AKU
DAN BARONGSAI
Tepat pada pukul 21:30 Wita,
hmmm.. gak ah, kayaknya gak tepat 21:30 deh, mungkin saja lebih ? kayaknya
lebih deh, sekitar 21:35 / 21:40 wita, ya sudahlah gak penting juga. Pokoknya
malam Rabu, tepat saat latihan musikalisasi puisi yang bakalan dipentaskan
sebulan yang akan datang, aku mengantar kembali wanita cantik nan imut-imut
kembali ke kosnya, ya itulah kewajiban seorang pria yang mengantar seorang
wanita yang telah dijemput sebelumnya. Dia ialah teman ku yang sama-sama
juga latihan musikalisasi puisi dimalam kemarin.
Di tengah perjalan, aku dan temanku
yang cantik imut-imut, yang disingkat “ camut “ ( bukan semut yaa ) tertahan
oleh macetnya jalanan, dimana dari kejauhan sangat terdengan suara tabuhan
gendang yang biasanya dimainkan oleh penggiring Barongsai. Perkiraanku benar,
ternyata ada pagelaran Borongsai ditepi jalan, tepatnya dihalaman pertokoan
yang cukup luas. Pekan ini bertepatan dengan hari “ Cap Go Mei “ entah apakah
begitu tulisannya, hanya orang cina dan sekitarnya yang tahu. Ku tanya si Camut
“ kamu pernah lihat Barongsai ? “, dia menyahut belum, lalu ku ajak dia untuk
menonton sebentar pertunujukan Barongsai yang dimainkan oleh beberapa anak muda
ini.
Lenggang-lenggok bokong Barongsai
seakan-akan goyang patah-patah kaya Dewi Persik, hahahaha, ( itu cuma imaginasi
ku saja ). Barongsai loncat kesana kemari, diiringi dengan tabuhan gendang
besar yang merasuk hingga kejantung. Malam itu aku terbawa suasa yang indah,
yang bahagia serta berkesan dalam sepanjang ingatanku bersama Barongsai. Aku mulai
teringat saat aku kecil, sekitar umur 7 tahun, kecil-kecil mungil serta
menggemaskan pada waktu itu. Pada waktu itu pentunjukan Barongsai saat itu
sangat jarang terlihat, entah kenapa ( kalau mau tahu, silahkan buka google ),
bahkan saat perayaan Cap go Mei seperti sekarang kemungkinan hanya
dipertunjukan hanya sekali dalam setahun, tidak seperti sekarang sudah ada
dimana-mana yang namanya Barongsai ini, di pasar, dijalan-jalan raya,
dipertokoan Cina, di televisi, di radio ( musiknyaaaa !!! ), di lapangan
terbuka, diacara atau di event-event etnis Tionghoa dan lainnya.
Ketika umurku 7 tahun ..
Ariiifffff.. ayo cepat sana mandi,
ayo ke musholla, sholat magrib sana ? tentu saja itu suara ibu yang agak
sedikit halus namun kencang ( jangan ditanya maksudnya apa, aku juga gak tahu
mau menulis apa, pokoknya nadanya halus namun kencang, daah gak usah
dibayangkan). Aku yang sedang asik melihat televisi, mendatangi ibu yang asik
ngasih makan adik perempuanku yang masih 4 tahun. “ Ibu, ibu nyuruh mandi, ke
musholla atau sholat magribku, masa ibu nyuruh aku yang membulum mandi ini ke
musholla dan ini belum waktunya sholat magrib buu “ ocehku, ya maklumlah sudah
sejak kecil aku ini suka ngoceh, bahkan kepada ibuku. Namun bukan berarti aku
mau ngelawan perintah ibu, tapi itu murni karna sifat asliku yang memang sangat
suka bercanda. Ibuku tak menyahut apa-apa namun beliau mengambil “centong “ (
ituuu,, alat mengambil ai, kecil saja tapi tangkainya yang panjang, warnanya
biasanya warna hijau, pink, merah, biru, warna ungu gak ada, kalo nanya
harganya berapa aku beneran sumpah gak tahu !! ). Centong yang diarahkan ibu
kepadaku, itu ialah jawaban yang tak bersuara namun aku sangat pahan maksudnya,
artinya aku harus mandi, setelah mandi aku harus mengenakan pakaian sholat, yaa
setidaknya pakai celana panjang dan memakai kopiah, setelah pakai baju sholat
aku harus pergi ke musholla, dan ketika waktu sholat magrib tiba aku harus
sholat magrib, itulah maksud si centong ketika ia mulai diarahkan kepadaku. Hahahahaha..
keselamatan terancam, ibu kejam, wahahaha.
“ iya bu, aku akan mandi, terus ke
musholla dan sholat magrib “ sahutku kepada agar ibu menurunkan centong yang
ada ditangannya. Aku pun mandi. ( tak perlu ku tuliskan detailnya ritual aku
mandi, karena itu rahasia ). Aku yang sudah mengenakan pakaian sholat dan mau
pergi ke musholla ibuku memanggil “ Rif.. Rif, kalau udah sholat, langsung
pulang yaa, jangan jalan-jalan ke Bali yaa atau jangan ke monas dulu “
wahahaha, ya gak gitu lah, ibu pesan “ jangan ke mana-mana, langsung pulang,
karena ayah mau ngajak nonton Barongsay “.
“ apaaaaaa !!!
Barongsaaaaaaaaaaiiiiii !!! gilaaaa, nonton Barongsai adalah impianku, sejak
aku belum dilahirkan, terima kasih ayah, terima kasih ibu, kalian memang orang
tua yang berbakti kepada anaknya “ ( hatiku bergembira ). Dalam pikiranku “
asik barongsai, asik barongsai “ bahkan ketika aku sholat pun barongsai
kayaknya ada berlenggang lenggok di depanku. Maklum aku sama sekali tidak
pernah menonton Barongsai, hanya pernha lihat di televisi saja, dan itu ialah
impianku sejak aku belum dilahirkan, hahaha, aku senang malam ini aku diajak
untuk menonton secara langsung.
Setelah sholat magrib aku pun
mengucap syukur kepada Allah “ Ya Allah terima kasih, hidupku sangat mengasikan
“. Aku segera pulang ke rumah, dengan langkah 12 ribu dalam hitungan yang tak
pernah ku hitung aku sampai ke rumah. Di depan rumah ayah sudah siap dengan
kendaraan mewahnya, ayah mengelap dan membersihkan kendaraan mewahnya sembari
menunggu ibu yang lagi dandan. Aku yang masih menggunakan peci dan baju koko (
baju muslim yang biasanya dipakai untuk sholat dan untuk ke WC juga bisa sih
sebenarnya ), naik duluan ke kendaraan mewah ayah, aku duduk didepan, sepeti
biasa dan selalu duduk di depan. Ibu pun seselai dengan dandanannya, dia juga
duduk di depan bersama adikku yang kecil imut cantik menggemaskan, ya hanya
ayahku yang duduk di belakang, tentu saja dong dibelakang, karena yang sedang
kami tunggangi ini ialah becak kesayangan ayah, becak yang membawa rezeki dari
Tuhan kepada ayah, dan becak yang akan ku lihat sampai umurku 23 tahun nanti.
Sekitar tiga puluh menit lamanya
ayah mengayuh becak sampailah kami ke tempekong, tempat masyarakat etnis
Tionghoa beribadah itu kata ibuku “ nahhh.. kita sudah sampai Rif, ini namanya
tempekong, dimana orang cina, sembahyang “ loohh, kan sembahyang itu ke
musholla bu, atau ke masjid bukan ke tempekong “ sahutku ?. ibu belum menjawab
pertanyaanku, kami pun turun dari becak, ayah pun juga, setelah becak yang kami
tunggangi sudah di parkirkan di tempat parkir yang sudah tersedia. “ oh, ya
Rif.. itukan orang Muslim, Muslim memang bersembahyang di musholla, masjid dan
lainnya, orang cina sembahyangnya disini, begitu juga dengan orang kristen
mereka sembahyangnya di gereja, masing-masing orang mempunyai agama
masing-masing dan tempat sembahyang masing-masing “ itu jawaban ibuku. Aku pun
bertanya lagi “ apakah itu punya Allah bu “ , ibuku menjawab “ segala yang ada
dimuka bumi, alam semesta ini ialah punya Allah nak “ sahut ibuku. Aku yang
rada-rada kebingungan berpikir, ya sudahlah yang penting malam ini nonton
Barongsai !!!, aku yakin setelah dewasa aku akan mengerti apa yang dimaksud ibu
tadi, ini aku masih anak-anak belum bisa berpikir sedama itu.
Dentuman gendang besar mulai
terdengan, Barongsai juga sudah siap di pinggir arena itu tandanya pentunjukan
akan segera dimulai. Aku yang menggenakan peci tampak berbeda dengan
sekelilingku yang kebanyakan bermata sipit dan berkulit putih, aku berdiri
dibarisan depan bersama ayah, ibu dan adikku. Aku tampak kegirangan, tampak
senang melihat tarian-tarian yang diperagakan oleh dua pemain Barongsai yang
ada didalamnya, begitu juga di sekelilingku anak-anak sipit berkulit putih juga
tampak gembira melihat Barongsai menari, namun ada juga anak-anak seumuranku
yang menangis ketakutan melihat Barongsai. Ketika Barongsai tepat dihadapanku
ayah memberiku amplop kecil berwarna merah ( angpao ) yang sebelumnya beliau
beli dipasar dan beliau isi dengan uang lima ribuan didalamnya sebelum kami
berangkat. “ Ayo rif berikan kepada Barongsai itu !! “ ayah menyuruhku untuk
meemberikan angpao itu kepada Barongsai yang tepat dihadapanku. Aku yang agak
sedikit takut, langsung mengulurkan tanganku yang memengang angpao ke mulut
Barongsai. Betapa senangnya hatiku, entah seberapa ukurannya.
Ayahku pengambil bambu kecil yang
dikasih tali ujungnya, tampak seperti alat pancing ( unjun ) yang disedia
disana, begitu juga dengan penonton yang lain mereka juga nampak masing-masing
mengambil pancingan tersebut, dimana ujung tali pancing itu di ikat dengan
angpao yang telah masing-masing dibawa oleh penonton dari rumah. Ayahku juga
tak ketinggalan, beliau melilitkan angpao di ujung alat pancint tersebut, aku digendung
ayah kebahunya dan aku disuruh ayah untuk memegang bambu kecil tersebut
tinggi-tinggi “ ayo, Rif, pegang tinggi-tinggi “ ayah begitu bersemangat. Tak
lama kemudian setelah pancingan lain dilahat oleh Barongsai, kini giliran
pancinganku. Barongsai yang meloncat tinggi, nampak berdiri lurus keatas
berhasil mengambil angpao yang ada diujung tali pancing yang ku pegang. Sungguh
menyenangkan. Dan itu berkali-kali kami lakukan, begitu juga ibuku dan adikku
yang masih kecil. Rupaya ayah sangat banyak membawa angpao yang aku tahu
didalamnya ada uang lima ribu rupiah. Karena pada sore hari aku melihat ayah
memasukan uang lima ribu kedalam masing-masing amplop merah yang saya kira itu
adalah jimat ala-ala cina buat mengusir vampir agar tidak mempir ke rumah.
Padahal pada saat ini ( tahun 2000 ) uang lima ribu rupiah itu uang yang sangat
banyak bagi keluarga kami dan apa lagi ada beberapa amplop yang diisi oleh ayah
yang masing-masing berisi Rp. 5000, dan apalagi pekerjaan ayah yang hanya
penarik becak uang segitu sangat banyak bagi kami. Namun ibu sama sekali tidak
mempermasalahkannya. Aku belum tahu mengapa, aku pun tidak menanyakannya kepada
orang tuaku menganai hal tersebut.
Malam semakin larut, dentuman
penggiring musik Barongsai masih terdengar hingga kejantung. Adikku yang mulai
mengantuk membuat kami beranjak dari halaman tempekong depan jembatan merdeka
menuju parkiran dimana becak ayah parkir. Tak mengapa, padahal aku ingin sekali
masih melihatnya, karena aku tahu momen ini hanya ada setahun sekali di kota
ini, tapi aku sudah puas, aku juga mulai mengantuk. Becak mewah ayah meulai ia
kayuh aku pun tertidur hingga pagi harinya aku terbangun, aku sudah berada
dikasur kecil tempat ku tidur, betapa lelapnya tidurku setelah lelah menonton
Barongsai tadi malam, manun tak ada kata lelah dalam hidup ayahku, pagi hari
dihari minggu dia kembali melaksanakan tugasnya sebagai pencari nafkah untuk
keluarganya menggunakan becak yang
sangat ia sayangi ini.
Setelah aku beranjak dewasa ini, aku
baru sadar jauh sebelum aku dikenalkan tentang toleransi oleh guru-guruku dan
uatadz-ustadzku dipesantren, jauh sebelum dikenalkan tentang pluralisme oleh
para dosenku dibangku kuliah, aku sudah diajarkan oleh kedua orang tuaku
tentang toleransi umat beragama melalui Barongsai. Dengan menggunakan peci aku
tetap diperbolehkan ikut menonton berbaur bersama etnis cina, tidak dilarang
masuk. Aku yang menggukan peci juga ikut “ memancing Barongsai dengan angpao “
sama seperti yang lain, yang berkulit putih bermata sipit. Sesekali Barongsai
menatapku tepat dihadapanku tandanya ia menghargai keberadaanku yang berbeda
dengan sekelilingku. Ibu dan ayahku mengajarkanku berbeda bukan berarti harus dibeda-bedakan,
apa yang mereka lihat aku juga berhak melihat, begitu pula dengan mereka apa
yang aku lihat tak berhak aku melarangnya untuk melihat hanya karena berbeda.
“ eh, gimana ni udah jam sepuluh,
mau pulang ? “ tanyaku kepada temenku Cemut belum ku antar pulang ke kos. “ yaa
boleh “, jawab dia. Setelah lama kami
menonton Barongsai kami pun pulang, aku mengantarkan ia pulang ke kosnya dan
aku pulang ke rumag.
Arif
Riduan 24/02/2016