pemeran teater monolog sekelam malam, sehitam batubara - dipentaskan di Banjarmasin - foto Arif Riduan |
Naskah Teater Monolog Y.S. Agus Suseno
ingat !!!!
(TENGAH MALAM. DI TEPI JALAN RAYA. DI DEPAN RUMAH MAKAN YANG SUDAH TUTUP. SEORANG WANITA GELISAH. BERJALAN MONDAR-MANDIR. SESEKALI MELINTAS SOROT LAMPU MOTOR, MOBIL, BIS, TRUK ANGKUTAN DAN SIRINE AMBULANS.)
Aduuuh... Ke mana dia? Habis jualan di pasar tungging katanya tadi dia mau menjemput, usai aku kerja di Rumah Makan Ma Haji ini. Jangan-jangan dia men-zenith dan mabuk-mabukan lagi dengan preman pasar itu. Handphone-nya tidak aktif. Aduuuh...
Mungkin almarhum Mama benar, aku terlalu cepat menerima Kak Udin sebagai suami. Tapi bagaimana lagi? Dia masih terbilang sepupu. Dialah yang menyelamatkan muka keluarga ketika aku hamil, mengandung benih Kak Amat.
Ah, Kak Amat... Mengapa jalan hidup dan cintaku berliku-liku? Apakah ini takdir? Tidak. Almarhum Abah mungkin benar. Dulu, sambil mengantar dan menjemputku di sekolah, Abah bilang: Kakek melihat ada sesuatu yang aneh saat aku lahir. Bidan kampung sempat bingung. Kata Kakek, dibandingkan dengan cucunya yang lain, cuma aku yang tidak menangis saat dilahirkan.
Ketika Abah bertanya, Kakek buru-buru menanam tembuniku di bawah pohon kenanga di halaman rumah. Abah bercerita saat hujan deras, ketika kami berteduh di gardu, di bawah pohon besar di pinggir jalan. Tubuhku menggigil kedinginan. Abah mengusap rambut dan bajuku yang basah, bercerita tentang masalah yang dihadapinya bersama warga, yang dipaksa menjual kebun karet warisan Kakek pada perusahaan tambang batu bara.
Abah menyayangiku. Aku anak perempuan satu-satunya. Saudaraku yang lain tak sempat lahir ke dunia. Mama sering keguguran. Usahanya membantu Abah menyadap karet di kebun peninggalan Kakek yang kecil telah merusak janinnya. Naik-turun gunung setiap hari, setiap subuh, sebelum fajar menyingsing, membuat kesehatan Mama memburuk. Kalau asmanya kumat, Mama hampir tak bisa bernapas.
Mama meninggal bersama janinnya saat melahirkan... Kenangan yang menyiksa... (Gelisah.) Hei, ke mana dia? Seharusnya dia sudah datang! Jangan-jangan dia mampir ke warung jablay dan menggoda perempuan nakal itu lagi, pandayangan! Bagaimana aku pulang?
Ah, Kak Amat... Lelaki pertama dalam hidupku. Dia pandai membuat aku tertawa. Tahu cara menyenangkan wanita. Pandai sekali mencium. Awalnya, dia bekerja di tambang batu bara, kemudian jadi musuhnya.
Kami bertemu pertama kalinya sesudah aku menari gandut bersama kawan-kawan di pesta perkawinan kerabat. Suara musik, canda tawa dan keriuhan itu masih terngiang sampai sekarang... (Larut dalam kenangan, sesaat melakukan gerakan tari gandut.)
Sejak itu, Kak Amat sering datang ke rumah, membawakan obat asma buat Mama, juga gula, kopi dan tembakau buat Abah. Mama-Abah segera takluk. Kak Amat pintar bicara, pandai membawa diri. Enam bulan kemudian dia datang lagi ke rumah dengan mata merah, marah-marah.
Kata Kak Amat, dia dipecat dari pekerjaan karena bertengkar dengan atasannya: “Abah-Mama tahu, kekayaan alam kita dikuras segelintir orang yang bersekutu dengan pengusaha tambang dan pemimpin daerah. Mereka sama saja dengan Belanda, yang tambang batu baranya di Pengaron, Orange van Nassau, dulu diserang Pangeran Antasari! Warga, Tuan Guru dan alim ulama diam saja melihat kekayaan alam kita dikuras. Kita hanya dapat ampas!”
(TIBA-TIBA LAMPU LISTRIK PADAM. DI KEGELAPAN, DIA MENCARI KOREK API DALAM TAS. SAMBIL MENYALAKAN KOREK API, DIA BICARA DI KEGELAPAN.)
Sialan! Lampu padam lagi! (MENYALAKAN KOREK API.) Pemadaman lagi, lagi, lagi, lagi! Mana aku sendirian di sini. Mana banyak nyamuk. Kak Udin belum juga kelihatan batang hidungnya. (MENYUMPAH.) Hah! (MENYALAKAN KOREK API.) Semoga anakku yang kutitipkan di rumah Acil tidak terbangun dari tidurnya. Dia takut gelap. (MENYALAKAN KOREK API.) Kak Amat pernah bilang: kita seperti tikus mati di lumbung padi. Kita mengirim berjuta-juta ton batu bara untuk menyalakan listrik di pulau lain, di negeri seberang, tapi kita sendiri kekurangan listrik. (MENYALAKAN KOREK API.) Di pelosok-pelosok desa, di pegunungan Meratus dan di pulau-pulau kecil di banua belum ada listrik. Sialan!
(LAMPU LISTRIK TIBA-TIBA MENYALA KEMBALI.)
(MENARIK NAPAS LEGA.) Begitulah Kak Amat. Dia selalu bersemangat. Di lain waktu, saat menemaniku beli baju di pasar, dia bilang:
“Aku bergabung dengan kelompok peduli lingkungan. Kami mau melawan ketidakadilan, arogansi pengusaha dan ketidakpedulian pemimpin daerah terhadap rusaknya alam akibat tambang batu bara dan kebun sawit. Kamu kira banjir dan kebakaran lahan dan hutan yang hampir tiap tahun itu terjadi dengan sendirinya, akibat musim hujan belaka? Bukan! Itu ulah manusia. Alquran sudah mengingatkan hal itu: kerusakan di muka bumi terjadi akibat ulah tangan manusia. Karena letaknya yang rendah, setiap tahun, tiap musim hujan, di beberapa daerah memang terjadi banjir sejak dulu, tapi tidak selalu! Banjir dan kebakaran lahan kian sering terjadi sejak alam rusak akibat tambang batu bara dan kebun sawit. Warung pas dan warung jablay muncul sejalan dengan industri pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit. Separo lebih alam Kalimantan Selatan telah dikuasai tambang batu bara!”
“Tapi perusahaan itu membuka lapangan kerja. Banyak orang kita bekerja di sana,” kataku.
“Orang kita, katamu?” Kak Amat geram. “Orang kita cuma makelar, buruh kasar, pekerja rendah dengan gaji murah. Jagoan kampung, tacut dan tarkul, direkrut jadi centeng, persis zaman kolonial. Pemiliknya orang kita juga, yang bersekutu dengan pemodal nasional dan multinasional serta pemimpin daerah yang bagai lintah, menghisap kekayaan alam banua, persis Pemerintah Hindia Belanda!”
Aku tak begitu paham, tapi semangatnya yang menggebu-gebu membuatku takjub, terpukau, terpesona, terlena. Lalu, aku hamil, Kak Amat tewas tertembak -- atau sengaja ditembak, aku tak tahu -- dalam unjuk rasa mempertahankan tanah ulayat, tanah adat milik warga Dayak Meratus, yang akan dijadikan areal tambang.
Kak Amat mati. Janin di perutku harus diselamatkan. Kak Udin datang sebagai pahlawan. Setelah melahirkan, Kak Udin pula yang mencarikan aku pekerjaan di Rumah Makan Ma Haji ini. Ah, kenangan yang menyiksa... Hidupku sekelam malam, sehitam batu bara... Kak Udin... (Gelisah.) Hei, ke mana dia? Ini sudah jam berapa? Seharusnya dia sudah datang! Dia pasti mampir ke warung jablay dan menggoda perempuan nakal itu lagi, pandayangan! Bagaimana aku pulang?
Lampu Padam
Banjarmasin, 20 September 2017