agar dapat
menerima realita yang kini berada di pelupuk matanya.
Kasus-kasus konseling
sebagaimana dikemukakan di atas mewakili sekian banyak permasalahan konseling
yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari akhir-akhir ini. Dalam kaitan
tersebut Singgih D. Gunarsa menandaskan bahwa terapi realitas bertujuan untuk
memberikan kemungkinan dan kesempatan kepada klien untuk bisa mengambangkan
kekuatan-kekuatan psikis yang dimilkinya untuk menilai perilakunya sekarang dan
apabila perilakunya tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, maka perlu
memperoleh perilaku baru yang lebih efektif. Perilaku yang dimaksud adalah
kebutuhan dasar manusia, yakni :kasih sayang dan merasa diri berguna (love
& self-worth). Terapi dengan menggunakan pendekatan terapi realitas
secara aktif membantu klien memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam realitas terapi adalah membangun relasi
yang hangat, pribadi dan bersahabat antara konselor dengan konseli yang
diwarnai pula oleh sikap saling memahami dan menerima. Keuntungan dari terapi
realitas tampaknya terletak pada jangka waktu terapi yang relatif singkat dan
berurusan dengan masalah-masalah tingkah laku sadar. Konseli diperhadapkan pada
keharusan mengevaluasi tingkah lakunya sendiri dan membuat pertimbangan nilai.
Di samping itu terapi
realitas menekankan agar orang bertanggungjawab atas perilakunya, melihatnya
secara kritis, bertanggungjawab atas perbuatannya, serta berjanji untuk
mengubahnya. Konseli harus berani menghadapi situasi saat ini daripada berupaya
menghindarinya dengan cara yang destruktif.
Klien
sebagai anggota masyarakat yang juga tidak luput dari imbas krisis multi
dimensi pada dasarnya membutuhkan pertolongan agar mereka mampu menghadapi
kenyataan serta menemukan jalan keluar dari problema kehidupan yang melilitnya.
Dalam situasi seperti ini sebagai seorang hamba Tuhan, para konselor dan
terapis harus berusaha memberikan pertolongan kepada mereka untuk berani
menghadapi realitas kehidupan ini serta dapat mengatasi persoalan kehidupan
yang dialaminya. Perilaku yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan perlu pula
diubah yang memungkin konseli mengetahui kehendak Tuhan bagi dirinya. Lebih
daripada semuanya itu terapi realitas merupakan sinergi antara konselor dan
konseli sesuai dengan tujuan konseling yakni agar konseli menemukan kembali
pemulihan jatidirinya .
C. Pembahasan Penggunaan Terapi Realita
Jika konseling
dipandang sebagai sebuah proses pertolongan kepada konseli agar mampu mengatasi
persoalan yang dihadapinya, maka kita dapat menggunakan sumber-sumber maupun
instrumen konseling yang memadai untuk tujuan dimaksud. Dari antara sejumlah
metode terapi dan konseling yang telah dirumuskan oleh para ahli, salah satu di
antaranya yang dapat digunakan dalam konteks ini adalah terapi realitas (reality
therapy) Terapi realitas dapat digunakan sebagai alternatif pelayanan
kepada anggota jemaat yang bermasalah. Tentu dengan menyeleksi unsur-unsur
positif yang terkandung di dalamnya dan menyingkirkan pokok pemikiran yang
tidak sesuai dengan iman Kristen.
Sehubungan dengan hal
itu, Gerald Corey dalam bukunya, Teori dan Praktek Konseling dan
Psikoterapi, mengatakan bahwa terapi realitas adalah suatu sistem yang
difokuskan kepada tingkah laku sekarang. Terapis berfungsi sebagai guru dan
model serta mengkonfrontasikan klien dengan cara-cara yang bisa membantu
menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan
dirinya sendiri ataupun orang lain. Inti terapi realitas adalah penerimaan
tanggung jawab pribadi, yang dipersamakan dengan kesehatan mental. Terapi
realitas yang menguraikan prinsip-prinsip dan prosedur-prosedur yang dirancang untuk
membantu orang-orang dalam mencapai suatu “identitas keberhasilan” dapat
diterapkan pada psikoterapi, konseling, pengajaran, kerja kelompok, konseling
perkawinan, pengelolaan lembaga dan perkembangan masyarakat. Terapi realitas
meraih popularitas di kalangan konselor sekolah, para guru dan pimpinan sekolah
dasar dan menengah, dan para pekerja rehabilitasi.
Sedangkan menurut Paul
D. Meier, dkk., terapi realitas yang diperkenalkan oleh William Glasser
memusatkan perhatiannya terhadap kelakuan yang bertanggung jawab, dengan
memperhatikan tiga hal (3-R): realitas (reality), melakukan hal yang
baik (do right), dan tanggungjawab (responsible).
Individu
harus berani menghadapi realitas dan bersedia untuk tidak mengulangi masa lalu.
Hal penting yang harus dihadapi seseorang adalah mencoba menggantikan dan
melakukan intensi untuk masa depan. Seorang terapis bertugas menolong individu
membuat rencana yang spesifik bagi perilaku mereka dan membuat sebuah komitmen
untuk menjalankan rencana-rencana yang telah dibuatnya. Dalam hal ini identitas
diri merupakan satu hal penting kebutuhan sosial manusia yang harus
dikembangkan melalui interaksi dengan sesamanya, maupun dengan dirinya sendiri.
Perubahan identitas biasanya diikuti dengan perubahan perilaku di mana individu
harus bersedia merubah apa yang dilakukannya dan mengenakan perilaku yang baru.
Dalam hal ini terapi realitas dipusatkan pada upaya menolong individu agar
dapat memahami dan menerima keterbatasan dan kemampuan dalam dirinya.
BAB III
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan yeng telah dikemukakan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
a. Konsep konseling tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat berdasarkan therpyy reality, secara umum relevan dengan konsep konseling, hanya istilah penamaan atau terminologi yang berbeda, namun maksudnya selaras.
b. Manusia hakikatnya tidak hanya sebagai makhuk biologis, pribadi, dan sosial, tetapi juga sebagai makhluk religius. Begitu juga dengan pribadi sehat dan tidak sehat, tidak hanya mampu atau tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan, tetapi juga terhadap Tuhan.
c. Satu hal yang berbeda secara mendasar, yaitu sifat pembawaan dasar manusia. Konsep konseling seperti yang dikemukakan oleh Freud menyatakan bahwa potensi dasar manusia yang merupakan sumber penentu kepribadian adalah insting.
d. Manusia itu pada hakikatnya adalah makhluk yang utuh dan sempurna, yaitu sebagai makhuk biologis, pribadi, sosial, dan makhluk religius . Manusia sebagai makhluk religius meliputi ketiga komponen lainnya, yaitu manusia sebagai makhluk biologis, pribadi dan sosial selalu terikat dengan nilai-nilai religius.
B.Saran
Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, konsep konsling therapy reality, pribadi sehat dan pribadi tidak sehat merupakan konsep yang sudah lengkap dan final dan dapat mewakili nilai secara utuh, maka untuk melengkapi dan menyempurnakan kajian ini disarankan kepada peneliti lain untuk meneruskan menggali dan meneliti konsep konseling therapy reality, baik memperluas atau memperdalam kajian dalam topik yang sama, atau meneruskan kepada konsep-konsep konseling yang lain, seperti proses terapiotik atau aplikasi prosedur dan teknik konseling.
DAFTAR PUSTAKA
Collins, Gary R. Christian Counseling. A Comprehensive Guide (Waco,
Texas: Word
Books, 1980).
Books, 1980).
_____________ (ed). Counseling in Times of Crisis
(Dallas-London-Singapore: Word
Books, 1987).
Books, 1987).
Corey, Gerald. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (terj.)
(Bandung: Eresco,
1988).
1988).
Crabb, Lawrence J. Effective Biblical Counseling (Grand
Rapids-Michigan: Zondrvan
Pub. House, 1977).
Pub. House, 1977).
Gunarsa, Singgih D. Konseling dan Psikoterapi (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1992)
Meier, Paul et.al. Introduction to Psychology & Counseling
(Grand Rapids-Michigan:
Baker Book House, 1988
Baker Book House, 1988
Tidak ada komentar:
Posting Komentar