Coretan
Mahasiswa : Menakar Kemerdekaan
Angka delapan cukup untuk membuat bangsa
ini berfikir ketika melihatnya. 1928 terjadi gerakan serentak pemuda dari
seluruh penjuru nusantara dalam rangka realisasi wacana sebuah Negara merdeka
bernama Indonesia, kemudian dibulan delapan tahun 1945 tepat pada
tanggal 17 secara konstitusi berdirilah sebuah negara yang diidamkan-idamkan
(Indonesia), tahun 1998 mahasiswa kembali bergerak dengan dibantu oleh buruh
dalam rangka meraih reformasi dari tangan orde baru.
Sebelum ketiga sub bahasan diatas, mari kita merenungkan
sebuah pesan bijak yang berbunyi “kelompok
yang berbeda bisa kompak kalau ada musuh bersama” Tahun 1928 para pemuda mengucapkan sumpah
pemuda dengan satu tujuan yakni meraih kemerdekaan dari Belanda. Pada waktu
itu, tentu musuhnya adalah Belanda. 1945 seluruh penduduk Indonesia merayakan (meski tidak merasakan) kemerdekaannya
dengan suka cita, masih dengan musuh bersama yakni Belanda dan ditambah Jepang.
Lalu, 1998 saat terjadi krisis ekonomi di Indonesia mahasiswa dan buruh
berontak kepada pemerintah Orde Baru sampai tergulinglah kursi Soeharto,
dizaman itu Orde Baru menjadi kambing hitamnya.
Ketiga contoh sejarah tersebut memiliki ceritanya
sendiri, namun secara garis besar kita bisa memahami bahwa bangsa akan mau bergerak
apa bila musuhnya itu nyata secara Dzahir
dan Bathin (maksudnya bathin adalah
penjajahan ide dan mental). Hari ini, musuh tersebut berenkarnasi kedalam bentuk yang baru (baru kita pahami).
Mengenai musuh yang berenkarnasi ini sebenarnya sudah
dijelaskan di masa-masa awal penyebaran Islam, yakni ketika Sang Nabi berpesan
kepada para sahabat setelah kemenangan perang. Yang inti pesan tersebut adalah
agar para sahabat lebih berhati-hati terhadap musuh yang sebenarnya , yaitu
diri kita sendiri (nafsu).
Hari ini -setelah reformasi kita raih, setelah demokrasi
kita terapkan, dan setelah lebih dari empat elas abad pesan ini disampaikan
(oleh rasulullah)- kita baru merasakannya kembali. Bahwa tantangan terbesar
kita berada pada diri sendiri, yang dalam bahasa lebih luas tantangan tersebut
berada pada organisasi atau partai kita sendiri. Manakala mahasiswa tidak bisa
lagi berperang dengan nyata sebab yang membuat kebijakan adalah seniorannya,
buruh tidak lagi bicara politik sebab untuk makan saja sangat sulit, pedagang
tidak lagi bermusyawarah ketika harga daging mahal disebabkan dirumah telah
datang petugas inpor yang menghantarkan uang tutup mulut.
Maka benar apa kata Nabi Muhammad SAW, musuh sebenarnya
itu sangat berbahaya. Yang berasal dari diri kita, keluarga kita, atau orang kita
adalah sebuah yang sangat membahayakan. Namun, apa bila kita bisa menanganinya
pasti itu menjadi senjata ampuh dalam memenangkan percaturan duniawi ini.
Sejatinya, inilah ujian sebenarnya pada zaman reformasi
ini atau zaman demokrasi muda kita. Akan tetapi tidak hanya sampai disitu,
keterpurukan Indonesia saat ini juga datang dari pintu yang lain. Misalnya 350
tahun Belanda juga menjajah kita secara ide, sekarang budaya kita dirasuki
roh-roh dari hantu Hollywood, Bollywood, Korean Style dan baru ini senetron
Turki. Dari segi ekonomi telah datang dihadapan kita pasar bebas atas nama MEA,
dari segi pertahanan negara senjata kita telah diketahui oleh asing sebab
mereka yang membuatnya untuk kita
(beberapa hal saja), dari segi pendidikanpun ternyata sistem pendidikan di
Indonesia sangat jauh tertinggal dengan Firlandia (negara dengan sistem
pendidikan terbaik didunia) ditambah pendidikan ditempat kita malah
dikatagorikan jenis bisnis.
Dari manakah itu semua ? tentu tak lain adalah berasal
dari budaya rakyat kita yang telah berusia 70 tahun ini. Sebagai mahasiswa,
dizaman ini kita berada di Zona Aman. Dimana penderitaan dan kesengraan seolah
stimulus tak berarti untuk membuat sebuah gerakan pembaharuan. Mungkinkah dosis
pederitaan kita selama ini justru menjadi antibiotik bagi mahasiswa, sehingga
mereka antipati terhadap kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Wajar kalau
mereka kemudian berfikir kuliah hanya untuk kerja saja, masalah kerja “apapun”
tidak ada hubungannya dengan kuliahnya.
Lalu, inikah yang diinginkan oleh orangtua kita ? bahwa
kuliah itu untuk dapat pekerjaan yang lebih baik dan bisa hidup lebih layak
darinya ? kalau jawabannya adalah “Ya”. Maka jangan heran banyak sarjana kita
minta bayaran ketika membuatkan surat kerangan miskin dikelurahan, minta
dispensasi sepihak untuk tanah warga yang terkena proyek pembangunan jalan
umum, membayar kepala sekolah hanya agar nilai bagus bagi anaknya yang masih TK,
korupsi waktu saat rapat dan lain sebagainya.
PENULIS |
Setelah 70 tahun Indonesia merdeka, mari saatnya kita
bicara tentang prestasi dan kemajuan disegala bidang. Bukannya justru mendengarkan
pidato 17-an dengan tema “membangun
masyarakat yang sejahreta” layaknya pidato di tahun-tahun pertama merdeka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar