Sambahyang
Bagaya
Oleh
: Arif Riduan, S.Sos.I
net. |
Sambahyang Bagaya, ada
pula yang menyebutnya Bagaya Sambahyang,
istilah tersebut mungkin tak asing bagi kita yang pernah menjadi anak-anak,
yakni bercanda bersama kawan-kawan saat
melaksanakan sembahyang atau sholat.
Sewaktu
kecil, mungkin sekitar usia Sekolah Dasar, ketika mendekati senja kita sudah
disuruh oleh orang tua untuk mandi dan siap-siap untuk pergi ke masjid atau
musholla, ada pula disebut dengan langgar.
Kadang, adakalanya kita memakai Kupiah (peci) yang agak kebesaran, karena milik kita belum kering
habis dicuci atau juga karena kita tidak dapat menemukan letak peci itu dimana,
terpaksalah kita memakai Kupiah yang
besar, tentunya bukan milik kita, bisa saja milik ayah, kakak atau paman.
Bukan hanya kita sendiri anak-anak yang sembahyang di
langgar saat itu, pasti ada beberapa anak-anak yang usianya sebaya dengan kita
yang juga sembahyang di langgar. Dan posisinya pasti di belakang makmum-makmum
yang lain. Berbeda halnya dengan anak-anak yang sembahyang bersama orang tuanya
atau kakaknya, pasti posisi ada di dekat orang tua atau kakaknya.
Anak-anak yang berangkat sendiri ke langgar terkumpul
jadi satu di shaf yang paling belakang atau kalau tidak di shaf paling belakang pasti di pojok-pojok.
Nah dari situlah, yakni dari terkumpulnya anak-anak itulah nantinya terjadi
yang namanya “ Sambahyang Bagaya”.
Ada yang senyum-senyuman, ada yang bisik-bisikan, ada yang joget-joget
terkadang, bahkan lebih sering lagi kita tertawa, tapi tertawa senyap,
seakan-akan tertawa yang ditahan tapi mengeluarkan bunyi, itu terjadi biasanya
ada teman yang berkelakuan lucu, misalnya ada kawan yang memberi senyuman saat
kita sembahyang.
Kadang sebagian banyak orang tua yang anaknya ingin pergi
sembahyang ke langgar pasti diberi pesan “ jangan
bagaya naklah sambahyang ” atau kalau anak itu bukan tipe anak-anak yang
suka bercanda saat sembahyang orang tua akan berpesan “ jangan begaya naklah sambahyang, biar ja kawan begaya, ikam jangan
umpatan nak ai”. Kita sebagai anak pasti bilang “ inggih ma “, itu jawaban umum anak-anak. Memang dari rumah tak ada
niat kita untuk begaya sembahyang akan
tetapi ketika bertemu dengan kawan-kawan di shaf belakang, situasi dan kondisi
pun jadi berubah, hal yang tak lucu sekalipun bisa jadi lucu saat itu, bakantut misalnya, itu bukan halnya
lucu, namun ketika itu di lakukan saat sembahyang, saat keadaan hening, ketika
bunyi kentut terdengar, entah kenapa kita atau salah satu kawan kita jadi
tertawa, kalau tertawa satu orang, yang lain juga ikut tertawa, itulah
anak-anak. Begitu pula bunyi sendawa dan batuk, terkadang bunyinya bisa
bersahutan satu anak ke anak yang lain.
Sering ada orang dewasa marah ketika kita membuatnya
terganggu ketika Bagaya Sambahyang, bisa
jadi dia menjewer kuping, mencubit kita atas hukuman ketika bercanda saat
sembahyang. Ada pula orang dewasa yang mengatakan kepada kita “ ku padahakan lawan mama ikam, ikam
sambahyang bagaya “ ada yang berkata seperti hanya sebagai ancaman agar
kita takut dan tidak lagi bercanda saat sembahyang, ada pula yang benar-benar
mengadukan hal tersebut ke orang tua kita, habislah kita pasti kena marah saat
pulang ke rumah. Terkadang ada satu kawan yang juga ikut-ikutan mengancam kita
dengan kalimat “ Ku padahakan wan mama
ikam, kam bagaya sambahyang “, hal tersebut terjadi disaat kita ada masalah
dengan kawan sebaya yang bukan tipe anak yang suka bercanda ketika sembahyang.
Kisah-kisah seperti ini memang menarik untuk diceritakan
bersama teman-teman kecil kita dulu yang sekarang sudah dewasa dan bahkan sudah
mempunyai anak yang usianya seusia kita bercanda sewaktu sembahyang dulu. Kisah
ini juga yang menjadi kenangan indah dimasa-masa yang kita lewati sekarang.
Masa anak-anak memang masa yang menyenangkan. Banyak hal-hal yang bebas kita
lakukan, yang orang dewasa mungkin malu atau tidak mungkin lagi melakukannya,
seperti halnya Sambahyang Bagaya.
Arif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar