ELABORASI TEORI PSIKOANALISIS DALAM PERSPEKTIF ISLAM
ARIF RIDUAN
A. Pengertian Teori Psikonalisis
Teori psikoanalisi pertama kali diperkenalkan oleh seorang tokoh berkewarganegaraan Austria yaitu Sigmund Freud (1856-1939). Teori psikoanalisis ini dapat dikatakan sebagai aliran psikologi yang paling berpengaruh dan yang paling terkenal karena mempunyai landasan teori yang unik, teori ini berasumsi bahwa pada diri manusia terdapat aspek consciousness, preconsciousness dan unconsciousness. Dari ketiga aspek tersebut, unconsciousness merupakan aspek yang paling berpengaruh dan dominant dalam menentukan tingkah laku manusia. Di dalam unconsciousness tersimpan ingatan masa kecil, energi psikis dan instink. Preconsciousness berperan sebagai penghubung antara consciousness dan unconsciousness yang berisi ingatan dan ide yang dapat digunakan kapan saja. Sedangkan consciousness hanyalah sebagaian kecil dari struktur kesadaran namun di bagian inilah mind berinteraksi langsung dengan realitas.
Kemudian setelah mengembangkan struktur kesadaran di atas, freud mengembangkan pula struktur kepribadian yang dikenal dengan mind apparatus,yaitu:
1. Id, merupakan system kepribadian yang orisisnil, dimana ketika manusia itu dilahirkan hanya memiliki id saja. Karena ia merupakan sumber utama dari energi psikis dan tempat timbulnya instink. Id tidak memiliki organisasi dan banyak tuntutan dengan mendorong untuk mendapatkan segala keinginannya.
2. Ego, merupakan system kepribadian yang dapat mengadakan kontak langsung dengan realitas yang ada di luar dirinya. Disini ego mempunyai beberapa peran yaitu, yang memerintah, mengatur dan mengendalikan kepribadian. Ia bertindak sebagai penengah antara instink dengna dunia di sekelilingnya. Ego ini muncul disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan dari suatu organisme.
3. Superego, merupakan system kepribadian yang memegang keadilan dan filter dari kedua system kepribadian di atas. Disini superego bertindak sebagai sesuatu yang ideal, menentukan benar-salah, baik-buruk, boleh-tidak dan sebagainya. Segala sesuatu yang timbul dari id dan ego disesuaikan dengan norma-norma moral masyarakat.
B. Psikoanalisis dalam perspektif Islam
Dalam teori yang disebutkan oleh freud, teori tersebut bekerja dengan menjelaskan tingkah laku, memprediksi dan terkadang mengendalikan tingkah laku manusia yang bersifat horizontal saja. sedangkan dalam Islam yang diwakili oleh ilmu akhlaq dan tasawuf berbicara bagaimana mengubah tingkah laku menjadi baik dan bagaimana jiwa dekat dengan tuhannya, jadi proses yang terjadi dalam islam berkaitan dengan interaksi antar manusia dan interaksi individu dengan tuhannya sehingga terciptalah sinergi antara 2 hubungan tersebut menjadi manusia muslim yang mempunyai akhlaqul karimah yang didalamnya juga terkandung kepribadian yang karimah pula.
Perbedaan lain diantara keduanya adalah terletak pada metodologi, freud mencetuskan renungannya dari hasil renungannya dan hasil uji laboratorium, bahkan ketika ia menemukan teori psikoanalisis tersebut diceritakan dia sedang mengalami gangguan mental. Dalam kondisi itulah yang menyebabkan banyak tokoh psikologi lainnya mengkritik keabsahan dan eksistensi teorinya. sedangkan dalam islam sumber informasi utamanya adalah Al Qur’an, hadits, filsafat dan tasawuf untuk kemudian dijadikan barometer penghayatan dan pengalaman kejiwaan, serta eksperimentasi laboratorium sebagai upaya verifikasi dan perbandingan seperti yang telah biasa dilakukan oleh psikolog barat, termasuk freud.
