Elang Jawa, Sang Garuda Indonesia
Garuda wishnu kencana adalah kendaraan (wahana) dewa wishnu.
Berukuran besar, berwarna emas, serta bertubuh manusia yang memiliki
paruh, sayap, dan cakar mirip elang. Dialah yang menjadi ide dasar
lambang negara Indonesia: Burung Garuda Pancasila.
Hal itu terlihat dari gambar rancangan awal lambang Negara Republik
Indonesia yang diajukan oleh Sultan Hamid II pada tahun 1950 kepada
presiden Soekarno. Kemudian, atas protes partai Masyumi yang menganggap
gambar bahu dan tangan manusia memegang perisai sangat berbau mitologi,
rancangan tersebut direvisi. Menjadi seluruhnya bertubuh burung yang
mengalungi perisai pancasila serta kakinya mencengkeram pita bertulisan
Bhinneka Tunggal Ika.
Tetapi baru pada 20 maret 1950 bentuk garuda pancasila dibuat menjadi
seperti sekarang. Kepala burungnya berjambul dan cengkeraman cakar pada
kakinya menjadi menghadap kedepan pita.
Lalu burung apakah yang pantas untuk di sematkan sebagai jelmaan garuda pancasila di alam nyata?
Untuk menjawab hal tersebut, kita harus mengamati bentuk lambang
garuda pancasila baik-baik. Lalu menyusun kriterianya. Seperti bertubuh
besar, berjambul tegas, bentangan sayap membulat, tungkai kaki bersisik
(bukan berbulu), serta endemik Indonesia. Kemudian kita juga harus
mengesampingkan beberapa hal. Seperti kalung perisai di dada, pita pada
cakar, serta jumlah bulu yang banyaknya sesuai dengan hari kemerdekaan
Republik Indonesia.
Status endemik Indonesia atau hanya ada di Indonesia, menurut saya
merupakan hal yang sangat penting. Sebab sang burung akan
merepresentasikan lambang negara. Sehingga tidak bernasib seperti burung
elang bondol (Haliastur indus) yang telah dianggap sebagai
jelmaan garuda oleh bangsa India. Padahal elang tersebut tidak hanya ada
di India saja, tetapi persebarannya mencapai seluruh Asia tenggara,
Cina, hingga ke Australia.
Setelah jelas kriterianya maka tiba saatnya kita mulai menelusuri.
Pertama, dari keterangan di atas tentang bentuk paruh, sayap, dan cakar
sudah jelas bahwa ia merupakan burung dari kelompok burung pemangsa
(raptor). Lalu jika melihat sorot matanya yang begitu tajam jelas
bukanlah sorot mata burung hantu tetapi lebih ke jenis burung elang.
Sebab sorot mata burung hantu cenderung lebih membelakak. Sehingga
meskipun burung hantu juga termasuk raptor yang memiliki paruh dan
bentangan sayap yang lebar, ia tidak cukup sesuai dengan gambaran burung
garuda pancasila.
Di Indonesia terdapat 70 jenis raptor diurnal/aktif disiang hari
(elang, alap-alap, rajawali). Satu spesies yang paling besar ukuran
tubuhnya adalah Rajawali ekor baji (Aquila audax). Dengan
panjang tubuh 80 - 104 cm dan bentangan sayap mencapai 186 - 227 cm (2 m
lebih), ia sungguh pas dengan gambaran mitologi garuda. Dimana
disebutkan “Tubuhnya begitu besar sehingga mampu menghalangi sinar
matahari”.
Sayangnya bentangan sayap burung rajawali ekor baji tidak membulat.
Ia juga tidak berjambul, tungkai kakinya penuh dengan bulu, serta secara
global burung ini juga bisa ditemukan di benua Australia. Meskipun
dalam skala nasional hanya bisa ditemukan di Papua. Sehingga ia hanya
memenuhi 1 dari 5 kriteria yang ada.
Spesies raptor yang bertubuh sedang (50 cm) dan memiliki bentangan
sayap lebar dan membulat ketika terbang adalah elang ular bido (Spilornis cheela).
Bahkan jika kriteria sayap yang membulat adalah poin utama maka elang
ular bido adalah kandidat terbaik. Apalagi tungkai kakinya bersisik
dengan warna kuning cerah. Hal yang memberatkannya adalah persebaran
yang luas mencapai seluruh Asia tenggara hingga ke India dan China. Hal
lainnya, meskipun ia memiliki jambul tetapi hanya pendek saja, sehingga
tidak terlalu terlihat tegas seperti burung garuda pancasila.
Elang berjambul
Dari 70 jenis raptor yang bisa ditemui di Indonesia, yang memiliki jambul hanya ada 11 species. Yaitu elang alap jambul (Accipiter trivirgatus), elang wallace (Nisaetus nanus), elang gunung (Nisaetus alboniger), elang jawa (Nisaetus bartelsi), elang flores (Nisaetus floris), elang brontok (Nisaetus cirrhatus), elang perut karat (Hieraetus kienerii), elang ular bido (Spilornis cheela), elang alap kepala kelabu (Accipiter griceiceps), elang ular kinabalu (Spilornis kinabaluensis), dan elang baza pacific (Aviceda subcristata).
Dari jumlah itu, yang ukuran rata-rata tubuhnya besar (lebih dari 50
cm) hanya ada 5 jenis saja. Yaitu elang gunung 52 cm, elang jawa 60 cm,
elang flores 55 cm, elang brontok 70 cm dan elang ular kinabalu 55 cm.
Tetapi jika dilihat dari tinggi dan tegasnya jambul, yang masuk dalam
kriteria adalah elang wallace, elang gunung, elang jawa, elang flores
dan elang baza pacific. Kemudian jika kedua kriteria itu digabungkan,
maka hanya tinggal tersisa elang gunung dan elang jawa saja.
Sayangnya, kedua elang tersebut termasuk dalam genus Nisaetus. Dimana
salah satu ciri genus yang juga biasa disebut Spizaetus itu, memiliki
bulu pada seluruh permukaan kakinya, termasuk tungkai. Sedangkan jika
mengamati kaki pada burung garuda pancasila, tungkainya tidak dipenuhi
bulu. Melainkan bersisik. Padahal dari sisi bentangan sayap yang
membulat mereka juga cukup memenuhi syarat. Meskipun tentu saja tidak
sebulat bentangan sayap elang ular bido.
Kemudian jika dilihat dari segi endemisitas, ternyata hanya elang
jawa-lah yang memenuhi kriteria tersebut. Sebab di seluruh dunia, burung
elang jawa hanya bisa ditemukan hidup bebas liar hingga berkembang biak
di hutan-hutan primer pulau jawa. Mulai dari wilayah dekat pantai Ujung
Kulon dan Meru Betiri, hingga ke hutan di gunung-gunung pulau Jawa.
Dimana ketinggiannya bisa mencapai 2200 - 3000 mdpl.
Sedangkan Elang gunung, tidak termasuk endemik Indonesia. Sebab
meskipun dalam skala nasional hanya bisa ditemukan di pulau Sumatera dan
Kalimantan, ia juga bisa ditemukan di semenanjung Malaysia. Sehingga
selain kurang cocok untuk mewakili Indonesia, ia juga memungkinkan
terjadinya konflik saling klaim yang tidak perlu di masa mendatang.
Maka dapat disimpulkan dari kriteria ukuran tubuh besar, berjambul
tegas, bentangan sayap membulat, tungkai kaki bersisik dan endemik
Indonesia, terlihat jelas bahwa hanya elang jawa yang mampu memenuhi 4
dari 5 kriteria. Sehingga burung elang jawa sangat layak untuk
disematkan sebagai jelmaan burung garuda pancasila. Tidak heran jika
pada tahun 1993 elang jawa diputuskan sebagai satwa nasional bersama
komodo dan ikan arwana merah oleh presiden Soeharto.
Hanya saja ada satu hal yang patut disayangkan. Semenjak keluar
keputusan presiden tersebut, harga sang jelmaan burung garuda di
Indonesia itu semakin meningkat di pasar gelap. Sehingga tingkat
perburuan di alam pun semakin tinggi dan membuat populasinya menurun
drastis.
Kini burung yang jika bertelur hanya satu butir dalam setahun itu,
diperkirakan hanya tersisa 100 - 200 pasang saja. Sehingga ia termasuk
dalam kategori endangered species
pada daftar kepunahan yang dikeluarkan oleh IUCN (The International
Union for Conservation of Nature). Untuk itulah diperlukan segenap usaha
terpadu dari banyak lapisan masyarakat agar keberlangsungan hidup
burung garuda Indonesia bisa tetap lestari. Sehingga kita tetap bisa
terus berbesar hati ketika bernyanyi:
Garuda di dadaku
Garuda kebanggaanku
Kuyakin hari ini
Pasti menang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar