Selasa, 27 Desember 2016

Belajarlah dari tangisan pengemis kecil



Belajarlah dari tangisan pengemis kecil 

 

Seperti biasanya hari ini Thuo menjalani rutinitasnya sebagai pengemis yang meminta-minta kepada masyarakat kawasan jalan Nairobi. Thuo adalah anak kecil umur 11 tahun yang hidup di jalanan, tepatnya di kawasan jalan Nairobi, Kenya. Dia hanya hidup sebatang kara, sebelum meninggal kedua orang tuanya pun hidup sebagai gelandangan bersama Thuo.

Hari ini cuaca agak sedikit terik sudah beberapa minggu tidak hujan, sebab di Kenya sudah memasuki musim kemarau. Dengan baju yang juga kemarin dikenakan oleh Thuo, dia mulai meminta kepada seorang wanita yang kala itu habis belanja disebuah mini market di kawasan tersebut. Terlihat dari barang bawaannya wanita ini sedang belanja banyak untuk kebutuhan rumah tangganya, saat ingin memasukan barang-barang yang dibelinya ke dalam mobil Thuo pun menghampiri wanita tersebut.

“ Bu, boleh minta sedikit uangnya bu “ , kata Thuo dengan nada sangat memohon. Namun wanita tersebut tak menghiraukannya, terus saja dia memasukan barang-barang belanjaannya ke dalam mobil miliknya.

“ Bu, minta sedikit saja bu, hari ini saya belum makan apa-apa, dari tadi malam saya juga tidak makan apa-apa bu “ . Kembali Thuo meminta kepada wanita ini. 

“ Ah, apaan sih, sana ! mengganggu saja “. Wanita itu mengusir Thuo

Hal ini sudah biasa dialami oleh Thuo kecil ini. Apa yang bisa dia lakukan selain meminta minta ?, dia hanya seorang anak kecil kurus kering bahkan tidak tau mengapa dia seperti ini, semenjak kecil dia sudah hidup di jalan, makan minum hanya dari belas kasih orang lain, begitu juga untuk tidur terkadang tidur di emperan toko yang sudah tutup, terkadang di usir karena dianggap mengganggu.

Badan sekecil ini mana mungkin dia bisa bekerja, siapa yang mau memperkerjakan dia, anak kecil, bodoh, tidak bisa baca-tulis. Apakah salah jika dia sekarang hanya bisa meminta-minta menyambut sedikit rejeki dari orang-orang yang berlimpah nikmat dan harta.

Thuo terus berjalan menyisiri jalan-jalan raya, ada belasan restoran dan warung makan yang dia lewati, sesekali dia meneguk air liur melihat seseorang yang sedang menyantap sarapannya pagi ini dengan lahap. Tibalah Thuo di sebuah warung makan yang ada di pinggir jalan, dia berhenti karena melihat beberapa orang lagi makan dan bercengkrama sembari menikmati hidangan yang sudah ada di hadapan mereka.

“ Ka, boleh saja minta sedikit saja sarapan dari kakak-kakak ?”. Thuo meminta.
“ ah, enak saja kamu ini “. Kata seseorang dari mereka.

“ Sedikit saja Kak, kalau boleh sisanya dari makanan kakak-kakak pun boleh, nanti saya tungggu ?”. Thuo kembali meminta.

“ Eh ! kamu ini merusak suasana makan saya saja, sudah sana pergi, kamu itu bau, dekil, jauh-jauh sana !! “. Sahut seseorang dari mereka lagi, kali ini dengan nada membentak.

Thuo pun pergi, dia sadar bahwa kehadiran dirinya memang tak sepatutnya mengganggu mereka yang sedang enak menikmati sarapan dengan tenang. Thuo pun pergi ke perempatan jalan ( lampu merah ) untuk melanjutkan rutinitasnya sebagai pengemis. Hampir satu jam dia berdiri dan meminta kepada pengguna jalan yang kebetulan berhenti karena lampu merah, namun tak ada sepeser uang pun yang orang lain berikan kepada Thuo.

Dia pun duduk termenung bersandar di tiang lampu merah, kali ini dia hanya menatapi orang-orang yang lalu lalang tak menghiraukan keberadaannya. Sesekali dia melihat ke atas langit seakan-akan berbicara kepada Tuhan mengapa Tuhan memberikan hidup seperti ini kepada dia. Tak lama kemudian dia pun menggenggam kedua tengannya seakan-akan marah, dan wajahnya menghadap ke langit dengan mata yang tak berkedip sedikitpun. Hatinya marah kepada Tuhan, hatinya kesal kepada Dia yang menciptakan dirinya. Anak kecil umur 11 tahun seperti ini harus hidup sendiri dengan segala macam cacian dan hinaan.

Sesaat setelah kemarahan itu dia pun berdiri dan menyapu sedikit tetasan air mata yang sempat gugur di pipi kecilnya. Wajah Thuo tampak kembali seperti semua tak ada kemarahan lagi dari wajahnya, begitulah anak kecil yang tak paham apa-apa, apa lagi mengenai Tuhan dia tentu tak tau itu apa. Thuo berdiri di pembatas jalan, saat lampu merah menyala dia pun menyodorkan tangan kecilnya kepada kaca mobil yang berhenti tepat di hadapannya. 

Kaca mobil pun di buka terlihat seseorang wanita ( yang nantinya di ketahui bernama Gladys )  tersenyum kepada Thuo dan memberikan uang kepadanya. Thuo pun membalas senyum Gladys dan mengambil uang yang wanita itu berikan. Melihat Gladys yang saat itu duduk di sebelah pengemudi mobil, dia terlihat memakai alat-alat  pernapasan di hidung yang bersambung selang ke tabung oksigen dan genarator pernafasan, Thou pun bertanya. “ itu apa bu? “.

“ ini adalah alat untuk saya bernafas nak, tanpa ini saya tidak bisa bernafas “ kata Gladys.
“ berarti ibu ke mana-mana memakai alat ini ? “ tanya Thuo lagi.

“ iya, saya ke mana-mana memakai ini, ke mana pun saya pergi saya memakainya, jadi hidupm saya tergantung kepada alat-alat ini “. Gladys menjawab pertanyaan Thuo sambil menunjukan alat-alat pernafasan yang di pakainya.

Gladys mengidap penyakit paru-paru, wanita 32 tahun ini sudah mengalami 12 kali operasi namun tidak juga menyembuhkan penyakitnya, bahkan penyakitnya semakin parah dan juga menghabiskan banyak uang yang dia miliki, sekarang Gladys pun tidak bisa melakukan operasi lagi dikarnakan biaya yang tidak dia miliki.

Mendengar hal itu Thuo pun menangis, bahkan air matanya mencucur deras, isak tangis Thuo yang keras membuat orang-orang sontak mendatanginya ke pembatas jalan. Tangis Thuo semakin keras, dia sadar apa yang selama ini dia anggap sebagai penderitaan tidak sama sekali lebih buruk dari apa yang dialami oleh Gladys, wanita dewasa yang kali ini dia temui. Apa yang dia derita selama hidup ternyata masih lebih baik dari pada penyakit yang dapat merenggut kebebasan manusia aktivitas nyoya Gladys. Sembari menangis Thuo mengarahkan lagi wajahnya ke langit, saat itu pula tangisan Thuo semakin keras, sehingga membuat orang sekitar semakin berdatangan.


Lampu hijau menyala, mobil Gladys pun berjalan, setelah beberapa meter mobil itu berhenti, tempak nyonya Gladys menjenguk Thuo dari kaca mobil  yang sedang menangis keras. Ingin sekali Gladys menghampiri Thuo, namun alat-alat pernafasan yang pakainya tentu sangat merepotkan dirinya jika dia berjalan keluar. Melihat mobil nyonya Gladys berhenti, Thuo pun menghampirinya, isak tangis kembali hadir pada momen ini. Banyak masyarakat mengabadikan momen ini dengan kamera Handphonenya.

Beberapa warga yang ada saat itu mencoba untuk meredam tangisan Thuo, namun Thuo masih saja menangis tanpa henti, hingga mobil nyonya Gladys pun pergi Thuo tetap menangis terharu dengan apa yang dialami oleh nyonya Gladys.
Setelah kejadian itu banyak masyarakat yang mengunggah foto dan kisah pertemuan Thuo bersama wanita itu. Tak berselang lama foto itu tersebar luas seantero negeri. Beberapa keluarga Gladys yang memiliki media sosial sangat terkejut saat melihat banyak pengguna media sosial menyakan siapa wanita yang kala itu di temui oleh Thuo. Seorang dari keluarganya pun memberi tahukan nama wanita itu ialah “ Gladys “ serta mengupload kisah penyakit yang dideritanya.

 Setelah kisah nyonya penyakit nyonya Gladys itu menyebar luas maka banyak masyarakat di media sosial bertanya bagaimana cara membantu Gladys, bagaimana cara mengirimkan uang bantuan kepada Gladys. Keluarga Gladys pun mengupload lagi bagaimana cara mengirimkan uang / bantuan untuk pengobatan nyonya Gladys kepada keluarganya. Setelah itu keluarganya pun banyak menerima bantuan uang untuk pengobatan Gladys yang sebelumnya keluarga hanya bisa pasrah dengan keadaan Gladys yang sudah banyak menghabiskan biaya namun tak sembuh juga.

Pada akhirnya biaya yang terkumpul mampu menanggu semua biaya pengobatan Gladys di India, dia pun sembuh, dan kini si Kecil Thuo hidup bersama keluarga Gladys menjadi bagian dari keluarganya dan tidak lagi hidup di jalan. Arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Manaqib KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin

  Manaqib Syekh KH. Basyirun Ali, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jannah Banjarmasin Penulis Arif Riduan, S.Sos.I Alumni ponpes Nurul Janna...