Kemudian kalau kita telusuri teori conscious dan struktur kepribadian freud, maka kita akan mendapati teori-teori itu sudah disinggung oleh Al Qur’an, yang membedakan hanyalah pada perbedaan simantik saja. Seperti yang terdapat dalam QS An Nazi’at:37-41 :
Dalam ayat tersebut lafadz ÓxösÛ dan rO#uä merupakan istilah yang biasa digunakan freud untuk mendefinisikan sebagai tingkah id, sedangkan lafadz t$%s{dan ygtR adalah superego yang mengevaluasi segala keinginan id.
Dalam QS Al Baqarah 36 terlihat jelas keterkaitan antara id dan ego, yaitu:
Adam dan hawa dengan tipu daya syaitan memakan buah pohon yang dilarang itu, yang mengakibatkan keduanya keluar dari surga, itulah yang dimaksud oleh freud mengenai hubungan id yang mendorong ego untuk memenuhi segala keinginannya
Dalam QS. Yusuf 53 Allah Menceritakan tentang kisah nabi Yusuf as :
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيم
Nabi Yusuf, dalam surat Yusuf ayat 53, menggambarkan id (nafsu) sebagai sesuatu yang bersifat la-ammãratun bi-sû’i (لأمّارة بسوء), amat sangat mendesak ego untuk bertindak buruk. Sang ego baru bisa lepas dari pengaruh id bila dibimbing (oleh super ego) untuk menerima rahmat (ajaran) Allah. Meskipun dalam pemaknaan siapa subyek yang mengatakan kalimat itu masih terjadi ikhtilaf di kalangan ahli tafsir, yusuf atau istri dari penguasa itu.
Konsep Kepribadian Menurut Islam
Pengertian kepribadian menurut Islam dapat kita perhatikan dalam rangkaian QS Al Isra’ 36, Al A’raf 179, As Sajdah 9, Ar Ra’du 19-22 dan An Nazi’at 401 yaitu :
kepribadian adalah totalitas dari kegiatan komponen- komponen dalam kesatuan lingkungan jasmaniah-ruhaniah yang terbina melalui proses ta’dibiyah, tarbiyah, pengalaman dan pengaruh lingkungan hidup yang membentuk cara- cara berpikir, berkehendak, berperasaan dan bertingkah laku, yang menjadi cirri khas sikap mental dan citra seseorang dalam menghadapi sesuatu.
Semua hal yang tersebut di atas itu digerakkan oleh ruh, suatu kekuatan yang menyebabkan kehidupan pada benda-benda hidup. Dari ruh ini timbullah akal, hati nurani, nafsu, hawa dan perasaan. Kelima hal tersebut merupakan komponen atau organ ruhaniah.
1. Akal, sesuatu yang halus yang mengerti segala sesuatu untuk menangkap segala ilmu pada diri manusia.
2. Hati nurani, tempat benih iman dan instink ruhaniah, keyakinan atau instink rabbani sebagai hidayah naluri dari Allah yang diberikan sejak alam arwah (QS Al A’raf 172 dan QS Ar Rum 30)2. Hati nurani inilah sebagai sumber suara hati (hadits Nafs) yang selalu memberikan suara halusnya yang berasal dari bisikan malaikat sebagai petunjuk dari Allah SWT, jika baik dikerjakan, jika jelek ditinggalkan terhadap sesuatu yang dihadapi.
3. Nafsu, tempat timbulnya keinginan yang di dorong oleh motif dari luar maupun dari dalam. Nafsu inilah yang menimbulkan berbagai macam kreativitas untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
4. Hawa, keinginan lebih yang menimbulkan sifat serakah pada manusia, selalu merasa kekurangan, keluh kesah dan kikir.
5. Perasaan, komponen njiwa yang selalu memberikan evaluasi dan menanggung akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa kejiwaan.
Proses pengendalian diri (jihadun nafs) ini diperankan oleh akal sebagai pemimpin dalam perebutan untuk mempengaruhi nafsu, pilihan antara bisikan malaikat melalui hati nurani dan bisikan syetan melalui hawa yang akan menentukan kualitas kepribadian manusia tersebut. Jika nafsu tersebut lebih dominan pada bisikan malaikat (hati nurani), maka tingkah lakunya akan selalu dihiasi perbuatan baik. Namun jika nafsu lebih condong pada bisikan syetan (hawa), maka tingkah lakunya akan selalu dihiasi perbuatan buruk.
