Pendidikan Tanpa Mendidik
Dipersentasikan oleh Arif Riduan pada diskusi FKPAI
Kalsel , 9 Agustus 2016
Dunia pendidikan kita sudah melenceng jauh dari orbit hakikat pendidikan
sesungguhnya. Semula dimaksudkan untuk mencerdaskan bangsa dan memerangi
kebodohan, kalau boleh saya katakan, bahwa pendidikan kini menjadi sebuah
industri pencetak uang. Hal tersebut bisa kita lihat pada bisnis penjualan
buku, alat tulis, seragam sekolah. Dari berbagai pengalaman banyak saya jumpai
bahwa masuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi ( dari SMP ke SMA misalnya)
memerlukan biaya yang tak sedikit, dengan modus uang pembangunan, uang pangkal,
sumbangan ini sumbangan itu, belum lagi ditambah dengan budaya beli seragam
baru. Bahkan jauh dari itu saya juga sering mendapati orang tua yang membayar
lebih kepada “pihak sekolah” agar anaknya bisa diterima di sekolah tersebut.
Bukan satu atau lima ratus ribu, tapi kisarannya bisa sampai berjuta-juta.
Seorang teman mengatakan kepada saya “ jaman
ini sekolah segini mahalnya, bagaimana jaman anak cucu kita nanti “. Terlepas
dari tindakan seperti itu, tentu juga ada orang siswa yang benar-benar murni “
tanpa memberikan uang lebih” bisa menyekolahkan anaknya di sekolah yang
bergensi, itu pun pasti akan dihadapkan dengan masalah, buku baru, seragam
baru, baju olahraga dan sebagainya.
Menteri silih berganti, tetapi pusat perhatiannya sama: administrasi
pendidikan (anggaran, bantuan operasional sekolah, rancang bangun kurikulum,
standar formal kompetensi guru, ujian nasional, dan sejenisnya).
Esensi pendidikan nyaris tak tersentuh. Paling jauh, yang dikembangkan
dalam sistem persekolahan kita hanyalah "pengajaran" (onderwijs), yakni pemberian materi berkaitan dengan
pengetahuan dan keterampilan. Sukses pendidikan diukur oleh pencapaian anak
dalam bidang penalaran seperti itu, seperti tecermin dalam muatan ujian
nasional. Tak heran, banyak orangtua menambah jam pelajaran anaknya dengan
mengikuti sejumlah kursus dalam/luar sekolah. Bagi saya banyaknya siswa yang
mengikuti jam pelajaran tambahan di sekolah atau di lembaga pendidikan lain di
luar jam sekolah sebenarnya sudah membuktikan bahwa sekolah saat ini tidak
mampu untuk mencerdaskan siswanya, banyak lembaga-lembaga pendidikan yang
menawarkan jaminan bahwa siswanya akan mendapat nilai tinggi di sekolahnya jika
belajar di lembaga tersebut. Saya pernah mendapati brousur iklan yang dibagikan
di jalan oleh salah satu lembaga pendidikan di luar sekolah, dalam brousur itu
dituliskan “ dijamin lulus UN “, apa
sebenarnya yang terjadi, apakah sekolah tak mampu menjamin siswanya lulus semua
?, mengapa lembaga pendidikan tersebut bisa ?.
Suhu pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara, mengingatkan bahwa
"pendidikan" merupakan sesuatu yang lebih luas dan esensial daripada
pengajaran. Pendidikan bermaksud "menuntun segala kekuatan kodrat yang ada
pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat
dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi- setingginya". Singkat
kata, pendidikan adalah proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan
mempelajari dan mengembangkan kehidupan sepanjang hidup, yang diperantarai
sekaligus membentuk kebudayaan. Dalam proses belajar memanusia dan membudaya
itu, tugas guru bukanlah memaksakan sesuatu pada anak, melainkan menuntun
mengeluarkan potensi-potensi bawaan anak agar bertumbuh. Dari situlah muncul istilah education yang berarti mengeluarkan dan menuntun,
dalam arti mengaktifkan kekuatan terpendam bawaan sang anak.
Coba kita lihat undang-undang. Tertuang
dalam Undang-Undang Dasar 1994 Pasal 31, ayat 3 yang menyebutkan,
"Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang." Dalam
Pasal 31, ayat 5 sendiri jugamenyebutkan, "Pemerintah memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia." Jabaran UUD 1945 tentang pendidikan itu dituangkan pula dalam
Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, "Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab."
Anak didik diharapkan berdiri sebagai manusia merdeka. Kemerdekaan yang
harus ditumbuhkan dalam pendidikan mengandung tiga sifat: berdiri sendiri,
tidak bergantung pada orang lain, dan dapat mengatur diri sendiri. Itu sebabnya
mengapa di banyak negara, orangtua dilarang mengantar anaknya ke sekolah.
Apa yang harus
dilakukan?
Pendidikan sebagai proses belajar menjadi manusia berkebudayaan yang
merdeka itu berorientasi ganda: memahami diri sendiri dan memahami
lingkungannya. Ke dalam, pendidikan harus memberi wahana kepada peserta didik
untuk mengenali siapa dirinya sebagai "perwujudan khusus" dari alam.
Proses pendidikan harus membantu peserta didik menemukenali kekhasan potensi
dirinya, sekaligus kemampuan menempatkan keistimewaan diri itu dalam konteks
keseimbangan dan keberlangsungan jagat besar. Seturut dengan itu, kerja
mendidik bukanlah mengajar, melainkan menuntun. Karena potensi anak
berbeda-beda, maka proses pendidikan jangan sampai menghilangkan kodrat
individualitas seseorang karena terdidik bersama-sama yang lain. Harus lebih
banyak ruang untuk menuntun anak secara individual, jangan hanya berbarengan
secara klasikal.
Pendidikan harus memberi wahana kepada anak didik untuk mengenali dan
mengembangkan kebudayaan. Kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan,
dan sistem perilaku ini secara keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang
dapat menentukan apakah disposisi karakter seseorang berkembang menjadi lebih
baik atau lebih buruk.
Prioritaskan pendidikan
dasar
Solusi atas keterbelakangan hasil pendidikan kita harus dimulai dengan
memperkuat pendidikan dasar. Sesuai namanya, pendidikan dasar harus benar-benar
memberikan modal dasar dalam proses belajar menjadi manusia seutuhnya.
Pendidikan sebagai proses kebudayaan menghendaki agar proses belajar-mengajar
tidak hanya berorientasi pada pengembangan kemampuan kognitif, tetapi juga
kemampuan afektif dan konatif.
Pertama-tama, kurikulum pendidikan dasar harus memberi perhatian pada olah
pikir lewat pembelajaran membaca, menghitung, menutur, mendengar, menulis, dan
meneliti dalam kerangka budi pekerti.
Pelajaran membaca lebih dari sekadar belajar melek huruf, atau sekadar
membaca buku pelajaran yang diwajibkan. Pelajaran membaca harus menjadi
kecakapan fungsional yang dibiasakan sejak pendidikan dasar. Kecakapan dan
kebiasaan membaca sejak dini akan memudahkan anak-anak menjelajahi dunia ilmu
pengetahuan melampaui batas-batas pelajaran sekolah.
Tanpa tradisi membaca yang kuat akan sulit bagi generasi baru memahami dan
mengembangkan penalaran panjang seperti pengetahuan-pengetahuan naratif
(filsafat, ideologi, sejarah, agama, dan sastra). Padahal, pengetahuan naratif
merupakan sumber penemuan diri dan pembentukan karakter.
Glenn Doman(1998), seorang pendiri Lembaga yang
Pencapaian Potensi Manusia di Philadelphia -Amerika, menyatakan bahwa anak balita dapat diajarkan
membaca dan lebih efektif daripada anak yang memasuki usia sekolah(6 tahun).
Dalam penelitiannya, Doman mengemukakan bahwa anak yang berumur 4 tahun lebih
efektif daripada anak yang berumur 5 tahun. Anak berumur 3 tahun lebih mudah
diajari daripada anak berumur 4 tahun. Lebih jelasnya, Doman mengatakan bahwa
semakin kecil usia seorang anak, maka semakin mudah untuk diajari membaca. Akan
tetapi, dalam batas anak sudah mulai berbicara. Karena anak yang belum bisa
berbicara, akan sulit untuk diajari membaca.
Selain membaca, siswa harus diberikan kecakapan menghitung. Pada enam tahun
pertama pendidikan dasar, tidak perlu diberikan pelajaran matematika yang
rumit. Negara, seperti Finlandia, dengan prestasi pendidikan yang hebat pun
mulai menghilangkan pelajaran matematika di sekolah dasar.
Kurikulum Amerika
mewajibkan pelajaran mengarang di tingkat pendidikan dasar dan menengah
(Godzich, 1994). Menumbuhkan hasrat menulis pada gilirannya akan mendorong
semangat meneliti, baik lewat membaca ayat-ayat kitabiyah (buku),
ayat-ayat kauniyah (alam semesta),
ayat-ayat tarikhiyah (sejarah), maupun
ayat-ayat nafsiyah (diri sendiri). Di
situlah, anak terdidik agar kelebihan dirinya tak menimbulkan kacau-kaos,
melainkan beres-kosmos bagi kehidupan semesta.
Kedua, pendidikan dasar harus menyediakan peserta didik suatu wahana olah rasa
untuk mengasah daya-daya afeksi yang dapat memperkuat kepekaan estetik,
kehalusan perasaan, keindahan perangai, kepekaan empati dan solidaritas sosial,
sensitivitas daya spiritualitas, ketajaman rasa keadilan, semangat kebangsaan
(nasionalisme), dan gotong royong. Untuk itu, kurikulum pendidikan hendaklah
memberi perhatian pada pelajaran kesenian, moral keagamaan, kesejarahan,
pendidikan karakter personal dan kewargaan, wawasan kebangsaan dan kemanusiaan.
Ketiga, kurikulum pendidikan juga harus memberi wahana olahraga untuk
mengembangkan ketahanan, ketangkasan, dan kesehatan jasmani, yang diperlukan
sebagai sarana fisik mengaktualisasikan segala potensi budi pekerti anak.
Tak kurang dari filsuf pendidikan, seperti Socrates dan Plato, jauh-jauh
hari telah menekankan pentingnya pendidikan fisik. Olahraga selain menawarkan
kesederhanaan dalam menghasilkan hidup sehat juga dapat mengembangkan
sportivitas, keriangan permainan, ketahanan mental, keberanian mengambil
risiko, semangat kerja sama, dan jiwa patriotisme.
Keempat, kurikulum
pendidikan harus menumbuhkan olah karsa yang dapat mendorong kemauan peserta
didik untuk mengembangkan kecakapan hidup dengan mengenali dan
mengaktualisasikan potensi kecerdasannya masing-masing.
Konsekuennya, fungsi guru bukan sekadar mengajar, melainkan sebagai
penuntun untuk memantau potensi dan kecenderungan setiap siswa; berperan
sebagai broker kurikulum yang membantu siswa mengembangkan potensi dan
preferensinya; sekaligus menjadi broker yang menghubungkan siswa dengan komunitas
yang lebih luas. Minat dan bakat siswa harus bisa dihubungkan dengan berbagai
cerlang budaya dan pusat teladan di lingkungan negara, pasar, dan masyarakat.
Untuk itu, kerangka insentif perlu diberikan pemerintah dan masyarakat kepada
orang/institusi yang menyediakan kesempatan belajar luar sekolah.
Pembenahan guru
Pada titik ini, prioritas selanjutnya adalah peningkatan mutu guru. Seorang
juru didik memerlukan kecakapan yang lebih baik dari juru ukir. Jika seorang
pengukir kayu saja wajib mempunyai pengetahuan yang mendalam dan luas tentang
hakikat kayu dan teknik ukir, apalagi juru didik yang diharapkan mampu mengukir
manusia secara lahir dan batin.
Sungguh ironis, perekrutan tenaga pendidik saat ini lebih mementingkan
aspek- aspek formal ijazah dan tingkat pendidikan, dengan melupakan kompetensi
didaktik-metodiknya. Sudah saatnya pesan UU Sisdiknas mengenai perlunya sekolah
guru berasrama segera diwujudkan. Tak cukup bekal kesarjanaan di berbagai
disiplin ilmu, para calon pendidik masih harus mendapatkan proses
penggemblengan dalam kecakapan ilmu pendidikan setidaknya selama satu tahun.
Itulah peta jalan sederhana agar dunia pendidikan benar-benar menunaikan
kerja mendidik tunas-tunas harapan bangsa demi keselamatan dan kebahagiaan
hidup bersama.
Notulen : Abdani
Solihin
Diskusi
Mingguan Pemuda Antar Iman
Judul
“Pendidikan Tanpa Mendidik “
oleh
Arif Riduan (09/08/2016)
Pendidikan sekarang lebih identic
sebagai Industry pencetak uang. Banyak orang tua berbondong-bondong menyekolahkan
anaknya di sekolah favorit, demi ingin mendaptkan pendidikan yang terbaik bagi
anaknya, agar nanti ketika lulus bisa di terima bekerja, dengan alasan lulusan
sekolah favorit.
Hal
ini karena sistem pendidikan kita berorientasi pada nilai, bukan pada proses
pengembangan anak muridnya. Pada akhirnya ini menyebabkan lembaga pendidikan
luar sekolah seperti kursur atau bimbingan belajar akhirnya menjamur,
asusmsinya ketika orang sadar bahwa nilai itu penting, maka bisnis pendidikan
seperti bimbingan belajar akan terus ada. Bahkan ada sekolah yang tak berani menjamin kelulusan
siswanya. Inilah anehnya sistem pendidikan kita.
Bias pengajaran membuat dunia pendidikan pada umumnya
mengabaikan tugas mendidik, yaitu memberikan tuntunan dalam hidup tumbuhnya
anak-anak. Ki Hadjar Dewantara, mengingatkan bahwa "pendidikan"
(opvoeding) merupakan sesuatu yang lebih luas dan esensial dari pada
pengajaran. Pendidikan bermaksud "menuntun segala kekuatan kodrat yang ada
pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat
dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi- setingginya".
Pendidikan adalah proses belajar
menjadi manusia seutuhnya dengan mempelajari dan mengembangkan kehidupan
sepanjang hidup, yang diperantarai sekaligus membentuk kebudayaan. Dalam proses
belajar memanusia dan membudaya itu, tugas guru bukanlah memaksakan sesuatu
pada anak, melainkan menuntun mengeluarkan potensi-potensi bawaan anak agar
bertumbuh. Dari situlah muncul istilah education (Latin: educare; ex-ducare)
yang berarti mengeluarkan dan menuntun, dalam arti mengaktifkan kekuatan
terpendam bawaan sang anak.
Yang harus diaktifkan adalah budi
pekerti. Budi mengandung arti "pikiran, perasaan dan kemauan".
Pekerti berarti "tenaga". Alhasil, pendidikan budi pekerti
mengupayakan bersatunya pikiran, perasaan, dan tekad kemauan manusia yang
mendorong kekuatan tenaga yang dapat melahirkan penciptaan dan perbuatan yang
baik, benar, dan indah.
Sesi
Diskusi:
Novi:
sekolah menjamin kelulusan, memang agak berat, bisa 50:50 ,karena peserta didik itu beragam
kemapuannya, dan harus dilihat dari
banyak factor, misalnya factor biologis, (turunan), daya dukung keluarga,
karena tidak mampu, harus cari uang (berbakti dgn orng tua) lingkungan,belum
lagi lingkungan yang tidak memungkinkan ia sekolah ini juga harus menjadi
perhatian kita besama.
Terkait soal nilai ini, beberapa
sekolah kadang juga bermain curang dengan mancarikan kunci jawaban. Tapi
sekolah juga tidak dapat di persalahkan, kadang hal ini direstui juga oleh orang
tua, apalagi jika orang tuanya pejabat pemrintahan, bahkan orangtuanya yang
mencarikan kunci jawaban.
Sekarang bagaiman harusnya mendidik
itu, ketika mencubit dan memotong rambut saja bisa di penjarakan?
Isbay
: Dulu, kita kalau belajar, rotan
siap di samping, suruh lari keliling lapangan, tapi ketika kita lapor org tua,
kita dimarahi. Namun kita tidak pernah
mengolok guru. Tantanganya adalah kemoderenan. Indonesia masih belum
siap dengan pendiddikan, karena masih pertanian. Jenjang dari masyarakt petani dan modern ini lah yang membuat kita kita
tidak siap, itu yang terjadi ketika ada guru menghukum muridnya terjadi lah
lapor melapor. Wajar pendidikan jadi bisnis, agama aja jadi bisnis, maka
mangajemennyalah yang harus diutamakan. Dengan lebih mengenal semua elemen
pendidkan (pemerintah, masyarakat dan orangtua)
Arif Riduan : Masalah pelaporan
pencubitan oknum guru oleh siswa/orang tua siswa, itu kembali lagi siapa orang
tuanya, oknum pejabat?, polisi ?, atau pihak berpangkat lainnya, banyak kok
sebenarnya anak yang dicubit guru, ketika ia melapor ke orang tuanya malah
siswa itu dimarahi oleh orang tuanya. Memang setiap kekerasan itu ada hukumnya,
namun kita sebagai wali murid juga harus membijaksanai, apa, dan kenapa guru
bisa mencubit anak didiknya.
Apakah benar seperti yang dikatakan
isbay, bahwa kita belum siap dengan pendidikan.mungkin saja benar, mungkin saja
tidak, saya tidak mengerti soal itu, namun yang jelas saya sepakat bagaiman
system dan manjemennya lah yang harus diperbaiki. Di finlandia misalnya, kenapa
tanpa UN siswanya baik dan berkembang,bisa jadi ini soal manjemen dan sistemnya
karena pendidikan itu tanggung jawab bersama,baik itu pemerintah, masyarakat
dan juga orang tua.
Aldi
: Saya hanya ingin berbagi saja ketik
dulu sekolah. Saya sekolah di pesantren, dan
sering di hukum. Semua hukuman di pesantren itu pernah saya terima
dan hukumannya selalu menulis kan
kalimat dengan jumlah 1000 kali (arab dan latin). Itu membuat bosan, lebih
senang jika di hukum mengangkat kayu atau bata, karena lebih rami. Saya sering
di hukum karena saya sering bolos.
Kenapa saya bolos, karena benci gurunya. Suasana sekolah membuat saya bosan.
Berbeda ketika saya pindah sekolah, awalnya sempat bosan, tapi lama kelamaan, akhirnya
selesai,kaena suasananya mendukung, guru, teman dan lainnya.
Novi: Di tanbu, sekolah sampai jumat,
alasannya biar anak punya banyak waktu luang. Jadi Seragam pramuka biasa dipakai hari sabtu, di
ganti hari jumat.disatu sisi ini mungkin bagus, tetapi sangat membenani anak dan orang tua. Apalgi
jika ada anak yang harus membatu
orangtua bekerja.
Paula
: mental peserta didik sekarang ini
juga harus jadi perhatian, agar tidak cengeng, dan hukuman dari guru juga harus
diperbaiki. Saya sepakat dengan hukuman, tapi kkarena ini hukuman, alangkah
baikya jika hukumannya juga dalam rangka pengembang pendidikan. Nilai-nilai
pendidikan harus melandasi dalam
pemberian hukuman pada siswa.
Penutup : Ada banyak hal jika kita mau
mengktitis soal pendidikan kita, tetapi pusat perhatiannya sama: administrasi
pendidikan (anggaran, bantuan operasional sekolah, rancang bangun kurikulum,
standar formal kompetensi guru, ujian nasional, dan sejenisnya).
Esensi pendidikan nyaris tak
tersentuh. Paling jauh, yang dikembangkan dalam sistem persekolahan kita
hanyalah "pengajaran" (onderwijs), yakni pemberian materi berkaitan
dengan pengetahuan dan keterampilan. Mata pelajaran sarat muatan kognitif.
Sukses pendidikan diukur oleh pencapaian anak dalam bidang penalaran seperti
itu, seperti tecermin dalam muatan ujian nasional. Tak heran, banyak orangtua
menambah jam pelajaran anaknya dengan mengikuti sejumlah kursus dalam/luar
sekolah.
Solusi atas keterbelakangan hasil
pendidikan kita harus dimulai dengan memperkuat pendidikan dasar. Sesuai
namanya, pendidikan dasar harus benar-benar memberikan modal dasar dalam proses
belajar menjadi manusia seutuhnya. Pendidikan sebagai proses kebudayaan
menghendaki agar proses belajar-mengajar tidak hanya berorientasi pada
pengembangan kemampuan kognitif, tetapi juga kemampuan afektif dan konatif.
Maka kurikulumnya harus jelas.
Apalgi kurikulum pendidikan dasar, harus memberi perhatian pada olah pikir
lewat pembelajaran membaca, menghitung, menutur, mendengar, menulis, dan
meneliti dalam kerangka budi pekerti.
Tulisan Yudi Latif pada opini kompas edisi 04 Agustus 2016