Sekolah
Ngaji
Karya Arif Riduan
cover-ilustrasi, sumber Net, edit penulis |
“ Dir.. Dir.. Khaidir !! Sadang nak cari kupiah sakulah ngaji sana, parak
jam setengah tiga dah ni.. ! “ . Seru ibuku
ketika menyuruhku untuk pergi mengaji saat aku lagi asik menonton Si Bolang di
televisi. Seperti biasanya, ibuku
menjadi alaram hidup untuk anak-anaknya. “ inggih
ma ! “. Aku pun bergegas mencari peci baru yang kemarin dibelikan oleh
ayahku, karena peci yang lama udah usang dan agak sobek sedikit. Melihat
anaknya yang sudah siap berangkat ke sekolah
ngaji ( Taman Pendidikan Alquran )
mama pun memberikan uang Rp. 1200 kepadaku. Rp. 1000 untuk uang saku jajan, dan
Rp. 200 untuk bayar iuaran per-sekali mengaji. Aku pun bergegas menuju sekolah
ngaji. “ Ma ! ulun turun ma ai “ izinku. “ eeh , Jangan kalahi lah, lawan jangan minum es “. Sahut ibuku.
Sudah menjadi kewajiban bagi seorang
anak seusiaku untuk belajar mengaji, itulah yang sudah menjadi kebiasaan di
tempat tinggalku. Anak seusia aku ini, yakni 7-8 tahun biasanya di masukan oleh
orang tua ke tempat mengaji Alquran, atau yang biasanya
kami sebut sekolah ngaji, dan juga
bisa belajar privat kepada seorang guru ngaji. Biasanya kalau di sekolah ngaji
itu waktunya sekitar jam 3:00 sampai jam 5:00 sore, dan kalau belajar privat ke
guru ngaji biasanya sekitar waktu sehabis magrib, atau setelah sholat isya.
Aku berbeda dengan kakak-kakakku,
hanya aku yang belajar ngaji di sekolah ngaji (TPA), sedangkan kakak-kakakku
belajar mengaji dengan cara privat ke rumah salah satu guru ngaji di tempat
tinggal kami. Setelah sholat magrib banyak anak-anak seusia aku dan seusia
kakakku ( Usia SMP ) belajar mengaji ke rumah guru ngaji tersebut selepas sholat Magrib.
Nama beliau ialah Kakek Umar Mayah atau sering dipanggil dengan sebutan “ Kai Ngaji “. Dalam mengajarkan Alquran
beliau tidak sendirian, Kai Ngaji
dibantu oleh istri beliau yang juga akrab dengan sapaan “ Nini Ngaji “ . Di tempat Kai Ngaji ini para murid tidak dipungut
biaya sepeser pun dan beliau juga tidak pernah meminta imbalan untuk ilmu
membaca Alquran yang beliau ajarkan setiap hari. Namun biasanya para orang tua
setiap bulan/minggunya memberi
hadiah kepada beliau berupa gula, kopi serta sembako lainnya.
Begitu
pula orang tuaku, pada setiap bulannya beliau memberikan beberapa kilo gula
kepada Kai Ngaji sebagai rasa terima
kasih kepada beliau. Itu pun jika ada uang berlebih yang didapat oleh orang
tuaku, jika tidak ada yang diberi maka ditunda dilain hari. Pernah juga dalam
sebulan orang tuaku tidak memberikan apa-apa kepada Kai Ngaji karena banyak kebutuhan rumah tangga yang harus
dikeluarkan. Kai Ngaji dan istri pun
sebenarnya tidak pernah meminta kepada orang tua yang anaknya belajar ngaji di
tempat beliau, namun itu sudah menjadi kebiasaan di tempat kami, sebagai ucapan
terima kasih kepada seseorang guru.
Beberapa
menit berjalan, akhirnya aku sampai di depan sekolah, tempat aku menimba ilmu
membaca Alquran. Namun sebelum aku belajar membaca Alquran, aku ( juga anak
yang lain ) di wajibkan dulu belajar iqro atau yang kami sebut dengan “ Jilid “. Ada enam tingkatan jilid yang
harus kami pelajari sebelum melangkah ke jenjang Alquran, yakni dari jilid 1 sampai ke jilid 6, setelah itu baru
kami bisa menyambungnya ke Alquran, dengan bahasa lain untuk bisa membaca
Alquran terlebih dulu kami harus mempelajari dasarnya dulu dengan belajar iqro
/ jilid.
Tidak
terasa hari demi hari, aku sudah beranjak ke jilid 2, yakni setelah jilid 1
sudah selesai. Depan sekolah ngaji aku sudah mendengar sayup-sayup lantunan
lagu islami yang biasanya kami nyanyikan sebelum memulai pelajaran. Aku pun
berlari menuju ruang kelas, sepertinya aku terlambat. Tentu saja setelah aku
sampai ke kelas, maka aku langsung duduk di tempat biasanya aku duduk, dan ikut
bernyanyi.
“
rukun Islam yang lima ..
Syahadat,
sholat puasa ..
Zakat
untuk si papa, Haji bagi yang kuasa ..
Siapa
tidak sholat ! DOR !!! akan rugi di akhirat
Siapa
tak bayar zakat, oleh Allah di laknat”
Inilah lagu
yang kami nyanyikan kali ini bersama ustadz Arul dan ustazah Heny kali ini,
lagu rukun islam yang nadanya seperti nada “ balonku ada lima”. Lagu berikutnya
ialah lagu yang berjudul “ Aku cinta Allah “ yang nadanya seperti nada lagu “
sayang semua “ namun liriknya yang diubah, entahlah siapa yang mengubah
liriknya.
“ Satu-satu
aku cinta Allah ..
Dua
dua, cinta Rasulullah ..
Tiga
tiga sayang ibu bapak..
Satu
dua tiga, sayang semuanya … yeeeeeeeeeeeee
Beginilah
ramainya ketika pelajaran ngaji ingin dimulai, kami anak-anak yang rata-rata
umur 7-8 tahun seperti aku ini terkumpul di satu kelas, yakni kelas jilid, sedangkan
para murid yang sudah tingkat Alquran belajar di kelas sebelah bersama Bapak
Haji Marwan dan Bapak Zaini. Kami yang jilid ini dibimbing oleh kakak-kakak
dari Pondok Pesantren di sekitar tempat tinggal kami, diantranya ialah kak
ustadz Arul dan ka ustadzah Heni dan Munirah.
Pelajaran
pun dimulai, Kak ustadz Arul mulai menuliskan ayat Alquran yang harus kami
tulis di papan tulis, tulisan kak ustadz Arul sangat bagus, mungkin karena
beliau santri di pesantren yang terbiasa menulis tulisan kaligrafi arab. “ ini tulislah, adding-ading .. tulis sampai
habis “. Seru kak ustadz Arul kepada kami. Sedangkan ustadzah Heny dan
Munirah duduk depan dan memanggil nama kami satu persatu untuk mengaji dengan
bimbingan beliau. Biasanya panggilan itu menurut abjad di buku absen, yakni
dari A. “ Ahmadi, dan Afif Rahman “ ustadzah
Heny memanggil dua orang dari kami untuk maju ke depan. Sedangkan nama-namanya
yang belum dipanggil tetap duduk ditempat sembari menyelesaikan tulisan yang
sudah dicontohkan di papan tulis.
“ Khaidir Malik ! “. Kak ustadzah Munirah
memanggil, itu artinya kini giliranku ke depan untuk mengaji dengan bimbingan
beliau. Aku pun mengeluarkan uang 200 rupiah untuk membayar iuaran ngaji. “ Nah jilid 2 dah kam Dir ai, rajin-rajin
turun mengaji, nyaman capat ke Alquran “. Kak ustadzah Munirah menasihatiku
agar rajin mengaji, supaya cepat ke jilid berikutnya dan cepat ke tingkatan
Alquran. “ inggih ka “. Sahutku.
Ada hal
yang unik di sekolah ngaji ini, salah satunya ialah jam istirahat. Jam istirahat
di sekolah ini terbilang unik karena tidak ada memiliki patokan jam. Siapa yang
sudah selesai mengaji dan selesai menulis maka boleh istirahat. Itulah kenapa
sering ada kegaduhan antar murid siapa yang duluan maju ke depan untuk mengaji.
Terkadang biasanya sesuai dengan urutan absen, namun kadang pula siapa yang
selesai menulis duluan boleh maju ke depan untuk mengambil giliran untuk
mengaji. Hal yang unik selanjutnya ialah terkadang seminggu dua kali kami semua
murid dikumpulkan di halaman sekolah, bernyanyi lagu-lagu anak islami bersama
yang mana hal tersebut dipimpin oleh Bapak Zaini selaku pengurus sekolah ngaji
ini. Sehabis menyanyi bersama biasanya beliau bercerita tentang kisah-kisah
Islami, seperti kisah Nabi Musa membelah lautan. Kami anak-anak tampak
tercengang dengan cerita yang beliau sampaikan, terlebih lagi aku, paling suka
dengan yang namanya cerita.
“ Nabi Musa beserta para pengikut beliau
berlari karena dikejar-kejar oleh raja yang dzolim, yakni Raja Firaun. Nabi
Musa pun terhenti di lautan yang dalam, tidak ada jalan lagi untuk lari. Lalu Nabi
Musa berdoa meminta pertolongan kepada Allah Swt, maka saat itu pula Allah Swt
mewahyukan agar Nabi Musa memukulkan tongkat yang ada di tangan beliau ke
lautan “. Bapak Zaini menceritakan kisah Nabi Musa dengan sangat serius,
ditambah dengan gaya dan mimik beliau yang sangat menggambarkan situasi saat
itu, seakan akan kami ada di dalam cerita tersebut, membayangkan seakan
nyata. Beliau pun menyambung cerita “ Setelah Nabi Musa memukulkan tongkal ke
lautan, seketika itu lautan pun terbelah dari sisi kanan dan sisi kiri sehingga
lautan yang dalam menjadi daratan kerana terbelah. Tidak menunggu lama Nabi
Musa dan pengikutnya pun berlari menyebrangi lautan yang kini menjadi daratan.
Melihat hal tersebut Firaun tercengang, namun masih saja mengejar rombongan
Nabi Musa bahkan semakin kencang. Akhirnya rombongan Nabi Musa sudah sampai di seberang,
sedangkan Firaun dan anak buahnya masih di tengah laut, maka kembalilah lautan
pada semula sehingga menenggelamkan Firaun dan pengikutnya”. Cerita pun
selesai, kami kelihatannya gembira mendengar Nabi Musa akhirnya selamat dari
kejaran Firaun.
“ Jadi anak-anak bapak sekalian, perlu
diingat bahwasanya Allah Swt akan selalu menolong hamba-hambaNya yang berdoa,
semuanya paham ? “ Tutur Bapak Zaini kepada murid-murid yang setadi begitu
tegang. ‘ iyaaa paaaaa, paham ! “
sahut kami yang agak sedikit serempak. Begitulah biasanya kegiatan di sekolah
ngaji kami. Penuh kecerian, namun juga penuh dengan hikmah pembelajaran tentang
ilmu Alquran dan ilmu agama.
Jam
sudah menunjukan pukul 5:00 sore, itu tandanya tiba waktu kami untuk kembali
pulang ke rumah. Tak lupa kami membaca doa-doa yang telah kami hapalkan dari
ajaran kakak-kakak Ustadz dan Ustadzah yang bergitu sabar mengajarkan kami yang
belum paham tentang agama. Terlebih lagi aku, aku bahkan selalu bertanya-tanya
di dalam hati apa makna doa-doa yang kami ucapakan ketika memulai dan
mengakhiri pelajaran ini. Cukup panjang doa yang kami bacakan, namun aku
hanyalah anak kecil yang tak paham dengan makna doa tersebut. Hanya ada satu
doa yang ku paham, yakni doa kepada ibu bapak, karena sejak kecil sebelum usia
sekolah aku sudah diajarkan oleh ibuku membaca doa tersebut beserta artinya,
begitu juga dengan doa sebelum makan dan doa sebelum tidur, hanya itu yang ku
paham.
“ Assalamualaikum !! “. Ucapaku ketika
sesampainya di rumah. “ Wa’alaikum salam “.
Sahut ibuku sambil mengayun adikku yang masih kecil di ayunan. “ Andak kupiah tu di atas lemari Dir ai,
kena abut mencarii kada dapat “. Nasihat ibu kepadaku agar aku meletakkan
peci ditempatnya. Seperti biasanya aku sering lupa menaruh dimana peci ku
taruh, karena tidak meletakkan ditempatnya. “
kaya apa tadi Dir ? jilid berapa dah mengaji ? “ . tanya ibuku, menanyakan
sudah sampai mana aku mengaji. “ ulun
sudah jilid 2 ma ai tadi, maa ! maa ! Jar bapak tadi minggu kena tulakan jar
ziarah ke Kelampayan “. Sahutku, sekalingus memberi tahukan bahwa hari
minggu depan akan diadakan ziarah ke makam salah satu tokoh alim ulama yang ada
di Kalimantan, yakni Makan Syekh Muhammad Arsyad Al-banjari atau yang biasanya
disebut Datu Kelampayan.
“ berapa bayarnya Dir ?” ibu bertanya
berapa pembayaran untuk ikut ziarah. “
10.000 ma ai, tulaknya pakai trak Haji Udin “. Sahutku. “ mudahan ai mama ada duit balabih Dir lah,
mun kada umpat kada papa jua Dir lo “. Kata ibuku yang mecoba memberiku
pengertian bahwa kalau tidak ada uang aku mungkin tidak bisa ikut ziarah. Aku
hanyalah anak kecil yang tak paham dengan samua ini, di dalam hatiku aku harus
ikut, ibuku harus memberiku uang untuk ikut ziarah, hatiku bergumam seperti
itu. Aku belum mengerti bahwa uang begitu sulit dicari, karena ayahku hanyalah
seorang penarik becak yang penghasilannya terkadang tidak lebih dari 20.000
rupian dan itu pun hanya untuk keperluan sehari-hari, makan dan uang saku
sekolah aku dan kakak-kakakku yang bersekolah di bangku SMP. Ibu pun hanya
seorang penjaja Buras atau Lepet (
lapat), yang ketika malam ibu bikin dan paginya ibu jajakan ke warung-warung di
pasar. Aku tak tahu persis berapa penghasilan ibu, namun yang pasti penghasilan
dari penjualan beras itu hanya mampu untuk menutupi SPP sekolah aku dan
kakak-kakakku, susu adikku, dan kebutuhan ruamh tangga lainnya seperti bayar
listrik dan memberi air bersih ke Pak RT harun seharga 100 rupiah per-tangki
sepuluh liter air bersih.
Hari
sudah berjalan beberapa waktu, tiba saatnya hari ini batas terakhir pembayaran
uang 10.000 untuk ikut pergi ziarah ke Kelampayan. Ibuku sepertinya amnesia
tentang ziarahku besok, atau mungkin sengaja lupa tentang agenda ziarah sekolah
ngajiku besok karena beliau belum memiliki uang untuk diberikan kepadaku, namun
aku sekali lagi hanyalah anak kecil yang tak paham dengan semua itu. Dibenakku
hanyalah aku ingin ikut pergi ziarah dan ibuku harus memberikan uang kepadaku 10.000
hari ini.
“ Maa, hari ini terakhir ma ai bayaran gasan
isuk ziarah “. Pintaku kepada ibu dengan agak sedikit kesal dan melas. “ Maa ! Maa !, kasi ma, minta duit 10.000,
kena ulun kada kawa umpat ziarah isuk “. Mataku mulai memerah dan berkaca-kaca
karena masih belum diberi uang oleh ibu. Ibu pun menyahut “ Dir, mama kadada bisi duit nak ai, tadi dijulung abah 10.000 mama
tukarakan gasan baras wan iwak, habis duitnya, hadangi ai kalo pina abah kena
datang membawa duit”. Aku pun terdiam, bibir terpaku dan mata yang masih
berkaca-kaca menahan tangis. Tak menunggu lama, aku yang masih kecil yang tak
mengerti apa-apa ini berdiri mengambil peci ditempat biasa aku menaruhnya,
setelah itu aku duduk di teras rumah kecilku sambil menunggu ayahku pulang dari
menarik becak dan membayangkan ketika ayah pulang memberikan uang untuk aku
ikut ziarah besok pagi.
“ Maaaaaa .. abah lawasnya bulik “. Keluhku
yang sudah hampir satu jam menunggu kedatangan ayahku yang tak kunjung datang
kepada ibu yang berada di dalam rumah. “
hadangi Dir, abah bulik ai setumat lagi .. “ . ibu mencoba menenangkanku
dari dalam rumah. Tidak lama kemudian ayah pun datang dengan becak tuanya. Ayah
yang kelihatan lelah, keringat membasahi bajunya sangat terlihat di mataku
menghampiri aku, seakan-akan ayah sudah tahu bahwa kau sudah menunggunya dan
menunggu uangnya. “ Dir.. nah, hari ini
lo hari terakhir bayar gasan ziarah esok tu .. “ . Tanya ayah sembari
mengambil uang dari saku kanannya. Ayah pun memberikan uang Rp. 11.200
kepadaku. Rp. 10.000 untuk bayar ikut ziarah, Rp. 1000 untuk aku jajan dan
Rp.200 untuk bayar iuran sekolah ngaji per-sekali ngaji.
Aku yang
sejak tadi sudah siap berangkat ke sekolah ngaji langsung mengambil uang yang
diberikan oleh ayah, dan menaruh ke dalam tas. Aku pun bersalaman kepada ayah,
dan langsung berlari menuju sekolah ngaji karena aku tahu hari ini aku
terlambat, karena menunggu ayah datang. Aku berlari sambil membayangkan bahwa
aku bisa ikut pergi ziarah bersama teman-teman yang lain besok hari. Setibanya aku
di sekolah ngaji aku pun melaksanakan aktivitas seperti biasanya, mengaji,
menulis dan membayar iuran harian sekolah ngaji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar