BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Kriminologi sebagai ilmu sosial
terus mengalami perkembangan dan peningkatan. Perkembangan dan peningkatan ini
disebabkan pola kehidupan sosial masyarakat yang terus mengalami
perubahan-perubahan dan berbeda antara tempat yang satu dengan yang lainnya
serta berbeda pula dari suatu waktu atau jaman tertentu dengan waktu atau jaman
yang lain sehingga studi terhadap masalah kejahatan dan penyimpangan juga
mengalami perkembangan dan peningkatan dalam melihat, memahami, dan mengkaji
permasalahan-permasalahan sosial yang ada di masyarakat dan substansi di
dalamnya.
Berbicara tentang teori kriminologi
merupakan suatu usaha dalam memahami dan mengungkapkan pelbagai permasalahan
tentang kejahatan dan penyimpangan yang ada di dalam masyarakat. Teori-teori
kriminologi ini menjadi landasan yang akan menunjukkan arah kepada pengamat
atau peneliti dalam menentukan masalah apa yang akan diteliti dan dicari
solusinya.
B. Rumusan
Masalah
C. Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah
pengetahuan, khususnya bagi pemakalah sendiri dan umumnya bagi teman-teman
semua, untuk mengetahui teori-teori tentang kejahatan dan faktor-faktor
penyebab kejahatan.
BAB II
PEMBAHASAN
TEORI-TEORI TENTANG KEJAHATAN DAN PENYEBABNYA
Tujuan-tujuan pembentukan suatu teori kriminologi pada
pokoknya adalah:
v Memberikan suatu kerangka konseptual untuk membantu
pengamatan yang cermat serta deskripsimengenai kejahatandan reaksi sosialterhadap
kejahatan.
v Merumuskan suatu sistem sistem postulat-postulat dasar
yang dapat menjelaskan kejahatan serta reaksi sosial.
v Menegakkan suatu dasar pengetahuan dan metode agar
dalam kondisi-kondisi tertentu memungkinkan pengendalian atas kejahatan srta
reaksi sosial.
v Membentuk suatu konsepsi kerja peradiloan pidana.
Secara krimonologis, kejahatan dan perilaku menyimpang
dapat dijelaskan sebagai hasil bekerjanya faktor-faktor sosio kultural,
faktor-faktor interaksi, faktor-faktor pencetus dan faktor-faktor reaksi
sosial.
Beberapa teori yang membahas peranan dari
faktor-faktor itu sebagai faktor-faktor yang melatarbelakangi kejahatan dan
membentuk karir kriminal.
Didalam kriminilogi terdapat sejumlah teori yang dapat
dimasukkan kedalam kelompok teori yang menekankan peranan penting faktor-faktor
sosio-kultural dalam membahas kejahatan dan perilaku menyimpang, antara lain
teori kejahatan dan kondisi ekonomi, teori anomi, teori-teori sub kebudayaan, teori-teori
konflik dan sebagainya. Beberapa teori penting yakni :
a)
Teori
“differential opportunity structure”
Teori yang dikembangkan oleh Richard A. Cloward dan
Lloyd E. Ohlin ini mengetengahkan beberapa postulat yakni:
v Delikuensi
adalah suatu aktivitas dengan tujuan yang pasti: meraih kekayaan cara-cara yang
tidak sah.
v Sub kebudayaan
delikuensi terbentuk apabila terdapat kesenjangan antara tujuan-tujuan yang
dikehendaki secara kultural diantara kaum muda golongan (lapisan) bawah dengan kesempatan-kesempatan
yang terbatas dalam mencapai tujuan-tujuan ini melalui cara-cara yang sah.
v Jenis-jenis
sub-kebudayaan delikuen berkembang dalam hubungannya dengan perbedaan cara-cara
yang tidak sah untuk mencapai tujuan. Jenis-jenis sub kebudayaan itu ialah:
Ø Sub kebudayaan konflik yang terdapat dalam lingkungan sosial
yang mengalami disorganisasi serta ketidakstabilan. Pada lingkungan ini juga
terdapat kesulitan-kesulitan dalam mencapai integrasi sosial, oleh karena
seringkali para warga masyarakat memecahkan masalah “frustasi status” melalui cara-cara
kekerasan.
Ø Sub kebudayaan kriminal yang terdapat dalam lingkungan
sosial dengan ciri sebagian besar warganya berpendapatan rendah dan angka laju
tinggi.
Ø Sub kebudayaan pengunduran diri
b)
Teori
mengenai “krisis ekonomi dan kejahatan”
Berbagai jenis situasi gangguan ekonomi dikaji dalam
bagian-bagian yang terpisah: krisis-krisis yang parah termasuk yang disebabkan bencana
alam, krisis gradual dan siklikal yang tercermindalam inflasi, resesi dan mis-employment,
kekurangan bahan dan tekanan-tekanan ekonomi yang kronis.
Istilah krisis yang dimaksudkan adalah suatu konsep
umum yang tidak hanya menyangkut disfungsi ekonomi dari suatu jenis resesi,
terlepas dari apakah ada atau tidak inflasi yang memperburuk keadaan tetapi
juga krisis-krisis tertentu dan krisis lokal yang mungkin terjadi akibat
bencana alam, krisis yang disebabkan oleh ketidakmampuan suatu masyarakat dalam
“take off” ke era industri dan krisis yang melekat pada salah urus dalam bidang
politik ekonomi.
Beberapa kesimpulan yang diperoleh dari
diskusi-diskusi antara lain:
Pertama, pertumbuhan ekonomi berkorelasi secara
positif, berbeda-beda dengan angka laju yang tinggi dari sebagian besar kategori
kejahatan-kejahatan yang dilaporkan.
Kedua, melalui pengukuran indikator-indikator ekonomi pada
tingkat mikro yang tercermin dalam pengangguran, kelesuan bisnis serta
hilangnya daya beli dapat ditandai adanya peningkatan yang tajam dari sebagian
besar kategori kejahatan yang dilaporkan.
Ketiga, tenggang waktu antara fluktuasi ekonomi dan
peningkatan angka laju kejahatan berbeda-bedab sesuai dengan jenisnya,
masyarakat dan waktu.
Keempat, kejahatan-kejahatan” primer” yaitu kejahatan yang
secara langsung berhubungan dengan disfungsi ekonomi berkorelasi dengan
kecenderungan dan terutama dikondisikan oleh kebutuhan-kebutuhan konkrit serta
harapan-harapan yang mengalami frustasi. Diantara kejahatan atau perilaku
menyimpang lain yang meningkat adalah :
Ø Kejahatan-kejahatan ekonomi, yakni penadahan dan
penipuan konsumen.
Ø Pelanggaran norma non-kriminal.
Ø Pelanggaran-pelanggaran lain, seperti: alkoholisme.
Kelima, seringkali masalah yang paling serius dihadapi
adalah gejala kejahatan “sekunder” yang terjadi apabila kejahatan “primer” yang
berkaitan dengan krisis tidak terkendali atau diampuni (misalnya dalam hal
penyalahgunaan hukuman) atau ditindak dan dihukum dengan kekerasan yang
berlebihan. Dalam hal terakhir, karir penjahat individual lebih diperkuat dan
kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan krisis semakin memperoleh dorongan.
Secara teoritik M. Harvey Brenner mengidentifikasi beberapa
pandangan yang berbeda mengenai latar belakang kejahatan dalam hubungannya
dengan pengaruh langsung ekonomi terhadap kejehatan, yakni:
Ø Penurunan pendapatan nasional dan lapangan kerja akan
menimbulkan kegiatan-kegiatan industri ilegal.
Ø Terdapatnya bentuk-bentuk “innofasi” sebagai akibat
kesenjangan antara nilai-nilai atau tujuan-tujuan sosial dengan sarana-sarana sosio-struktural
untuk mencapainya. Dalam masa kemunduran ekonomi, banyak warga masyarakat yang
kurang mempunyai kesempatan mencapai tujuan-tujuan sosial dan menjadi
“innovator” potensial yang cenderung mengambil bentuk pelanggaran hukum.
Ø Perkembangan karir kejahatan dapat terjadi sebagai akibat
tersumbatnya kesempatan dalam sektor-sektor ekonomi yang sah.
Ø Pada beberapa tipe kepribadian tertentu, krisis
ekonomi akan menimbulkan frustasi oleh karena adanya hambatan atau ancaman terhadap
pencapaian cita-cita dan harapan yang pada gilirannya menjelma dalam bentuk-bentuk
perilaku agresif.
Ø Pada kelompok-kelompok tertentu yang mengalami tekanan
ekonomi terhadap kemungkinan besar bagi berkembangnya sub kebudayaan delinkuen.
Ø Sebagai akibat krisis ekonomi yang menimbulkan pengangguran,
sejumlah warga masyarakat yang menganggur dan kehilangan penghasilannya
cenderung untuk menggabungkan diri dengan teman-teman yang menjadi pengangguran
pula dan dengan begitu lebih memungkinkan dirancang dan dilakukannya suatu
kejahatan.
c)
Teori-teori
“kriminologi baru” atau “kriminologi kritis”
William J. Chambliss secara khusus membahas tentang isi
dan bekerjanya hukum pidana, konsekuensi kejahatan bagi masyarakat dan sebab
musabab kejahatan.
Tentang latar belakang kejahataan, Chambliss
mengemukakan bahwa kejahatan berasal dari orang-orang yang bertindak secara rasional
sesuai dengan posisi klasnya. Kejahatan adalah suatu reaksi atas kondisi
kehidupan klas seseorang dan senantiasa berbeda-beda tergantung pada
struktur-struktur politik dan ekonomi masyarakat.
Masih dalam kerangka penjelasan bekerjanya faktor-faktor
sosio-kultural, Richard Quinney mengetengahkan teori tentang realitas sosial
kejahatan sebagai berikut:
Ø Kejahatan adalah suatu defenisi hukum yang diciptakan
oleh alat-alat klas dominan didalam masyarakat yang secara politis
terorganisasi.
Ø Definisi-defenisi kejahatan terdiri dari
perilaku-perilaku yang bertentangan dengan kepentingan-kepentingan klas
dominan.
Ø Defenisi-defenisi kejahatan diterapkan oleh klas yang
mempunyai kekuasaan untuk menegakkan dan melaksanakan hukum pidana.
Ø Pola-pola perilaku dibangun dalam hubungannya dengan
rumusan-rumusan kejahatan dan dalam konteks ini orang terlibat dalam tindakan-tindakan
yang relatif mempunyai kemungkinan untuk dirumuskan sebagai kejahatan.
Ø Idiologi tentang kejahatan dibentuk dan disebarluaskan
oleh klas dominan untuk memelihara hegemoninya.
Ø Realitas sosial kejahatan dibentuk oleh perumusan dan
penerapan defenisi-defenisi kejahatan, perkembangan pola-pola perilaku dalam
kaitannya dengan defenisi ini.
2.
Teori-Teori yang Membahas Faktor-Faktor Interaksi
a)
Teori
“Transmissi kebudayaan”
Pada wilayah-wilayah berstatus ekonomi tinggi dengan
angka laju delikuensi rendah, umumnya terdapat suatu persamaan dalam sikap para
penghuninya terhadap nilai-nilai konvensional dan terutama sikap-sikap yang berhubungan
dengan kesejahteraan anak. Hal ini tergambar dengan adanya kebulatan pendapat praktis
mengenai kehendak akan pendidikan dan aktivitas-aktivitas pada waktu luang yang
konstruktif serta tekanan terhadap anak untuk tetap melakukan aktivitas-aktivitas
konvensional. Dalam daerah-daerah tersebut juga terdapat rintangan-rintangan yang
dilakukan oleh masyarakat setempat terhadap perilaku yang merugikan nilai-nilai
konvensional.
Itu tidaklah berarti bahwa setiap kegiatan yang
melibatkan anggota-anggota masyarakat adalah kegiatan yang tunduk kepada hukum.
Tetapi karena setiap usaha untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan
dengan hukum akan ditentang oleh dalam wilayah tersebut, anak-anak yang tinggal
dalam masyarakat dengan angka rataa-rata kejahatan yang rendah, secara keseluruhan
akan dihalangi oleh kontak langsung dengan bentuk-bentuk perilaku menyimpang.
Lebih jauh, pada wilayah-wilayah yang dihuni oleh klas
menengah dan wilayah-wilayah dengan status ekonomi tinggi, persamaan dalam
sikap-sikap dan nilai-nilai dalam hal sosial kontroltercermin dalam pranata-pranata
dan persekutuan-persekutuan sukarela yang bertujuan untuk mengekalkan dan
melindungi nilai-nilai ini.
Kebalikannya, pada wilayah-wilayah dengan status ekonomi
yang rendah yang berangka delikuensi tinggi ditandai dengan perbedaan yang luas
dalam norma-norma dan standar-standar perilaku.
Dua sistem kegiatan ekonomi yang saling bertentangan memperlihatkan
secara kasar kesempatan-kesempatan yang sama bagi para pekerja serta peningkatan
taraf kehidupan. Bukti keberhasilan dalam dunia penjahat ditunjukkan oleh
penampilan penjahat-penjahat dewasa yang pakaian dan kendaraannya
memperlihatkan bahwa mereka makmur dalam bidang yang dipilihnya. Nilai-nilai
yang salah dan resiko-resiko besar yang ditanggung tak jelas nampak bagi orang
yang berusia muda.
b)
Teori
“differential association”
Teori ini pada pokoknya mengetengahkan suatu penjelasan
sistematik mengenai penerimaan pola-pola kejahatan. Kejahatan dipelajari
melalui interaksi dengan orang-orang lain dalam kelompok-kelompok pribadi yang
intim. Proses belajar itu menyangkut teknik-teknik untuk melakukan kejahatan
serta motif-motif, dorongan-dorongan, sikap-sikap dan pembenaran-pembenaran
yang mendukung dilakukannya kejahatan.
Postulat-postulat yang dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland
dan Donald Cressey dalam kerangka teori “differential association” ini adalah
sebagai berikut:
Ø Kejahatan di pejajari, secara negatif ini berarti bahwa
kejahatan tidak diwariskan.
Ø Kejahatan di pelajari dalam interaksi dengan orang-orang
lain melalui proses komunikasi.
Ø Proses belajar kejahatan meliputi:
·
Teknik-teknik
untuk melakukan kejahatan yang kadangkala sangat rumit dan kadang-kadang sangat
sederhana.
·
Arah,
motif, dorongan, pembenaran dan sikap-sikap.
Ø Arah khusus motif dan dorongan dipelajari dari
defenisi-defenisi tentang menguntungkan atau tidaknya aturan-aturan hukum.
Ø Seseorang menjadi delikuen oleh karena ia lebih mempunyai
defenisi yang mendukung pelanggaran hukum dibandingkan dengan defenisi-defenisi
yang tidak mendukung pelanggaran hukum.
Ø Pengelompokkan yang berbeda-beda mungkin beraneka
raganm dalam frekuensi, lamanya, perioritas dan intensitasnya.
Ø Proses belajar kejahatan melalui pengelompokkan dengan
pola-pola kejahatan atau anti kejahatn menyangkut semua mekanisme terdapat
dalam proses belajar apa pun.
Ø Walaupun kejahatan merupakan pencerminan
kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum, akan tetapi tidak dijelaskan oleh
kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai tersebut, oleh karena perilaku yang bukan kejahatan
pun merupakan pencerminan nilai-nilai dan kebutuhan-kebutuhan yang sama.
Teori-teori lain yang menekankan pada peranan faktor-faktor
interaksi, antara lain adalah teori Daniel Claser mengenai “differential
identification and anticipation” yang pada pokoknya menekankan bahwa seseorang
menjadi jahat tidak hanya oleh keterlibatannya secara langsung dengan
penjahat-penjahat, meleinkan juga dengan mengacau pada eksistensi kriminal
mereka.
3.
Teori-Teori tentang Faktor Pencetus
Yang dimaksudkan dengan faktor-faktor pencetus disini
dapat berupa peranan korban dalam situasi-situasi terjadinya kejahatan maupun
tekanan-tekanan situasional yang dialami pelaku kejahatan.
Menurut Shepard, dalam studi-studi tentang kejahatan kekerasan
terungkap betapa korban sangat acap memainkan peranan kunci dalam interaksi
kekerasan, bahkan tak jarang memprovokasi orang lain atau mencetuskan saling
balas dengan kekerasan yang pada akhirnya berakibat luka atau kematian.
Hubungan-hubungan sosial korban dalam kejahatan
kekerasan, terutama dalam pembunuhan yang memperlihatkan tingginya angka victim
precipitated kriminal homicide, menunjukkan korban merupakan bagian integral
dalam situasi-situasi terjadinya kejahatan dengan kekerasan.
Faktor lain adalah tekanan situasional yang dapat
merupakan faktor pencetus berlangsungnya kejahatan, termasuk kedalamnya proses
pengambilan resiko. Menurut Don C. Gibbons termasuk kelompok faktor-faktor
pencetus ini adalah sikap-sikap dan motivasi-motivasi kriminal, dan pola-pola kepribadian
lain.
4.
Teori-Teori tentang Faktor Reaksi Sosial
Kejahatan atau perilaku menyimpang dapat pula
dijelaskan melalui suatu pendekatan sosiogenik dalam kriminologi yang
menekankan pada aspek-aspek prosesual dari terjadi dan berlangsungnya
penyimpangan terutama dalam hubungannya dengan reaksi sosial.
Dari sudut pandang ini, perilaku menyimpang adalah akibat
penilaian sosial yang ditujukan pada seseorang.
Salah satu teori yang dikenal didalam kriminologi yang
juga mencoba menjelaskan kejahatan dari perspektif reaksi sosial adalah teori
yang dikemukakan oleh Edwin Lemert. Lemert menguraikan tentang proses-proses
seseorang diasingkan sebagai pelaku penyimpangan dan akibatnya karir
kehidupannya terorganisasikan atau terbentuk secara pribadi disekitar
status-statussebagai pelaku penyimpangan.
Beberapa teori mengenai kejahatan menurut Kartini Kartono dalam bukunya “patologi sosial” yaitu:
1.
Teori Teologis
Menyatakan kriminalitas sebagai perbuatan dosa yang
jahat sifatnya. Setiap orang normal bisa
melakukan kejahatan sebab didorong oleh roh-roh jahat dan godaan setan/ iblis atau
nafsu-nafsu durjana angkara.dan melanggar kehendak Tuhan. Dalam keadaan
setengah atau tidak sadar karena terbujuk oleh godaan iblis , orang baik-baik
bisa menyalahi perintah-perintah Tuhan dan melakukan kejahatan. Maka, barang
siapa melanggar Perintah Tuhan, dia harus mendapatkan hukuman sebagai penebus
dosa-dosanya.
2.
Teori Filsafat tentang Manusia (Antropologi dan
Transendental)
Menyebutkan adanya dialektika antara pribadi /
personal jasmani dan pribadi rohani. Personal rohani disebut pula sebagai JIV atau
jiwa, yang berarti “lembaga kehidupan” atau “daya hidup”. Jiwa ini merupakan
prinsip keselesaian dan kesempurnaan, dan sifatnya baik, sempurna serta abadi,
tidak ada yang perlu diperbaiki lagi. Oleh karena itu, jiwa mendorong manusia
kepada perbuatan-perbuatan yang baik dan susila. Mengarahkan manusia pada usaha
transedensi diri dan konstruksi diri.
Jasmani menusia itu merupakan prinsip ketidakselesaian
atau perubahan dan sifatnya tidak sempurna. Prinsip ketidakselesain mengarahkan
manusia pada destruksi, kerusakan, kemusnahan, dan kejahatan.
Kecenderungan mengarahkan pada kebinasaan dan
kejahatan ini disebut sebagai kecenderungan menggelinding ke bawah, yang
berlangsung dengan mudah atau otomatis. Sedangkan aktivitas manusia menuju pada
konstruksi diri dan transendensi diri, melakukan perbuatan-perbuatan mulia dan
luhur, benar-benar merupakan usaha yang pelik dan berat dan setiap saat harus
diperjuangkan secara gigih, agar orang tidak terseret kebawah melakukan
kejahatan.
3.
Teori Kemauan Bebas (Free Will)
Menyatakan bahwa manusia itu bisa bebas menurut
kemauannya. Dengan kemauan bebas dia berhak menentukan pilihan dan sikapnya.
Untuk menjamin agar setiap perbuatan berdasarkan kemauan bebas itu cocok dengan
keinginan masyarakat maka manusia harus diatur dan ditekan yaitu dengan: hukum,
norma-norma sosial dan pendidikan. Hukum dan hukuman biasanya disertai
ancaman-ancaman pidana yang menakutkan, agar manusia merasa ngeri dan takut berbuat
kejahatan dan tidak menyimpang dari pola kehidupan normal.
Teori kemauan bebas ini tidak menyebutkan roh-roh
jahat sebagai sebab musabab kejahatan. Akan tetapi, sebab kejahatan adalah
kemauan manusia itu sendiri. Jika dia dengan sadar benar berkeinginan melakukan
perbuatan durjana, maka tidak ada seorang pun, tidak satu deawapun, bahkan tidak
juga Tuhan dan sebuah kitab suci pun bisa melarang perbuatan kriminalnya.
Orang-orang jahat yang selalu melakukan tindak durjana, bikin onar, dan
kesengsaraan pada orang lain itu perlu ditindak, dihukum dan dididik kembali
oleh masyarakat.
4.
Teori Penyakit Jiwa
Menyebutkan adanya kelainan-kelainan yang bersifat
psikis, sehingga individu yang berkelainan individu sering melakukan kejahatan-kejahatan.
Penyakit jiwa tersebut berupa psikopat dan defek moral.
Tingkah laku dan relasi sosialnya selalu asosial,
eksentrik (kegilaan), kurang memiliki kesadaran sosial dan intelegensia sosial.
Mereka amat fanatikdan sangat egoistik, juga selalu menentang norma lingkungan
dan norma etis.sikapnya aneh-aneh, sering berbuat kasar, kurang ajar, dan ganas buas terhadap siapa pun
tanpa suatu sebab. Sikapnya senantiasa menyakiti hati orang lain dan seringkali
bertinglkah laku kriminal.
Kelemahan dan kegagalannya terutama ialah: dia tidak
memiliki kemampuan untuk mengenal, memahami, mengendalikan, dan mengatur laku
yang salah dan jahat. Sehingga sering melekukan kekerasan, penyerangan dan
kejahatan.
Banyak orang yang defekt moral memiliki
simpton-simpton psikotis, khususnya berupa penyimpangan dalam relasi
kemanusiaan. Sikapnya dingin beku, tanpa afeksi atau perasaan.
Pada umumnya, bentuk tubuh penjahat-penjahat habitual
dan residivis-residivis itu lebih kecil dari pada tubuh orang normal. Berat
badannya juga lebih kurang daripada bobot orang dewasa pada umumnya.
5.
Teori Fa’al Tubuh (Fisiologis)
Teori ini menyebutkan sumber kejahatan adalah ciri-ciri
jasmani dan bentuk-bentuk jasmaninya. Yaitu pada bentuk tengkorak, wajah, dahi,
hidung, mata, rahang, telinga, leher, lengan, tangan, jari-jari, kaki, dan
anggota badan lainnya. Semua ciri fisik itu mengkonstituasikan kepribadian
seseorang dengan kecenderungan-kecenderungan kriminal.
Pada umumnya, penjahat-penjahat sadis itu mempunyai
ciri-ciri jasmani khusus dan mereka itu dikelompokkan tipe kriminal. Kebanyakan
dari para kriminal itu mengidap penyakit ayan/ epilepsi sejak lahir. Ringkasnya,
sebab musabab kejahatan-kejahatan itu terletak pada konstitusi jasmani yang
mempengaruhi kehidupan jiwani, yang sudah ada sejak lahir.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berbicara tentang teori kriminologi merupakan suatu usaha
dalam memahami dan mengungkapkan pelbagai permasalahan tentang kejahatan dan
penyimpangan yang ada di dalam masyarakat. Teori-teori kriminologi ini menjadi
landasan yang akan menunjukkan arah kepada pengamat atau peneliti dalam
menentukan masalah apa yang akan diteliti dan dicari solusinya.
Secara krimonologis, kejahatan dan perilaku menyimpang
dapat dijelaskan sebagai hasil bekerjanya faktor-faktor sosio kultural,
faktor-faktor interaksi, faktor-faktor pencetus dan faktor-faktor reaksi
sosial. Beberapa teori yang membahas peranan dari faktor-faktor itu sebagai
faktor-faktor yang melatarbelakangi kejahatan dan membentuk karir kriminal.
1)
Teori-Teori
yang Membahas Peranan Faktor-Faktor Sosio-Kultural
Ø
Teori
“differential opportunity strukture”
Ø
Teori
mengenai “krisis ekonomi dan kejahatan”
Ø
Teori-teori
“kriminologi baru” atau “kriminologi krisis”
2)
Teori-teori
yang membahas faktor-faktor interaksi
Ø Teori “transmissi kebudayaan
Ø Teori “differential association”
3)
Teori-teori
tentang faktor pencetus
4)
Teori
tentang faktor reaksi sosial
Beberapa teori mengenai kejahatan menurut kartini
kartono dalam bukunya patologi sosial: Teori teologis, Teori filsafat tentang
manusia, Teori kemauan bebas ,Teori
penyakit jiwa dan teori fa’al tubuh.