Konflik perebutan
kekuasaan yang terjadi antara keluarga kesultanan Banjar menyebabkan berbagai
masalah, diantaranya lembaga kekuasaan kerajaan hampir tidak lagi berfungsi.
Lebih-lebih setelah Belanda ikut dalam urusan kesultanan Banjar. Kedatangan
Belanda merubah ekonomi, politik, dan sosial.
Sisi lain, dalam hal
ekonomi, kebutuhan para penguasa kerajaan ( Kesultanan ) bertambah besar untuk
mensejajarkan tingkat hidup mereka dengan orang-orang asing, sedangkan
penghasilan mereka semakin sedikit, bahkan sangat berkurang. Langkah
satu-satunya ialah adalah meningkatkan pajak dua kali lipat, untuk melingdungi
status mereka di mata rakyat.
Cara demikian
mengakibatkan munculnya peraturan sosial dan politik menjadi timpang, serta
sangat memberatkan rakyat yang hanya mayoritas bertani dan pedangan kecil.
Kepincangan ini mengakibatkan mereka ( Kesultanan Banjar ) dianggap telah
melanggar nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat Banjar.
Keadaan ini pulalah yang menumbuhkan perlawanan rakyat terhadap Belanda, juga
kepada Sultanan Banjar.
------------------
Pangeran Hidayatullah - Foto Net |
Rumah kesultanan tampak
sepi, karena ini adalah waktu sholat magrib dan orang-orang berbondong-bondong
menuju langgar untuk melaksanakan sholat Magrib. Gusti Mat Said, putera
Pangeran Antasari menyelinap diam-diam masuk ke kediaman Mangkubumi Kesultanan,
yakni Pangeran Hidayatullah. Dalam rumah Gusti Mat Said bertemu keponakannya,
yakni puteri Pangeran Hidayatullah yang bernama Bintang. “ eh Bulan “. Sapa Mat Said. “
Bukan, paman, saya Bintang, bukan Bulan. Sahut Bintang.
Bulan adalah saudarinya
Bintang. Bulan kini sudah pindah mengikuti suaminya Pangeran Amir di Martapura.
Sebenarnya pernikahan Bulan dengan Amir ini sangat tidak disetujui oleh ayahnya
Hidayatullah, juga saudaranya Bintang. Meraka hanya melihat pernikahan ini
hanyalah keterpaksaan Sultan Tamjid ( ayahnya Amir ) yang didesak oleh pihak
Belanda. Pihak Belanda menilai pernikahan Bulan dengan Amir putera dari Sultan
Tamjid akan bisa meredam pemberontakan rakyat yang tidak suka dengan Sultan
Tamjid, sehingga posisi Belanda pun akan sedikit aman. Sultan Tamjid sangat
tidak disukai oleh rakyat, hanya karena kekuasaan ia rela mengabdikan diri dan
kesultanan kepada Belanda.
Kedatangan Mat Said
bermaksud untuk bertemu dengan Pangeran Hidayatullah, namun belum pulang dari
langgar, lalu ia berbincang banyak dengan Bulan. “ Banjarmasin seperti sebuah pulau penjara, di mana jiwa-jiwa kita
disekap macam penjahat-penjahat besar “. Bulan mengatakan apa yang ia
rasakan kepada pamannya Mat Said, dia sadar betul posisinya sebagai keluarga
kesultanan mereka sudah tidak lagi disukai oleh rakyat, dianggap penjahat oleh
rakyat, seperti halnya penjajah. Padahal apa yang terjadi di sini mereka juga
tidak bisa melakukan apa-apa, selain semena-menanya Sultan Tamjid, juga
kekuasaan Belanda yang teramat kokoh menguasi tindak-tanduk kesultanan Banjar.
Datanglah Pangeran
Hidayatullah dengan sejadah yang disendangkan di bahu beliau. Meraka bersalaman
dan saling menanyakan keadaan sekarang dan Hidayatullah bertanya “ Bagaimana
kau bisa kemari ?”. Lalu dijawab oleh Mat Said “ kami menyamar “. Hidayatullah
menyahut “ kami ?, maksudmu kamu tidak sendiri, terus dengan siapa ?”. Ternyata
Mat Said datang bersama dengan ayahnya, Pangeran Antasari yang menunggu di
tempat lain. Lalu Hidayatullah menyuruh Mat said untuk memanggil ayahnya dan
Mat Said pergi menjemput ayahnya.
Pangeran Antasari - foto Net |
Setibanya Pangeran
Antasari di rumah, lalu Mat Said berjaga berjaga di luar. Dan di rumah Pangeran
Antasari dan Pangeran Hidayaullah bertemu dan berbincang. “ Alhamdulillah kita bisa bertemu, semoga kita pula selamat hingga
pertemuan nanti “. Ucap Hidayatullah. “
Iya, selamat dari rasa takut, putus asa dan penindasan. Dan selamat yang ku
maksud bukan semata-mata untuk kita berdua dan keluarga kita, tetapi selamat
bagi semua rakyat yang menggantungkan harapannya kepada perbincangan kita ini.
Sahut Antasari.
Dari perbincangan
mereka sangat jelas bahwa Pangeran Antasari mengajak Pengeran Hidayullah untuk
ikut berjuang bersama dia dan rakyat untuk melawan penjajahan. Hidayatullah
tampak sangat kebingungan dengan ajakan tersebut, satu sisi dia memang merasa
harus memihak kepada rakyat yang sangat ia cintai, namun di sisi lain dia sudah
sangat putus asa dengan pertumpahan darah selama ini, korban-korban yang anggap
pemberontak oleh penjajah sudah sangat banyak, Hidayatullah tak ingin ada lagi
banyak korban. “ Berarti ini adalah
pembertontakn besar-besaran ?”. Tanya Hidayatullah. “ pemberontakan adalah bahasa yang dipergunakan oleh Belanda. Ini bukan
pemberontakan!, karena Belanda sama sekali tidak penah kita anggap sebagai
pemerintah yang sah. Mereka penjajah, ini adalah perang !, perang mengusir
penjajah asing !”. Antasari menjawab dengan tegas.
Tidak bisa disangkal
bahwa Hidayatullah begitu sangat mencintai rakyat dan kesultanan Banjar ini.
Begitu juga rakyat kepada Hidayatullah. Sehingga banyak pula rakyat yang masih
menggantungkan harapan-harapannya kepada Hidayatullah. Dia merasa benci dan
jemu melihat pertumpahan darah yang sia-sia, sudah cukup baginya pengorbanan
rakyat untuk kesultanan Banjar, sehingga ia tak lagi ingin melihat pertumpahan
darah lagi. Sebab itulah pula dia mau diangkat menjadi Mankubumi Kesultanan
oleh Belanda.
Pangeran Antasari tetap
kukuh mengajak Hidayatullah untuk ikut berjuang melawan Belanda, dengan alasan
bahwa Pangeran Hidayatullahlah yang berhak atas waris kesultanan Banjar selama
ini, bukan Sultan Tamjid. “ Kita banyak
mengaji mengetahui benar dengan Firman Allah: Bahwa Allah Swt tidak akan
mengubah nasib kita, jika kita sendiri tidak berusaha untuk mengubahkan”.
Tutur Antasari kepada Hidayatullah.
Hingga pada
perbincangan bahwa seluruh pasukan rakyat sudah siap untuk menyerang Pangeran
Hidayatullah berpikir bahwa peperangan ini sangat tidak bisa dia redam sama
sekali apa lagi setelah mendengar bahwa Pasukan Tumenggung Surapati dari
Batiro, Demang Lehman, Temenggung Antaluddin, Haji Buyasin dan Jalil dari Banua
Lima serta dengan pasukan tambahan dari Datu Aling dari Muning sungguh sangat
mengejutkan Hidayatullah.
Antasari menjelaskan
bahwa tugas Hidayatullah adalah memberikan muslihat kepada Sultan Tamjid dan
Belanda. Hidayatullah sebagai mangkubimi seakan-akan menjadi peredam perlawanan
rakyat terhadap Belanda. Padahal dibalik itu Hidayatullah akan merancang
strategi untuk kemenagan rakyat dengan cara memata-matai dan mengelabui Belanda
seakan-akan tidak akan ada perlawan dari rakyat.
Tak lama kemudian Mat
Said masuk ke dalam rumah dan mengabarkan bahwa Sultan Tamjib menuju ke rumah
Hidayatullah dengan pengawalnya. Mendengar hal itu Antasari tak sama sekali
takut, Hidayatullah membujuknya agar pergi dari rumahnya agar terhindar dari
Penangkapan Sultan jika dia melihat Pangeran Antasari berada di rumah
Hidayatullah. Malah dia mengatakan “
Pantang bagiku untuk lagi “. Pada akhirnya Hidayatullah mengatakan agar
Pangeran Antasari segera pergi dari tempatnya “ jangan biarkan rakyat Banjar kehilangan pemimpinnya besarnya sebelum
mereka sempat menyalakan meriam pertama mereka “. Mendengar hal itu
Antasari menyimpulkan kini Hidayatullah berada dalam barisan pejuang Banjar
bersama dengan dia. Dengan perasaan lega Antasari serta anaknya pun beranjak
pergi sebelum tiba Sultan di rumah Mangkubumi.
Setibanya Sultan di
rumah, “ kau mabuk ?”, tanya
Hidayatillah. “ iya aku habis minum, tapi belum mabuk, kau sudah tau aku terkenang
pemabuk, awalnya dapat gelar Pengeran Pemabuk, lalu Mangkubumi Pemabuk, lalu
Sultan Muda pemabuk, hingga ada akhirnya Seri Paduka Sultan Tamjidillah
Pemabuk, itulah aku. Kau tau kenapa aku suka mabuk ?, dengan mabuk aku bisa
melupakan semuanya, mabuk adalah teman setia dan tercintaku “. Kata Sultan
Tamjid.
Sultan Tamjid dengan
suara terbata-bata karena mabuk berbicara dengan Mangkubumi tentang banyaknya
pasukan rakyat Banjar yang bergabung dengan pasukan Antasari untuk
menggulingkannya. “ orang macam apa Aling
dan Antasari itu kalau bukan pemabuk atau orang gila “. Ucap Sultan. Sultan
menanyakan tentang keberpihakan Hidayat selama ini, apakah dipihak kesultanan
atau dipihak mereka ( Antasari ). Bahkan Sultan menasehati Hidayat bahwa hidup
itu jangan berada di tengah-tengah, kita harus tegas untuk memilih satu pihak.
Dan Tamjid menyarankan agar Hidayat untuk berada dipihaknya karena dianggapnya
sangat menguntungkan bagi Hidayat dan masa depan kesultanan.
Bagi Tamjid selama ini
rakyat juga tidak pernah senang dengan dia, maka lebih baik dia berpihak pada
Belanda. Baginya pula rakyat hanyalah alat dan rakyak sama sekali tidak berarti
tanpa ada Sultan. Karena Sultan ada maka rakyat ada. Tamjid mengatakan bahwa
Belanda kini mulai mencuringai dia, padahal Sultan Tamjid memang benar-benar di
pihak Belanda tetapi masih saja Belanda mencurigai dia, katanya. Dan Hidayat
mengatakan kepada Sultan “ Sekarang kau
menyesal ? karena sebenarnya kaulah yang menjadi alat mereka “. Dengan muka
masam Sultan Menjawab yang masih dalam keadaan mabuk“ Jika ini suatu kenyataan maka sungguh pahit untukku menerima
kenyataan ini “.
Sultan Tamjid juga
mengatakan bahwa Belanda telah meminta bantuan beberapa ratus orang dan puluhan
kapan perang dari Batavia untuk dikirim ke Banjarmasin untuk menangkap Pangeran
Hidayatullah. Awalnya Pangeran Hidayatullah tidak mengubris, dia pikir Sultan
hanya menakut-nakuti dirinya, lagi pula Sultan dalam keadaan mabuk. Hidayat pun
bertanya untuk apa Belanda meminta bantuan sebanyak itu hanya untuk mengakap
dirinya, dia hanya seorang. Sultan menjawab “
mungkin ia memperhitungkan kekuatan-kekuatan yang berdiri di belakangmu”.
“
mengapa kau katakan semua ini, Tamjid “. Tanya Hidayatullah.
Sultan menjawab “ aku tak tau lagi apa
yang harus ku diamkan”. Dalam keadaan hening Sultan berkata lagi dengan muka
acuh tak acuh, pula masih keadaan mabuk “ atau karena aku merasa kasian
padamu!?. Atau karena kau pada suatu ketika mengalami hal serupa ? atau karena
hal-hal yang lain, yang sama sekali tidak ku ketahui!? Huhh ! seharusnya aku tidak
peduli dengan semua ini. Biar langit runtuh, dan kesultanan ini terbenam di
dasar sungai, aku tidak peduli, akkh.. mengapa aku harus peduli dengan semua
ini, sedagkan semuanya juga tidak pernah peduli denganku ? akkh.. sudahlah aku
perg !!”. Sultan pun pergi.
Mendengar apa yang
dikatakan oleh Sultan Tamjid, Pangeran Hidayatullah sangat percaya dengan apa
yang dikatan oleh Sultan Tamjid, bahwa Belanda akan menangkapnya dengan ratusan
pasukan yang telah dimintanya di Batavia. Malam itu juga Pangeran Hidayatullah
bergegas pergi dari rumahnya bersama Bintang puterinya. Puterinya sangat senang
ketika mendengar perkataan ayahnya “ Aku
memikirkan apa yang dikatakan oleh kakekmu Antasari“.
Bahan Bacaan " ANTASARI : SEBUAH NOVELSEJARAH Karya Helius Sjamsuddin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar