BAB I
PENDAHULUAN
Khalifah Ar-Rasyidin atau Khulafa’ur Rasyidin adalah empat
khalifah pertama dalam tradisi Islam, sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW, yang
dipandang sebagai pemimpin yang mendapat petunjuk dan patut dicontoh. Mereka
semua adalah sahabat dekat Nabi Muhammad SAW, dan penerus kepemimpinan mereka
bukan berdasarkan keturunan, suatu hal yang kemudian menjadi cirri-ciri
kekhalifahan selanjutnya.
Sistem pemerintahan terhadap masing-masing khalifah tersebut
berbeda-beda, hal tersebut terjadi karena para sahabat menganggap bahwa Nabi
Muhammad SAW tidak member petunjuk yang jelas mengenai pengganti beliau.
BAB II
PEMBAHASAN
I.
SEJARAH KHULAFA’UR RASYIDIN
Imam Nawawi menerangkan bahwa yang dimaksud Khulafa’ur
Rasyidin adalah para khalifah yang empat yaitu; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan
‘Ali radhiyallahu’anhum (Ad Durrah As Salafiyah, hal. 201) Imam Ibnu Daqiqil
‘Ied juga menjelaskan bahwa mereka adalah keempat khalifah tersebut berdasarkan
ijma’ (Ad Durrah As Salafiyah, hal. 202) Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah
mengatakan, “…Dan termasuk di dalamnya (Khulafa’ur Rasyidin) adalah para
khalifah/pengganti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ilmu, ibadah
dan dakwah pada umatnya, dan sebagai pemuka mereka ialah Empat orang Khalifah
yaitu Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum.” (Ad Durrah As
Salafiyah, hal. 203)
Khilafah merupakan sebuah kedudukan yang sangat agung dan
sebuah tanggung jawab yang begitu besar. Karena dengan jabatan tersebut seorang
khalifah berkewajiban untuk mengurusi dan mengatur berbagai urusan kaum
muslimin. Khalifah lah orang pertama yang paling bertanggung jawab dalam hal
ini. Adanya khilafah ini merupakan kewajiban yang sifatnya fardhu kifayah.
Sebab urusan umat manusia tidak akan terurusi dengan baik kecuali dengannya.
Khilafah itu bisa didapatkan melalui salah satu dari tiga proses berikut ini :
- Keputusan tegas dari khalifah sebelumnya untuk menunjuk/mengangkat calon penggantinya. Sebagaimana yang terjadi pada saat pergantian kepemimpinan sesudah wafatnya Abu Bakar dengan ditunjuknya ‘Umar bin Al Khaththab berdasarkan keputusan Abu Bakar radhiyallahu’anhu sendiri.
- Berdasarkan kesepakatan ahlul halli wal ‘aqdi (badan permusyawaratan ulama umat). Baik pemilihan anggota Ahlul halli wal ‘aqdi itu bersumber dari penentuan yang sudah ditetapkan oleh Khalifah terdahulu sebagaimana terpilihnya ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu sebagai khalifah yang dipilih berdasarkan kesepakatan ahli halli wal ‘aqdi yang ditunjuk oleh ‘Umar untuk bermusyawarah, ataupun pemilihan anggota ahlul halli wal ‘aqdi itu bukan berdasarkan dari penentuan oleh Khalifah sebelumnya, sebagaimana yang terjadi pada pengangkatan khalifah Abu Bakar radhiyallahu’anhu menurut salah satu versi pendapat ulama, dan juga sebagaimana pengangkatan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu.
- Terjadinya penggulingan kekuasaan sehingga muncul khalifah baru yang berhasil menguasai pemerintahan, sebagaimana proses terangkatnya Khalifah Abdul Malik bin Marwan ketika Ibnu Zubair terbunuh sehingga berakhirlah kekhilafahan di tangannya. (disadur dari Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 156-157)
II.
SEJARAH SINGKAT DAKWAH PARA
KHULAFA’UR RASYIDIN
I.
Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq
radhiyallahu’anhu
Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata, “Umat beliau
yang paling utama adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, kemudian ‘Umar Al Faruq,
kemudian ‘Utsman Dzu Nurain, kemudian ‘Ali Al Murtadha, semoga Allah meridhai
mereka semuanya…” (lihat Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Ibnu Utsaimin, hal.
138)
Nama aslinya adalah Abdullah bin ‘Utsman bin ‘Aamir dari
suku Taim bin Murrah bin Ka’ab. Beliau adalah orang pertama yang beriman kepada
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan lelaki dewasa. Beliau adalah
sahabat yang menemani hijrah beliau. Beliau jugalah orang yang menggantikan
Nabi untuk menjadi imam shalat serta amir jama’ah haji. Ada lima orang sahabat
yang termasuk orang-orang yang dijanjikan surga yang masuk Islam melalui
perantara dakwahnya, mereka itu adalah ; ‘Utsman, Zubair, Thalhah, Abdurrahman
bin ‘Auf dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Beliau wafat pada bulan Jumadil akhir tahun
13 hijriyah dalam usia 63 tahun. (lihat Syarah Lum’atul I’tiqad syaikh Utsaimin
, hal. 141)
Para ulama berbeda pendapat tentang proses terpilihnya
beliau sebagai khalifah. Apakah beliau terpilih berdasarkan nash [dalil tegas]
dari Nabi ataukah berdasarkan bai’at (janji setia) seluruh para sahabat kepada
beliau. Sebagian ulama sejarah yang pakar di bidang hadits berpendapat bahwa
pengangkatan Abu Bakar sebagai khilafah itu berdasarkan nash yang khafi/samar.
Sedangkan ulama yang lain dari kalangan mutakallimin berpendapat bahwa beliau
terpilih dengan proses pemilihan. Para ulama golongan pertama berdalil dengan
hadits yang terdapat di dalam shahih Bukhari dari Jubair bin Muth’im tentang
kisah seorang perempuan yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kemudian beliau menyuruhnya untuk pulang. Maka perempuan itu pun mengatakan
kepada beliau, “Bagaimana kalau saya tidak dapat berjumpa dengan anda lagi ?”
Seolah-olah yang dimaksudkannya adalah wafatnya beliau. Maka beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Apabila engkau tidak menemuiku maka temuilah
Abu Bakar.” Begitu pula dalil lainnya yang terdapat di dalam Shahihain dari
hadits ‘Aisyah radhiyallahu’anha yang mengisahkan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Panggilkan Abdurrahman bin Abu Bakar
untukku, aku akan suruh dia untuk menulis sebuah ketetapan, niscaya tidak akan
ada perselisihan terhadap ketetapanku.” Kemudian beliau mengatakan, “Allah lah
tempat berlindung, jangan sampai umat Islam menyelisihi Abu Bakar.” Selain itu
terdapat juga dalil lainnya seperti pengutamaan beliau sebagai imam apabila
Rasulullah tidak bisa menjadi imam, dsb. (lihat Al Is’aad, hal. 71)
Kekhalifahan Abu Bakar berlangsung selama dua tahun tiga
bulan dan sembilan hari. Semenjak 13 Rabi’ul Awwal 11 hijriyah hingga 22
Jumadil akhir tahun 13 hijriyah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
rahimahullah berkata, “Sahabat yang paling berhak menjadi khilafah sesudah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakar radhiyallahu’anhu karena beliau
adalah sahabat paling utama dan paling terdepan dalam hal jasanya kepada Islam.
Dan juga karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutamakan beliau
sebagai imam shalat (apabila beliau berhalangan). Dan juga karena para sahabat
radhiyallahu’anhum telah sepakat untuk mendahulukannya dan memba’iatnya,
sedangkan Allah tidak akan pernah mengumpulkan mereka dalam kesesatan. Kemudian
orang yang paling berhak sesudah beliau adalah ‘Umar radhiyallahu’anhu, karena
dia adalah orang paling utama sesudah Abu Bakar, dan juga karena Abu Bakar
telah berjanji untuk melimpahkan kekhilafahan kepadanya. Kemudian diikuti oleh
‘Utsman radhiyallahu’anhu dengan dasar keutamannya dan keputusan ahlu syura untuk
mendahulukan beliau, yaitu orang-orang yang disebutkan dalam sebuah bait sya’ir
:
‘Ali, ‘Utsman, Sa’ad dan Thalhah Zubair dan Dzu ‘Auf, mereka itulah para tokoh yang bermusawarah.
‘Ali, ‘Utsman, Sa’ad dan Thalhah Zubair dan Dzu ‘Auf, mereka itulah para tokoh yang bermusawarah.
Kemudian diikuti oleh Ali radhiyallahu’anhu karena keutamaan
yang beliau miliki dan kesepakatan para sahabat yang ada di masanya. Keempat
orang itulah khulafaur rasyidun yang telah mendapatkan anugerah hidayah yang
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang mereka, “Wajib bagi
kalian untuk mengikuti Sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan
hidayah sesudahku, gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian.” (Syarah
Lum’atul I’tiqad, hal. 142-143)
II.
Khalifah ‘Umar bin Al Khaththab
radhiyallahu’anhu
Nama beliau adalah Abu Hafsh. Kuniyah Abu Hafsh ini didapatkan
beliau dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena Nabi melihat sifat tegas
yang dimilikinya. Abu Hafsh adalah julukan bagi singa. Beliau adalah orang
pertama yang dijuluki sebagai Amirul Mukminin secara luas oleh umat. Beliau
juga dijuluki dengan Al Faruq, karena sikap beliau yang sangat tegas dalam
memisahkan kebenaran dari kebatilan. Dialah sahabat pertama yang berani
berterus terang memeluk Islam. Dengan keislamannya inilah dakwah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin bertambah kuat. Masuk Islamnya Umar
merupakan bukti dikabulkannya do’a beliau, “Ya Allah, muliakanlah Islam dengan
salah satu di antara dua Umar yang lebih Kau cintai; Umar bin Khaththab atau
Amr bin Hisyam/Abu Jahal.” (lihat Fawa’id Dzahabiyah, hal. 10)
Beliau berasal dari suku Adi bin Ka’ab bin Lu’ai. Beliau
masuk Islam pada tahun keenam setelah Nabi diutus (bukan 6 hijriyah,
sebagaimana tercantum dalam kitab Al Is’aad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad, hal.
71, mungkin penulis lupa atau bisa jadi salah cetak, wallahu a’lam). Beliau
masuk Islam setelah sekitar 40 orang sahabat lelaki dan 11 wanita telah masuk
Islam sebelumnya mendahului beliau. Abu Bakar menyerahkan urusan kekhalifahan
untuk mengatur umat Islam kepada beliau. Beliau pun menunaikan tugas khalifah
dengan baik hingga akhirnya mati syahid terbunuh pada bulan Dzulhijjah tahun 23
hijriyah dengan usia 63 tahun (lihat Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Utsaimin,
hal. 141) Kekhalifahan beliau berlangsung selama 10 tahun, 6 bulan lebih 3
hari. Semenjak tanggal 23 Jumadil Akhir 13 hijriyah hingga 26 Dzulhijjah tahun
23 hijriyah (Al Is’aad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad, hal. 71, Syarah Lum’ah, hal.
143)
III.
Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan
radhiyallahu’anhu
Kuniyah beliau adalah Abu Abdillah. Sang pemilik dua cahaya.
‘Utsman bin ‘Affan. Beliau berasal dari suku Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu
Manaf. Beliau masuk Islam sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke
Darul Arqam. Beliau adalah seorang yang kaya. Beliau menjabat sebagai khalifah
sesudah ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu’anhuma berdasarkan kesepakatan ahlu
syura. Beliau terus menjabat khalifah hingga terbunuh sebagai syahid pada bulan
Dzulhijah tahun 35 hijriyah dalam usia 90 tahun menurut salah satu pendapat
ulama. (lihat Syarah Lum’ah, hal. 141)
Salah satu prinsip yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal
Jama’ah adalah barangsiapa yang mendahulukan Ali bin Abi Thalib di atas ‘Utsman
dalam hal keutamaan maka dia adalah orang yang melontarkan ucapan yang jelek
dan apabila ada orang yang menilainya (orang yang berkata jelek itu) sebagai
ahli bid’ah maka tidak boleh diingkari, inilah madzhab Imam Ahmad bin Hambal
sebagaimana diterangkan dalam As Sunnah karya Al Khalaal. Dan apabila ada yang
mendahulukan ‘Ali di atas Utsman dalam hal hak menjabat khilafah maka dia telah
sesat, bahkan lebih sesat daripada keledai tunggangannya, sebagaimana dikatakan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Kekhalifahan beliau berlangsung
selama 12 tahun kurang 12 hari, beliau wafat dalam keadaan mati syahid pada
tanggal 18 Dzulhijah tahun 35 hijriyah (lihat Al Is’aad, hal. 71-72)
IV.
Khalifah Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu’anhu
Kuniyah beliau adalah Abul Hasan. Putera paman Rasulullah
Abu Thalib. Beliau juga dijuluki dengan Abu Turab oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Beliau adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan remaja.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan kepadanya bendera jihad
pada saat perang Khaibar yang dengan perantara perjuangannyalah Allah
memenangkan umat Islam dalam pertempuran. Beliau dibai’at sebagai khalifah
setelah khalifah ‘Utsman terbunuh. Beliau menjadi khalifah secara syar’i hingga
wafat dalam keadaan mati syahid pada bulan Ramadhan tahun 40 hijriyah dalam
usia 63 tahun. Kehalifahan Ali berlangsung selama 4 tahun 9 bulan, sejak 19
Dzulhijah tahun 35 hijriyah hingga 19 Ramadhan tahun 40 hijriyah. Dengan
demikian kehalifahan empat orang khalifah ini berlangsung selama 29 tahun 6
bulan dan 4 hari. Kemudian Al Hasan bin Ali dibai’at menjadi khalifah setelah
wafatnya ayahnya. Kemudian pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 41 hijriyah beliau
menyerahkan urusan kekhalifahan kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan
radhiyallahu’anhuma (dan kemudian Mu’awiyah menjadi raja pertama dalam sejarah
perjalanan pemerintahan Islam) sehingga genaplah usia khilafah menjadi 30
tahun, membuktikan kebenaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Kekhalifahan sesudahku berlangsung selama 30 tahun (HR. Ahmad, Abu Dawud dan
Tirmidzi dan dinilai hasan sanadnya oleh Al Albani) Peristiwa itu juga
membuktikan kebenaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya
cucuku ini adalah pemimpin yang akan mendamaikan dua kelompok besar umat Islam
yang bertikai.” (HR. Bukhari) Oleh sebab itulah tahun 41 hijriyah disebut
sebagai ‘Aamul Jama’ah (tahun persatuan) (lihat Syarah Lum’ah, hal. 141 dan
143, Al Is’aad, hal. 72
Tidak ada komentar:
Posting Komentar