Arti nafsu secara lughawi adalah Ar ruuh, ad damu, ash shakhsyu, adz dzaatu dan alhimmah. Dalam perjuangan merubah jiwa, perlu melalui berbagai tahapan nafsu, sehingga terdapat beberapa tingkatan kejiwaan atau keprbadian, yaitu:
1. Nafsu Ammarah, yaitu keadaan jiwa yang masih binal, belum punya pedoman tentang yang baik dan yang buruk. Semua yang menguntungkan dianggapnya baik, tidak merasa berdosa jika berbuat salah. Seluruh nafsunya bahkan akalnya tunduk kepada kemauan hawanya. Keadaan jiwa semacam ini selalu memerintahkan (ammarah) kepada kejahatan (QS Yusuf 53). Dalam surat tsb Allah memakai shighah mubalaghah untuk menegaskan bahwa keadaan jiwa seperti ini akan senantiasa mengajak pada keburukan. Dalam nafsu ammarah ini ada 2 daya yang sering mendominasi, yaitu: daya syahwat buta (keinginan terhadap sesuatu secara binal, dan daya ghadhab (gampang marah, emosi, angkuh, sombong). Jadi orientasi kepribadian ini adalah mengikuti sifat kebinatangan. Nafsu lawwamah dapat beranjak pada nafsu yang lebih baik apabila telah diberi rahmat dari Allah SWT.
2. Nafsu lawwamah, yaitu keadaan jiwa yang sudah mengenal baik dan buruk akan tetapi belum mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk (Al Qiyamah 2)3 . Jiwa yang masih fasad ini sudah mengenal rasa menyesal sehabis berbuat maksiat. Sebenarnya nafsu pada tahap ini berada dalam kebimbangan antara nafsu ammarah dan nafsu muthmainnah. Adapun kata lawwamah, ada perbedaan pendapat tentang akar katanya.apakah ia dari kata talawwum (berubah-ubah dan ragu-ragu) atau dari kata al laum (tercela). Yang pasti antara 2 makna itulah yang diyakini olah ulama’ salafus shalih kita
3. Nafsu lawwamah, yaitu keadaan jiwa yang sudah mengenal baik dan buruk akan tetapi belum mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk (Al Qiyamah 2)3.
4. Nafsu muthmainnah, keadaan jiwa yang sudah mengetahui yang baik dan mampu mengerjakannya, serta sudah mengetahui yang buruk dan mampu pula meninggalkannya. Meski terkadang terlanjur berbuat dosa tetapi segera bertaubat sehingga dapat merasakan ketenangan lahir batin (QS Al Fajr 27)4.
5. Nafsu mudhammah, jiwa yang sudah mendapat ilham dari Allah SWT.
6. Nafsu Radhiyah, kualitas jiwa yang sudah penuh dengan rasa kecintaan dan kerelaan pada Allah SWT dalam segala aspek kehidupan (QS Al Ghasyiyah 9 dan QS Al Haqqah 21)5.
7. Nafsu mardhiyah, jiwa yang sudah diridhai oleh Allah SWT, yaitu jiwa para Nabi yang telah diridhai oleh Allah (Al Fajr 28)6.
8. Nafsu kamilah, kualitas jiwa yang sudah sempurna, jiwanya para Rasul yang ma’shum.
Menurut Fatchur Rahman dalam kitabnya Al Haditsun, untuk mencapai kematangan nafsu tersebut, perlu beberapa proses terbentuknya niat sebagai lang kah awal seseorang untuk melakukan tindakan atau amal, yaitu:
1. Hajis, yaitu goresan atau lintasan hati sebagai permulaan munculnya kehendak yang menjadi momen timbulnya alas an-alasan.
2. Khathir, yaitu rangsangan hati sebagai perkembangan dari tahap pertama, kemudian bergerak menjadi rangsangan yang lebih kuat
3. Hadits, nafs, yaitu suara hati sebagai perkembangan lebih lanjut dari khathir yang bergerak untuk menentukan dan membisikkan suara hati ke dalam jiwa, untuk melakukan atau tidak melakukan. Posisi keduanya dalam keadaan seimbang
4. Hamm, yaitu cita hati sebagai momen memilih anatara 2 keseimbangan yang mulai memberat pada salah satu, melaksanakan atau tidak.
5. ‘Azam, yaitu hasrat yang kuat sebagai pemantapan dari hamm dan momen untuk mengambil keputusan tanpa ragu-ragu.
6. Niyah, yaitu kehendak dan qashd sebagai momen untuk mulai berbuat.
7. Amal, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sadar yang sudah memasuki pada wilayah taklif
Menurut hadis riwayat Bukhari Muslim, proses niat dari tahap pertama sampai tahap ketiga belum dapat dianggap sebagai tindakan ikhtiyari yang dapat dipertanggung jawabkan secara hukum, berpahala atau berdosa. Kemuadian Allah mulai memantau dan memperhitungkan peristiwa kejiwaan ini mulai dari tahap himmah. Jika himmah itu baik, dilakukan maupun tidak, ia mendapatkan pahala. Jika himmah itu jelek dan tidak dilaksanakan, maka ia tidak berdoasa, namun jika ia melaksanakan, barulah dia mendapat dosa.
Dinamika Kepribadian
Freud beranggapan bahwa kesadaran, pra kesadaran, ketidaksadaran, id, ego dan superego bisa bekerja dengan baik karena adanya energy psikis yang berasal dari fisiologis yang bersumber dari makanan. Freud sendiri mendefinisikan energy psikis sebagai organisme manusia yang merupakan system energy yang berasal dari makanan, lantas dapat menggerakkan hidupnya.
Energy psikis tersebut mencari caranya sendiri untuk dipergunakan oleh id, ego dan superego. Diantara ketiga aspek tersebut, aspek yang paling banyak menggunakan energy psikislah yang berpengaruh terhadap bentuk tingkah laku individu.
Demikianlah freud menjelaskan bagaimana pentingnya makanan sehingga dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. Sedangkan islam sejak jauh hari sudah mengatur bagaimana seorang muslim harus memperhatikan makanannya, mulai dari perintah untuk memakan makan yang halal lagi thayyib, pembagian makanan yang dihalalkan dan makanan yang diharamkan sampai pada pengaruh kehalalan makanan terhadap factor penyebab terkabulnya doa. Yang pada akhirnya semua aturan-aturan tersebut dapat bersinergi membentuk satu kesatuan yang utuh sebagai unsur-unsur manusia muslim yang berakhlaqul karimah.
Mujib dan Yusuf Mudzakkir dalam bukunya mengemukakan bahwa manusia memiliki 3 daya nafsani yaitu akal (fitrah insaniah yang berkedudukan di otak), kalbu (fitarah ilahiah yang berkedudukan di jantung) dan nafsu (fitrah hayawaniah yang berkedudukan di perut dan alat kelamin).
Dari pembagian di atas, nafsu yang berkedudukan di perut akan menuntut suplai makanan dan minuman yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya agar dapat dioperasionalkan secara hissiah yang berkolaborasi dengan akal dan kalbu sehingga dapat membentuk sebuah satuan tindakan individu.
Oleh karena itu, islam mengatur bagaimana seorang muslim harus memperhatikan makanannya karena secara tidak langsung akan berdampak pada kinerja nafsu. Dalam QS. Al Baqarah 168:
$ygr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ wur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B ÇÊÏÑÈ
Sesungguhnya manhaj Islam dalam hal makanan adalah sebagaimana manhaj Islam dalam masalah yang lainnya yakni bertujuan untuk menjaga akal, nafsu dan jasmani. Diperbolehkannya makanan yang halal lagi baik adalah karena bermanfaat bagi badan dan akal, adakalanya makanan tersebut halal menurut zatnya akan tetapi dilihat dari proses mendapatkannya dilalui dengan tidak baik. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada para hambaNya agar meninggalkan makanan yang kotor dan haram karena akan berpengaruh negatif terhadap hati, akhlaq dan menghalangi hubungan dirinya dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala , serta menyebabkan tidak terkabulnya do'a
Islam juga mengatur segala macam makanan yang haram untuk dikonsumsi oleh kaum muslimin seperti dalam QS Al Baqarah 173:
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ÍÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uöxî 8ø$t/ wur 7$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOÏm§ ÇÊÐÌÈ
Dalam ayat tersebut Allah SWT menyebutkan beberapa makanan yang haram untuk dikonsumsi oleh kaum muslimin dan mengindikasikan sebuah kaidah ushul fiqih yang telah disepakati oleh ulama’ ushul fiqih maupun ulama’ fiqih yaitu al ashlu fil mu’amalah mubah, bahwa kaidah asal segala sesuatu dalam mu’amalah adalah boleh, ini tidak hanya terbatas dalam masalah benda, tetapi meliputi masalah perbuatan dan pekerjaan yang tidak termasuk daripada urusan ibadah, yaitu yang biasa kita istilahkan dengan Adat atau Mu'amalat. Pokok dalam masalah ini tidak haram dan tidak terikat, kecuali sesuatu yang memang oleh syari' sendiri telah diharamkan dan dikonkritkannya dalam bentuk datangya nash yang shahih yang melarangnya. Jadi selama tidak ada larangan dalam nash, maka segala urusan manusia yang berhubungan dengan mu’amalah termasuk didalamnya dalam urusan makanan adalah mubah dan halal.
Setelah diteliti ternyata sebagian besar makanan yang diharamkan Allah yang ada dalam Al Qur’an maupun hadits memiliki dampak negative terhadap kesehatan tubuh manusia sehingga akan berdampak pula pada aspek psikis orang yang memakan makanan haram teresebut
Seseorang yang ingin memiliki kekuatan batin bersumber dari tenaga Ilahiyah harus memperhatikan makanannya. Baginya pantang kemasukan makanan yang haram karena keberadaannya akan mengotori hati. Makanan yang haram akan membentuk jiwa yang kasar dan tidak religius. Makanan yang haram disini bukan hanya dilihat dari jenisnya saja ( Misal ; Babi, bangkai, dll. ), tapi juga dari cara dan proses untuk mendapatkan makanan tersebut.
Efek dari makanan yang haram ini menyebabkan jiwa sulit untuk diajak menyatu dengan hal-hal yang positif, seperti : dibuat zikir tidak khusuk, berdoa tidak sungguh-sungguh dan hati tidak tawakal kepada Allah, serta tidak tercapainya tujuan dari shalat.
Daging yang tumbuh dari makanan yang haram selalu menuntut untuk diberi makanan yang haram pula. Seseorang yang sudah terjebak dalam lingkaran ini sulit untuk melepaskannya, sehingga secara tidak langsung menjadikan hijab atau penghalang seseorang memperoleh getaran/ cahaya Ilahiyah sehingga ia terbiasa dengan perbuatan kotor
Setitik makanan yang haram memberikan efek terhadap kejernihan hati. Ibarat setitik tinta yang jatuh diatas kertas putih, semakin banyak unsur makanan haram yang masuk, ibarat kertas putih yang banyak ternoda tinta. Sedikit demi sedikit akan hitamlah semuanya. Ibrahim Bin Umar Al Biqa’i, ahli tafsir pada abad ke-15 menyatakan orang yang suka makan makanan kotor bertabiat kasar, keras dan tidak suka menerima kebenaran
Hati yang gelap menutupi hati nurani, menyebabkan tidak peka terhadap nilai-nilai kehidupan yang mulia. Seperti kaca yang kotor oleh debu-debu, sulitlah cahaya menembus nya. Tapi dengan zikir dan menjaga makanan haram, hati menjadi bersih bercahaya. Bahkan ibadah puasa itu bertujuan menyucikan darah dan daging yang timbul dari makanan yang haram. Dengan kondisi badan yang bersih, diharapkan ilmu batin lebih mampu bersenyawa dengan jiwa dan raga.
Orang yang biasa memakan makanan haram akan terbiasa pula untuk melakukan tindakan yang tidak baik dan maksiat, itulah hubungan antara makanan haram yang masuk dalam perut akan menyebabkan perbuatan yang diharamkan pula, maka akan terjadi dampak psikologis yang mendorong nafsu untuk memenuhi segala keinginan yang disampaikan oleh hawa sehingga timbullah tindakan-tindakan yang berorientasi pada syahwat buta dan ghadhab.
Islam tidak hanya mengatur mengenai hal makanan sebagai zat, tetapi juga mengatur bagaimana cara makan yang baik menurut islam agar makanan yang masuk tersebut di rihai oleh Allah SWT dengan membaca basmalah pada saat akan makan dan membaca hamdalah ketika selesai7, ketika seorang muslim membaca kalimah tasmiyah dan hamdalah ketika selesai, hal tersebut akan berdampak psikolologis pada ketenangan hati dan kejernihan jiwa sehingga akal meresponnya dengan pikiran-pikiran yang positif sehingga amal perbuatannya senantiasa dalam kebaikan.
Adapun anggapan banyak orang mengenai ungkapan
نحن قوم لا نأكل حتى نجوع وإذا أكلنا لا نشبع
Banyak orang menganggap ungkapan yang tersebut di atas sebagai hadits nabi, akan tetapi setelah ditelusuri secara mendalam ternyata ungkapan tersebut hanyalah sebuah nasehat yang ada ada dalam kitab Ar rahmah fit thiib war rahmah karya imam As Suyuti.
Mengenai makanan haram sebagai sebab utama tidak terkabulnya doa ada dalam hadist nabi, Al-Hafidz Ibnu Mardawih meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas bahwa ketika dia (Ibnu Abbas) membaca suatu ayat : maka berdirilah Sa'ad bin Abi Waqash, kemudian berkata :"Ya Rasulullah, do'akan kepada Allah agar aku senantiasa menjadi orang yang dikabulkan do'anya oleh Allah." Maka Rasulullah SAW bersabda :"Wahai Sa'ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan do'anya. Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yg memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amal-amalnya selama 40 hari, dan seorang hamba yang daging nya tumbuh dari hasil menipu dan riba maka neraka lebih layak baginya”. (HR.At-Thabrani) . [Lihat Ad-durar Al-Mantsur fi Tafsir bil Ma'tsur Juz: II hal. 403]8
Fu’ad bin abdul aziz asy syalhub dalam kitabnya menyatakan bahwa sikap berlebih-lebihan dalam mengambil makanan akan mengakibatkan tubuh menjadi sakit dan akan menyebabkannya terserang berbagai penyakit. Ia akan menyebabkan tubuh terasa penat dan malas sehingga ia merasa berat untuk mengerjakan amal-amal ketaatan, serta akan mewarisi hati yang keras.
Dan sebaliknya, sedikit makan akan melemahkan tubuh yang akhirnya akan melemahkannya dari ketaatan kepada Allah. Hadits mengenai hal tersebut bisa kita lihat melalui hadis dari Miqdam Bin Ma’di Karib9:
ما ملأ آدمي وعاء شرا من بطن بحسب ابن آدم أكلات يقمن صلبه فإن كان لا محالة فثلث لطامه وثلث لشرابه وثلث لنفسه
Dalam haidts tersebut jelas Islam sebenarnya telah mengatur proporsi makan bagi pemeluknya agar ada keseimbangan di dalam hidupnya. Sehingga dengan keseimbangan tersebut akan berimplikasi pada perilaku yang baik karena bekerjanya sistem akal sebagai alat rasio, kalbu sebagai alat perasa dan nafsu sebagai sumber syahwat berkolaborasi dengan proporsional.
Demikianlah perspektif Islam mengenai teori psikoanalisis freud, dari paparan yang telah digambarkan secara gamblang di atas dapat kita simpulkan bahwa struktur kepribadian yang diperkenalkan oleh Freud ternyata sudah berabad-abad10 lalu telah disinggung oleh Islam dari berbagai ayat-ayat Al Qur’an dan hadist-hadist shahih, yang menjadi perbedaan hanyalah terletak pada aspek istilah yang digunakan oleh freud sehingga tampak dari luar sebagai sebuah teori baru yang ilmiah akan tetapi dari segi isi dan dasar-dasar teori sebenarnya sudah terlihat usang karena sudah disinggung dalam Islam yang datang jauh sebelum freud menemukan teorinya tersebut. Wallaahu a’lam bish shawaab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar