Selasa, 23 Agustus 2016

Pendidikan Tanpa Mendidik ( Diskusi tentang tulisan Yudi Latif di Koran Kompas )

ARIF RIDUAN ( Tengah )
Pendidikan Tanpa Mendidik[1]
Dipersentasikan oleh Arif Riduan pada diskusi FKPAI Kalsel , 9 Agustus 2016

Dunia pendidikan kita sudah melenceng jauh dari orbit hakikat pendidikan sesungguhnya. Semula dimaksudkan untuk mencerdaskan bangsa dan memerangi kebodohan, kalau boleh saya katakan, bahwa pendidikan kini menjadi sebuah industri pencetak uang. Hal tersebut bisa kita lihat pada bisnis penjualan buku, alat tulis, seragam sekolah. Dari berbagai pengalaman banyak saya jumpai bahwa masuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi ( dari SMP ke SMA misalnya) memerlukan biaya yang tak sedikit, dengan modus uang pembangunan, uang pangkal, sumbangan ini sumbangan itu, belum lagi ditambah dengan budaya beli seragam baru. Bahkan jauh dari itu saya juga sering mendapati orang tua yang membayar lebih kepada “pihak sekolah” agar anaknya bisa diterima di sekolah tersebut. Bukan satu atau lima ratus ribu, tapi kisarannya bisa sampai berjuta-juta. Seorang teman mengatakan kepada saya “ jaman ini sekolah segini mahalnya, bagaimana jaman anak cucu kita nanti “. Terlepas dari tindakan seperti itu, tentu juga ada orang siswa yang benar-benar murni “ tanpa memberikan uang lebih” bisa menyekolahkan anaknya di sekolah yang bergensi, itu pun pasti akan dihadapkan dengan masalah, buku baru, seragam baru, baju olahraga dan sebagainya.

Menteri silih berganti, tetapi pusat perhatiannya sama: administrasi pendidikan (anggaran, bantuan operasional sekolah, rancang bangun kurikulum, standar formal kompetensi guru, ujian nasional, dan sejenisnya).

Esensi pendidikan nyaris tak tersentuh. Paling jauh, yang dikembangkan dalam sistem persekolahan kita hanyalah "pengajaran" (onderwijs), yakni pemberian materi berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan. Sukses pendidikan diukur oleh pencapaian anak dalam bidang penalaran seperti itu, seperti tecermin dalam muatan ujian nasional. Tak heran, banyak orangtua menambah jam pelajaran anaknya dengan mengikuti sejumlah kursus dalam/luar sekolah. Bagi saya banyaknya siswa yang mengikuti jam pelajaran tambahan di sekolah atau di lembaga pendidikan lain di luar jam sekolah sebenarnya sudah membuktikan bahwa sekolah saat ini tidak mampu untuk mencerdaskan siswanya, banyak lembaga-lembaga pendidikan yang menawarkan jaminan bahwa siswanya akan mendapat nilai tinggi di sekolahnya jika belajar di lembaga tersebut. Saya pernah mendapati brousur iklan yang dibagikan di jalan oleh salah satu lembaga pendidikan di luar sekolah, dalam brousur itu dituliskan “ dijamin lulus UN “, apa sebenarnya yang terjadi, apakah sekolah tak mampu menjamin siswanya lulus semua ?, mengapa lembaga pendidikan tersebut bisa ?.

Suhu pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara, mengingatkan bahwa "pendidikan" merupakan sesuatu yang lebih luas dan esensial daripada pengajaran. Pendidikan bermaksud "menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi- setingginya". Singkat kata, pendidikan adalah proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan mempelajari dan mengembangkan kehidupan sepanjang hidup, yang diperantarai sekaligus membentuk kebudayaan. Dalam proses belajar memanusia dan membudaya itu, tugas guru bukanlah memaksakan sesuatu pada anak, melainkan menuntun mengeluarkan potensi-potensi bawaan anak agar bertumbuh. Dari situlah muncul istilah education  yang berarti mengeluarkan dan menuntun, dalam arti mengaktifkan kekuatan terpendam bawaan sang anak.

Coba kita lihat undang-undang. Tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1994 Pasal 31, ayat 3 yang menyebutkan, "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang." Dalam Pasal 31, ayat 5 sendiri jugamenyebutkan, "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia." Jabaran UUD 1945 tentang pendidikan itu dituangkan pula dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

Anak didik diharapkan berdiri sebagai manusia merdeka. Kemerdekaan yang harus ditumbuhkan dalam pendidikan mengandung tiga sifat: berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain, dan dapat mengatur diri sendiri. Itu sebabnya mengapa di banyak negara, orangtua dilarang mengantar anaknya ke sekolah.

Apa yang harus dilakukan?

Pendidikan sebagai proses belajar menjadi manusia berkebudayaan yang merdeka itu berorientasi ganda: memahami diri sendiri dan memahami lingkungannya. Ke dalam, pendidikan harus memberi wahana kepada peserta didik untuk mengenali siapa dirinya sebagai "perwujudan khusus" dari alam. Proses pendidikan harus membantu peserta didik menemukenali kekhasan potensi dirinya, sekaligus kemampuan menempatkan keistimewaan diri itu dalam konteks keseimbangan dan keberlangsungan jagat besar. Seturut dengan itu, kerja mendidik bukanlah mengajar, melainkan menuntun. Karena potensi anak berbeda-beda, maka proses pendidikan jangan sampai menghilangkan kodrat individualitas seseorang karena terdidik bersama-sama yang lain. Harus lebih banyak ruang untuk menuntun anak secara individual, jangan hanya berbarengan secara klasikal.

Pendidikan harus memberi wahana kepada anak didik untuk mengenali dan mengembangkan kebudayaan. Kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku ini secara keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang dapat menentukan apakah disposisi karakter seseorang berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk.

Prioritaskan pendidikan dasar

Solusi atas keterbelakangan hasil pendidikan kita harus dimulai dengan memperkuat pendidikan dasar. Sesuai namanya, pendidikan dasar harus benar-benar memberikan modal dasar dalam proses belajar menjadi manusia seutuhnya. Pendidikan sebagai proses kebudayaan menghendaki agar proses belajar-mengajar tidak hanya berorientasi pada pengembangan kemampuan kognitif, tetapi juga kemampuan afektif dan konatif.

Pertama-tama, kurikulum pendidikan dasar harus memberi perhatian pada olah pikir lewat pembelajaran membaca, menghitung, menutur, mendengar, menulis, dan meneliti dalam kerangka budi pekerti.

Pelajaran membaca lebih dari sekadar belajar melek huruf, atau sekadar membaca buku pelajaran yang diwajibkan. Pelajaran membaca harus menjadi kecakapan fungsional yang dibiasakan sejak pendidikan dasar. Kecakapan dan kebiasaan membaca sejak dini akan memudahkan anak-anak menjelajahi dunia ilmu pengetahuan melampaui batas-batas pelajaran sekolah.

Tanpa tradisi membaca yang kuat akan sulit bagi generasi baru memahami dan mengembangkan penalaran panjang seperti pengetahuan-pengetahuan naratif (filsafat, ideologi, sejarah, agama, dan sastra). Padahal, pengetahuan naratif merupakan sumber penemuan diri dan pembentukan karakter.

Glenn Doman(1998), seorang pendiri Lembaga yang Pencapaian Potensi Manusia di Philadelphia -Amerika,  menyatakan bahwa anak balita dapat diajarkan membaca dan lebih efektif daripada anak yang memasuki usia sekolah(6 tahun). Dalam penelitiannya, Doman mengemukakan bahwa anak yang berumur 4 tahun lebih efektif daripada anak yang berumur 5 tahun. Anak berumur 3 tahun lebih mudah diajari daripada anak berumur 4 tahun. Lebih jelasnya, Doman mengatakan bahwa semakin kecil usia seorang anak, maka semakin mudah untuk diajari membaca. Akan tetapi, dalam batas anak sudah mulai berbicara. Karena anak yang belum bisa berbicara, akan sulit untuk diajari membaca.

Selain membaca, siswa harus diberikan kecakapan menghitung. Pada enam tahun pertama pendidikan dasar, tidak perlu diberikan pelajaran matematika yang rumit. Negara, seperti Finlandia, dengan prestasi pendidikan yang hebat pun mulai menghilangkan pelajaran matematika di sekolah dasar.
Kurikulum Amerika mewajibkan pelajaran mengarang di tingkat pendidikan dasar dan menengah (Godzich, 1994). Menumbuhkan hasrat menulis pada gilirannya akan mendorong semangat meneliti, baik lewat membaca ayat-ayat kitabiyah (buku), ayat-ayat kauniyah (alam semesta), ayat-ayat tarikhiyah (sejarah), maupun ayat-ayat nafsiyah (diri sendiri). Di situlah, anak terdidik agar kelebihan dirinya tak menimbulkan kacau-kaos, melainkan beres-kosmos bagi kehidupan semesta.


Kedua, pendidikan dasar harus menyediakan peserta didik suatu wahana olah rasa untuk mengasah daya-daya afeksi yang dapat memperkuat kepekaan estetik, kehalusan perasaan, keindahan perangai, kepekaan empati dan solidaritas sosial, sensitivitas daya spiritualitas, ketajaman rasa keadilan, semangat kebangsaan (nasionalisme), dan gotong royong. Untuk itu, kurikulum pendidikan hendaklah memberi perhatian pada pelajaran kesenian, moral keagamaan, kesejarahan, pendidikan karakter personal dan kewargaan, wawasan kebangsaan dan kemanusiaan.

Ketiga, kurikulum pendidikan juga harus memberi wahana olahraga untuk mengembangkan ketahanan, ketangkasan, dan kesehatan jasmani, yang diperlukan sebagai sarana fisik mengaktualisasikan segala potensi budi pekerti anak.

Tak kurang dari filsuf pendidikan, seperti Socrates dan Plato, jauh-jauh hari telah menekankan pentingnya pendidikan fisik. Olahraga selain menawarkan kesederhanaan dalam menghasilkan hidup sehat juga dapat mengembangkan sportivitas, keriangan permainan, ketahanan mental, keberanian mengambil risiko, semangat kerja sama, dan jiwa patriotisme.
Keempat, kurikulum pendidikan harus menumbuhkan olah karsa yang dapat mendorong kemauan peserta didik untuk mengembangkan kecakapan hidup dengan mengenali dan mengaktualisasikan potensi kecerdasannya masing-masing.

Konsekuennya, fungsi guru bukan sekadar mengajar, melainkan sebagai penuntun untuk memantau potensi dan kecenderungan setiap siswa; berperan sebagai broker kurikulum yang membantu siswa mengembangkan potensi dan preferensinya; sekaligus menjadi broker yang menghubungkan siswa dengan komunitas yang lebih luas. Minat dan bakat siswa harus bisa dihubungkan dengan berbagai cerlang budaya dan pusat teladan di lingkungan negara, pasar, dan masyarakat. Untuk itu, kerangka insentif perlu diberikan pemerintah dan masyarakat kepada orang/institusi yang menyediakan kesempatan belajar luar sekolah.


Pembenahan guru

Pada titik ini, prioritas selanjutnya adalah peningkatan mutu guru. Seorang juru didik memerlukan kecakapan yang lebih baik dari juru ukir. Jika seorang pengukir kayu saja wajib mempunyai pengetahuan yang mendalam dan luas tentang hakikat kayu dan teknik ukir, apalagi juru didik yang diharapkan mampu mengukir manusia secara lahir dan batin.

Sungguh ironis, perekrutan tenaga pendidik saat ini lebih mementingkan aspek- aspek formal ijazah dan tingkat pendidikan, dengan melupakan kompetensi didaktik-metodiknya. Sudah saatnya pesan UU Sisdiknas mengenai perlunya sekolah guru berasrama segera diwujudkan. Tak cukup bekal kesarjanaan di berbagai disiplin ilmu, para calon pendidik masih harus mendapatkan proses penggemblengan dalam kecakapan ilmu pendidikan setidaknya selama satu tahun.

Itulah peta jalan sederhana agar dunia pendidikan benar-benar menunaikan kerja mendidik tunas-tunas harapan bangsa demi keselamatan dan kebahagiaan hidup bersama.

Notulen : Abdani Solihin

Diskusi Mingguan Pemuda Antar Iman
Judul “Pendidikan Tanpa Mendidik “
oleh Arif Riduan  (09/08/2016)

Pendidikan sekarang lebih identic sebagai Industry pencetak uang. Banyak orang tua berbondong-bondong menyekolahkan anaknya di sekolah favorit, demi ingin mendaptkan pendidikan yang terbaik bagi anaknya, agar nanti ketika lulus bisa di terima bekerja, dengan alasan lulusan sekolah favorit.
Hal ini karena sistem pendidikan kita berorientasi pada nilai, bukan pada proses pengembangan anak muridnya. Pada akhirnya ini menyebabkan lembaga pendidikan luar sekolah seperti kursur atau bimbingan belajar akhirnya menjamur, asusmsinya ketika orang sadar bahwa nilai itu penting, maka bisnis pendidikan seperti bimbingan belajar akan terus ada. Bahkan ada sekolah yang tak berani menjamin kelulusan siswanya. Inilah anehnya sistem pendidikan kita.
Bias pengajaran membuat dunia pendidikan pada umumnya mengabaikan tugas mendidik, yaitu memberikan tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Ki Hadjar Dewantara, mengingatkan bahwa "pendidikan" (opvoeding) merupakan sesuatu yang lebih luas dan esensial dari pada pengajaran. Pendidikan bermaksud "menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi- setingginya".
Pendidikan adalah proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan mempelajari dan mengembangkan kehidupan sepanjang hidup, yang diperantarai sekaligus membentuk kebudayaan. Dalam proses belajar memanusia dan membudaya itu, tugas guru bukanlah memaksakan sesuatu pada anak, melainkan menuntun mengeluarkan potensi-potensi bawaan anak agar bertumbuh. Dari situlah muncul istilah education (Latin: educare; ex-ducare) yang berarti mengeluarkan dan menuntun, dalam arti mengaktifkan kekuatan terpendam bawaan sang anak.
Yang harus diaktifkan adalah budi pekerti. Budi mengandung arti "pikiran, perasaan dan kemauan". Pekerti berarti "tenaga". Alhasil, pendidikan budi pekerti mengupayakan bersatunya pikiran, perasaan, dan tekad kemauan manusia yang mendorong kekuatan tenaga yang dapat melahirkan penciptaan dan perbuatan yang baik, benar, dan indah.
Sesi Diskusi:
Novi:  sekolah menjamin kelulusan, memang agak berat,  bisa 50:50 ,karena peserta didik itu beragam kemapuannya, dan harus dilihat  dari banyak factor, misalnya factor biologis, (turunan), daya dukung keluarga, karena tidak mampu, harus cari uang (berbakti dgn orng tua) lingkungan,belum lagi lingkungan yang tidak memungkinkan ia sekolah ini juga harus menjadi perhatian kita besama.
Terkait soal nilai ini, beberapa sekolah kadang juga bermain curang dengan mancarikan kunci jawaban. Tapi sekolah juga tidak dapat di persalahkan, kadang hal ini direstui juga oleh orang tua, apalagi jika orang tuanya pejabat pemrintahan, bahkan orangtuanya yang mencarikan kunci jawaban.
Sekarang bagaiman harusnya mendidik itu, ketika mencubit dan memotong rambut saja bisa di penjarakan?
Isbay : Dulu, kita kalau belajar, rotan siap di samping, suruh lari keliling lapangan, tapi ketika kita lapor org tua, kita dimarahi. Namun kita tidak pernah  mengolok guru. Tantanganya adalah kemoderenan. Indonesia masih belum siap dengan pendiddikan, karena masih pertanian. Jenjang dari masyarakt petani  dan modern ini lah yang membuat kita kita tidak siap, itu yang terjadi ketika ada guru menghukum muridnya terjadi lah lapor melapor. Wajar pendidikan jadi bisnis, agama aja jadi bisnis, maka mangajemennyalah yang harus diutamakan. Dengan lebih mengenal semua elemen pendidkan (pemerintah, masyarakat dan orangtua)
Arif Riduan : Masalah pelaporan pencubitan oknum guru oleh siswa/orang tua siswa, itu kembali lagi siapa orang tuanya, oknum pejabat?, polisi ?, atau pihak berpangkat lainnya, banyak kok sebenarnya anak yang dicubit guru, ketika ia melapor ke orang tuanya malah siswa itu dimarahi oleh orang tuanya. Memang setiap kekerasan itu ada hukumnya, namun kita sebagai wali murid juga harus membijaksanai, apa, dan kenapa guru bisa mencubit anak didiknya.

Apakah benar seperti yang dikatakan isbay, bahwa kita belum siap dengan pendidikan.mungkin saja benar, mungkin saja tidak, saya tidak mengerti soal itu, namun yang jelas saya sepakat bagaiman system dan manjemennya lah yang harus diperbaiki. Di finlandia misalnya, kenapa tanpa UN siswanya baik dan berkembang,bisa jadi ini soal manjemen dan sistemnya karena pendidikan itu tanggung jawab bersama,baik itu pemerintah, masyarakat dan juga orang tua.

Aldi : Saya hanya ingin berbagi saja ketik dulu sekolah. Saya sekolah di pesantren, dan  sering di hukum. Semua hukuman di pesantren itu pernah saya terima dan  hukumannya selalu menulis kan kalimat dengan jumlah 1000 kali (arab dan latin). Itu membuat bosan, lebih senang jika di hukum mengangkat kayu atau bata, karena lebih rami. Saya sering di hukum karena saya  sering bolos. Kenapa saya bolos, karena benci gurunya. Suasana sekolah membuat saya bosan. Berbeda ketika saya pindah sekolah, awalnya sempat bosan, tapi lama kelamaan, akhirnya selesai,kaena suasananya mendukung, guru, teman dan lainnya.
Novi: Di tanbu, sekolah sampai jumat, alasannya biar anak punya banyak waktu luang. Jadi  Seragam pramuka biasa dipakai hari sabtu, di ganti hari jumat.disatu sisi ini mungkin bagus, tetapi  sangat membenani anak dan orang tua. Apalgi jika ada anak yang harus  membatu orangtua bekerja.
Paula : mental peserta didik sekarang ini juga harus jadi perhatian, agar tidak cengeng, dan hukuman dari guru juga harus diperbaiki. Saya sepakat dengan hukuman, tapi kkarena ini hukuman, alangkah baikya jika hukumannya juga dalam rangka pengembang pendidikan. Nilai-nilai pendidikan harus melandasi  dalam pemberian hukuman pada siswa.
Penutup : Ada banyak hal jika kita mau mengktitis soal pendidikan kita, tetapi pusat perhatiannya sama: administrasi pendidikan (anggaran, bantuan operasional sekolah, rancang bangun kurikulum, standar formal kompetensi guru, ujian nasional, dan sejenisnya).

Esensi pendidikan nyaris tak tersentuh. Paling jauh, yang dikembangkan dalam sistem persekolahan kita hanyalah "pengajaran" (onderwijs), yakni pemberian materi berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan. Mata pelajaran sarat muatan kognitif. Sukses pendidikan diukur oleh pencapaian anak dalam bidang penalaran seperti itu, seperti tecermin dalam muatan ujian nasional. Tak heran, banyak orangtua menambah jam pelajaran anaknya dengan mengikuti sejumlah kursus dalam/luar sekolah.
Solusi atas keterbelakangan hasil pendidikan kita harus dimulai dengan memperkuat pendidikan dasar. Sesuai namanya, pendidikan dasar harus benar-benar memberikan modal dasar dalam proses belajar menjadi manusia seutuhnya. Pendidikan sebagai proses kebudayaan menghendaki agar proses belajar-mengajar tidak hanya berorientasi pada pengembangan kemampuan kognitif, tetapi juga kemampuan afektif dan konatif.
Maka kurikulumnya harus jelas. Apalgi kurikulum pendidikan dasar, harus memberi perhatian pada olah pikir lewat pembelajaran membaca, menghitung, menutur, mendengar, menulis, dan meneliti dalam kerangka budi pekerti.











[1] Tulisan Yudi Latif pada opini kompas edisi 04 Agustus 2016


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Naskah Teater : Ospek Mahasiswa Baru, Bubar ! ( karya Arif Riduan)

Ospek Mahasiswa Baru, Bubar ! Karya : Arif Riduan Suasana panggung : Taman Kampus atau halaman kampus tempat ospek, ada bak sampah, kursi ta...