ilustrasi - sumber net |
Konflik perebutan
kekuasaan yang terjadi antara keluarga kesultanan Banjar menyebabkan berbagai
masalah, diantaranya lembaga kekuasaan kerajaan hampir tidak lagi berfungsi. Lebih-lebih
setelah Belanda ikut dalam urusan kesultanan Banjar. Kedatangan Belanda merubah
ekonomi, politik, dan sosial.
Sisi lain, dalam hal
ekonomi, kebutuhan para penguasa kerajaan ( Kesultanan ) bertambah besar untuk
mensejajarkan tingkat hidup mereka dengan orang-orang asing, sedangkan
penghasilan mereka semakin sedikit, bahkan sangat berkurang. Langkah satu-satunya
ialah adalah meningkatkan pajak dua kali lipat, untuk melingdungi status mereka
di mata rakyat.
Cara demikian
mengakibatkan munculnya peraturan sosial dan politik menjadi timpang, serta
sangat memberatkan rakyat yang hanya mayoritas bertani dan pedangan kecil. Kepincangan
ini mengakibatkan mereka ( Kesultanan Banjar ) dianggap telah melanggar
nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat Banjar. Keadaan ini
pulalah yang menumbuhkan perlawanan rakyat terhadap Belanda, juga kepada
Sultanan Banjar.
Sambang ialah anak muda
yang gagah perkasa, cekatan dalam bertarung dan di hormati oleh kalangan
masyarakat Muning, Margasari. Dia sangat dihormati kerena dia adalah seorang
anak tokoh masyarakat yang menjadi panutan agama juga sebagai panutan masyarakat
Muning untuk melawan penjajah Belanda. Datu Aling, itulah namanya, seorang
petani yang bisa dikatakan petani yang rajin, ulet, dermawan, berani, dan
berwibawa. Maka dari itu Datu Aling dianggap oleh masyarakat sebagai Tetuha Kampung ( tokoh masyarakat ).
Sepulangnya Datu Aling
dari petapaannya untuk mencari kekuatan, dan pencerahan di hutan dia bertemu
dengan anaknya Sambang di rumah. Sambang sudah satu bulan ke Banjarmasin untuk
memata-matai keadaan di sana atas perintah ayahnya Datu Aling. “ Bagaimana, Banjarmasin atau Martapura
yang akan kita serbu terlebih dahulu ?. tanyanya kepada Sambang.
Sambang pun menerangkan
kepada ayahnya bahwa Banjarmasin sungguh sangat mustahil untuk ditaklukan oleh
ayahnya dan masyarakat Muning, terlebih lagi Belanda juga sudah mendatangkan
banyak meriam dan persenjataan lainnya dari Batavia ke Banjarmasin untuk
memperkokoh pertahanan dan persenjataan. Ketika Datu Aling bertnya tentang
Martapura, Sambang mengatakan bahwa Kesultanan Banjar tidak ada di Martapura,
melainkan di Banjarmasin. “ Dasar
pengecut, rupanya dia selalu berada bawah ketiak tuannya “. Ucap Datu Aling
ketika mendengar bahwa Sultan Tamjid dan keberadaan Kesultanan bukan di
Martapura melainkan di Banjarmasin yang tentunya di bawah perlindungan Belanda.
Datu Aling bertanya
kepada anaknya bagaimana caranya dia agar tidak tertangkap oleh Belanda dan
orang-orang yang memihak kepada Belanda. Padahal setiap orang yang dia utus
selalu saja tertangkap dan dibunuh. Sambang menceritakan dia juga sempat
tertangkap oleh tentara Belanda, namun berhasil lolos dari dibantu oleh
seseorang yang menyelamatkan dirinya. Ayahnya pun sangat senang dan sangat
ingin sekali menjumpai orang yang telah menyelamatkan nyawa anaknya.
“
Ayah, saya dengar ayah akan menobatkan diri sebagai Menembahan ( pemimpin ),
lalu ayah ingin meruntuhkan kekuasaan Kesultanan Tamjid dan setelah itu
menobatkan diri sebagai Sultan Banjar yang baru, apakah itu benar ?”.
Tanya Sambang kepada ayahnya. Dan ayahnya pun mengiyakan semua itu. Betapa terkejutnya
Sambang mendengar hal seperti ini dan kecewa kepada ayahnya. “ Ayah ini adalah puncak dari segala
kegilaan !!”. Ucap Sambang. Bahkan Sambang mengatakan kepada ayahnya, kita tidak lebih dari sepasang orang-orang
gila, gila kehormatan, gila harta, gila kekuasaan. Untuk menggapai kegilaan
tersebut kita akan mengorbankan perlawanan dan perjuangan rakyat hanya untuk
kegiaan ayahnya, yang memang sebenarnya juga membenci Belanda dan Kesultanan Banjar
yang selama ini semena-mena kepada rakyat. Namun kebencian tersebut secara
tidak langsung menumbuhkan rasa nafsu kekuasaan dalam diri Datu Aling.
Sambang banyak
bercerita kepada ayahnya bahwa selama ini dia banyak belajar kepada seseorang
tentang arti sesungguhnya perjuangan ini ( perlawanan kepada penjajah ). Dari dia
Sambang banyak belajar tentang kemerdekaan dan keadilan, serta juga banyak
belajar tentang agama. Sampai pada akhirnya Sambang diajarkan untuk
menghilangkan nafsu-nafsu serakah: nafsu memiliki hak orang lain, nafsu
menguasi hidup, dan kemerdekaan orang lain. Sambang menganggap nafsu serakah
itu kini melekat pada perjuangan ayahnya.
Dia menuturkan kepada
Datu Aling bahwa di seluruh wilayah Kesultanan Banjar ini telah telah menyala
berpuluh-puluh api perlawanan terhadap penjajah, yang mungkin kabar ini tidak
pernah mereka dengar sebelumnya. Perlawanan tersebut ialah untuk kemerdekaan
rakyat terhadap penjajah, bukan untuk nafsu kekuasan atau kepentingan
segelintir saja. Sama seperti halnya perjuangan rakyat Muning hendaklah
mengusung niat sebagai perlawanan kemerdekaan bukan sebagai pengingin tahta
kesultanan. Sambang meyakinkan kepada ayahnya, tak layak jika perjungan ini
hanya untuk kejayaan ayahnya, akan tetapi adalah untuk kebebasan dan
kemerdekaan seluruh rakyat Banjar dari penindasan penjajah dan penguasa yang
mena-mena.
Ketika Sambang meminta
kepada ayahnya untuk bergabung kepada perjuangan Pangeran Antasari yang selama
ini sangat gencar melakukan perlawanan terhadap Belanda, Datu Aling menolak
untuk bergabung. Dia juga mengira bahwa perlawanan Antasari sama seperti dia,
yakni perjuangan yang unjung-unjungnya adalah tahta yang ingin dimiliki. Terlebih
lagi Pangeran Antasari adalah bagian dari Kesultanan tersebut, yang hanya ingin
merebut kekuasan dengan cara perlawan terhadap penjajah. Ayahnya tetap menolak
tidak ingin bergabung dengan perjuangan Pangeran Antasari, dan ketika sambang
mengatakan “ Jika ayah tidak bergabung,
maka ayah akan kehilangan laskar-laskar dan rakyat Muning. Karena mereka sudah
bergabung kepada Pangeran Antasari atas perintahku “. Mendengar hal itu
Datu Aling langsung mencabut Mandau ( parang khas Kalimantan ) dan mendekati
Sambang untuk ditebaskan. “ Pengkhianat
!!! Kau Khianati ayahmu sendiri !! ”. Teriak Datu Aling. Beruntunglah kala
itu adik Sambang yang bernama Saranti yang juga anak Datu Aling. Ketegangan itu
pun berhenti.
Tak lama kemudian
rombongan Pengeran Antasari dan kedua anaknya Gusti Mat Said, Gusti Mat Seman,
serta membawa Jalil. Awalnya kedatangan Pangeran Antasari tak begitu dihiraukan
oleh Datu Aling yang memang tak setuju dengan berbagungnya masyarakat Muning
dengan Antasari. Namun setelah keramahtamahan Pangeran, maka bersalamanlah
Pangeran dengan Datu Aling. “
Alhamdulillah, dari awal saya yakin bahwa tidak sia-sia saya kemarin menemui
Datu seorang pejuang hebat ini”. Ucap Pangeran kepada Datu Aling, hingga
wajah muram Datu menjadi berseri-seri seakan sudah sangat menerima kedatanagn
Pangeran. Dan saat itu pula pangeran memperkenalkan kedua anaknya dan Jalil. “ Perkenalkan ini Jalil dari Banua Lima “.
Kata Pengeran. Datu Aling pun terkagum-kagum melihat Jalil yang namanya sudah
tersiar dimana-mana sebagai tokoh utama perlawan rakyat terhadap Belanda di
Banua Lima. Datu sangat kagum ternyata Jalil adalah anak seorang anak muda,
namun namanya sangat disegani dan sering disebut oleh orang-orang terlebih
tentang perlawanannya terhadap penjajah. Datu Aling sangat mengaku sangat
senang bisa bersalaman dengan Jalil.
Pada kesempatan
selanjutnya pada hari itu juga, Gusti Mat Said, Gusti Mat Seman, Jail serta
Sambang dan beberpa orang lainnya menuju ke balai tempat beberapa orang dari
Antasri dan warga Muning sudah berkumpul di sana untuk membicarakan
bergabungnya warga Muning dengan pasukan Pangeran Antasari. Tinggalah Datu
Aling bersama Antasari, yang kemudian menyusul yang lain ke balai berdua
beriringan sambil berbincang.
Datu Aling bertanya. “ untuk apa atau siapa sebenarnya kita ini
berjuang ?”. Pangeran Antasari meloleh ke arah Datu yang berada di
sampingnya dengan senyuman dan penuh wibawa. Pangeran Menjawab “ Kita berjuang untuk menegakkan kembali
kemerdekaan negeri ( Banjar ), memperjuangkan keadilan dan syariat agama yang telah lama diinjak-injak Kompeni.
Perjuangan ini bukan untuk saya, melainkan untuk rakyat dan agama. Memang banyak
orang-orang mengatasnamakan rakyat dan agama untuk memperoleh keuntungan dan
kekuasan. Kepada saya pun sering dituduhkan seperti itu. Tapi demi Allah, bukan
itu tujuan perjuangan saya. Kerajaan ini sudah lapuk dari luar dan dari dalam. Dari
luar dirusak oleh Kompeni dan dari dalam dirusak oleh perpecahan dari
pemimpin-pemimpin kerajaan itu sendiri. Perebutan kekuasaan antar penguasa
kesultanan sebenarnya tidak akan menguntungkan siapa-siapa, yang untung
sebenarnya adalah pihak ketiga, yaitu Belanda”.
Akhirnya Datu Aling pun
mengerti tentang apa yang dia perjuangkan selama ini, bukan hanya tentang
kekuasaan yang akan direbut rakyat, bukan hanya semata-mata perjuangan untuk
rakyat Muning, dan bukan perjuangan ini sebagai balas dendam antar keluarga kesultanan
yang konflik. Namun perjuangan ini semata-mata hanya untuk “ Rakyat”.by. Arif Riduan
*Bahan Bacaan " ANTASARI; SEBUAH NOVEL SEJARAH Karya Helius Sjamsuddin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar