Oleh Hariyawan Agung Wahyudi*
Sosok Garuda berasal dari tokoh imajiner dalam kitab Mahabarata,
putra dari Begawan Kasyapa dan Sang Winata. Tokoh ini sering diwujudkan
menjadi kendaraan Dewa Wishnu. Namun, dalam kehidupan nyata banyak orang
meyakini bahwa Garuda adalah sosok nyata yang berwujud burung Elang. Di
Pulau Jawa sendiri, di berbagai tempat orang meyakini bahwa Elang Jawa
adalah sang Garuda itu sendiri.
Pemerintah sendiri menetapkan Elang Jawa sebagai simbol resmi negara
pada 1950, dan menetapkan sebagai satwa nasional karena kemiripannya
dengan Garuda dengan Keppres No.4/1993.
Burung pemangsa endemik Pulau Jawa ini memiliki nama ilmiah Nisaetus bartelsi.
Panjang tubuh dari paruh sampai ekor berkisar antara 60 – 70 cm.
Tubuhnya didominasi oleh warna kuning kecoklatan pucat dengan
coret-coret hitam menyebar di atasnya. Kepala berwarna coklat kemerahan
dengan jambul tinggi menonjol. Jambul yang terdiri atas 2 – 4 helai bulu
ini menjadi ciri khas utama yang membedakan elang jawa dengan kerabat
terdekatnya. Bulu pada kaki menutupi tungkai hingga dekat pangkal jari,
yang merupakan ciri pembeda marga Nisaetus dengan marga lainnya. Elang
Jawa betina berukuran relatif lebih besar dengan elang jawa jantan.
Sebagai burung endemik Pulau Jawa, ini berarti bahwa kelestariannya
bergantung pada habitat alami hutan di pulau terpadat di Indonesia ini.
Elang Jawa hidup di habitat hutan hujan tropis dari ketinggian 0 – 2000 m
dpl. Namun dalam dasawarsa terakhir, catatan perjumpaan dengan satwa
kharismatik ini paling sering terjadi pada ketinggian 500 – 1000 m dpl.
Dalam penelitian Syartinilia dan kawan-kawan pada tahun 2010,
diperkirakan hanya tersisa 325 pasang saja Elang Jawa yang tersisa.
Zaini Rakhman dalam bukunya yang berjudul “Garuda Mitos dan Faktanya
di Indonesia”, menyebutkan bahwa keberadaan Elang Jawa hanya tersisa di
puncak-puncak gunung atau dataran tinggi saja. Hal ini dinilainya sangat
beresiko tinggi karena di daerah tersebut keberadaan pakan atau
mangsanya sangat terbatas.
Mangsa utama Elang Jawa sendiri adalah tikus lokal yang hidup di Pulau Jawa yaitu jenis Sundamys maxy. Tragisnya, status tikus yang juga dikenal dengan Bartels’ rat
anak dari penemu Elang Jawa, dinyatakan terancam punah oleh IUCN.
Selain tikus sebagai makanan utama, Elang Jawa juga memburu mamalia
kecil seperti tupai, musang sampai dengan anakan monyet ekor panjang.
Dari jenis santapannya tersebut membuat Elang Jawa menjadi top predator
dalam rantai makanan alami. Maka menjadi penting keberadaaan burung
pemangsa tersebut karena mempunyai fungsi ekologis sebagai penjaga agar
populasi tikus dan ular tidak meledak di alam.
Jenis mangsa Elang Jawa di atas lebih banyak menempati kawasan hutan
dengan pepohonan tinggi yang selalu hijau. Rata-rata ketinggian pohon
antara 40-50 meter. Elang Jawa memilih pohon-pohon tinggi diduga karena
untuk pemeliharaan dan perlindungan anaknya dari pemangsa lain.
Ketergantungan semacam inilah yang membuat Elang Jawa sulit dijumpai di
habitat hutan yang terbuka. Fragmentasi hutan juga membuat Elang ini
sulit bertahan hidup. Jarang sekali ditemui Elang Jawa berburu di daerah
terbuka untuk memangsa ular atau jenis reptil lainnya.
Keadaan ini semakin mengkhawatirkan dengan tingginya perburuan dan
perdagangan ilegal yang semakin meningkat. Padahal, sepasang elang jawa
hanya bertelur satu butir saja dalam periode 2-3 tahun. Tentu saja,
tanpa ada tindakan hukum yang tegas terhadap perburuan dan perdagangan
satwa dilindungi ini, kepunahan garuda dari tanah Jawa merupakan hal
yang mungkin terjadi dalam waktu dekat.***
Penulis adalah penggiat konservasi spesies dan pendiri komunitas Biodiversity Society di Banyumas, Jawa Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar