Naskah Teater Monolog Y.S. Agus Suseno
ingat !!!!
Pementasan harus seizin penulis, melalui pangayauan@gmail.com
(Seorang wanita tua, berkaca mata, membawa tas dan berdandan ala Eropa. Tidak bertongkat, tapi membawa payung tertutup yang di saat-saat tertentu dipergunakan sebagai tongkat untuk menyangga tubuhnya.)
Di sinilah awal bermula, di sini pula semuanya akan berakhir. Tak ada yang lain. Tembuniku ditanam di bantaran sungai ini, jauh di masa silam, saat alam lingkungan dan segalanya masih sedia kala, ketika nafsu berkuasa, kerakusan dan perilaku manusia yang durjana belum merajalela. Surga seakan turun ke bumi di pagi hari, saat kembang tigarun, rambai, gayam dan jingah merekah; ketika air sungai pasang-surut, ketika ilung hanyut.
Kini segalanya tak lagi sama. Aku bukan lagi remaja yang sedang menuntut ilmu di sekolah kepandaian puteri. Kini tempat sekolahku dulu dinamakan Kompleks Mulawarman. Dulu pemerintah punya pemikiran bagus untuk memajukan pendidikan. Lembaga pendidikan dikumpulkan di satu tempat. Kini tempat itu sudah kacau, antara kompleks pendidikan, pertokoan dan permukiman tak jelas lagi. Ah...
Aku sudah tua, sudah tiba saatnya memilih tempat untuk mati, di sini, di tanah tumpah darahku ini, tempat nenek moyangku menguburkan tembuni. Tembuniku ditanam di sini. Meskipun puluhan tahun tinggal di benua Eropa, aku harus mengembalikan jasadku di tanah kelahiran. Aku tak ingin mengingkarinya, tak ingin dikubur di sana, di negeri empat musim yang jauh, tempat hidup dan cintaku berlabuh.
Eropa yang megah, benua yang serakah, tempat aku menyelamatkan diri bersama keluarga setelah peristiwa tahun ’65. Aku tak tahu apa-apa, hanya murid sekolah kepandaian puteri yang tak paham politik, tapi harus menyelamatkan diri setelah peristiwa tahun ’65.
Keputusan itu tak pernah kusesali. Setelah peristiwa tahun ’65, di sini memang tak terjadi pembantaian dan pembunuhan massal seperti di daerah lain di Indonesia. Tak ada mayat mengapung dan membusuk di Sungai Martapura, entah dibunuh tentara atau organisasi massa. Air sungai tetap mengalir perlahan, keruh dan coklat, pasang-surut, membawa batang pohon mati dan ranting kayu yang hanyut, dari hulu ke kuala.
Orang Banjar yang taat beribadah lebih menghormati Tuan Guru dan alim ulama ketimbang tentara. Apalagi bekas tentara KNIL yang, di masa lalu, setelah penyerahan kedaulatan, justeru jadi Belanda baru. Mantan gerilyawan disingkirkan. Tak ada tempat bagi yang tak berpendidikan. Itulah alasan Ibnu Hadjar dan kawan-kawan melakukan pemberontakan.
Di usia belasan tahun, puluhan tahun lalu, aku harus pergi meninggalkan kampung halaman. Kalau tidak, aku dan Abah akan ditangkap. Organisasi kepanduan yang kuikuti dituduh berafiliasi dengan PKI. Sebelumnya, beberapa pengurus Comite Central PKI telah ditangkap dan dijebloskan ke penjara Teluk Dalam.
Bersama Abah, Mama dan adik-adik, diam-diam, di malam hari, dengan sembunyi-sembunyi kami pergi naik perahu layar di Pelabuhan Lama, menuju Surabaya. Beberapa pekan di sana, teman Abah berniaga yang berhati mulia menyarankan agar kami buru-buru pergi ke Eropa, mencari suaka. Kalau tidak, rezim Soeharto yang otoriter akan menangkap Abah yang dituduh menjadi anggota organisasi terlarang, simpatisan komunis. Nama Abah sudah masuk daftar.
Dari Surabaya, kami naik kapal ke Singapura. Setelah beberapa bulan terkatung-katung di sana, akhirnya kami bisa berlayar ke benua Eropa. Masa-masa awal di Eropa, hidup terlunta-lunta sebagai orang tanpa negara, adalah masa yang penuh derita. Hidup kami perlahan mulai membaik setelah mendapat suaka politik.
Aku tidak dendam pada masa lalu, juga kepada orang yang memfitnah aku dan Abah dahulu. Abah-Mama telah berpulang dengan tenang. Jasadnya ditanam di negeri yang tak mereka cintai, tapi dengan terpaksa harus dihuni. Abah-Mama mencintai kami, anak-anaknya, darah dagingnya. Itulah sebabnya Abah-Mama membawa kami pergi meninggalkan tanah kelahiran ini: untuk keselamatan dan masa depan kami.
Orang yang memfitnah kami telah tiada. Anak-cucunya tak tahu apa-apa. Kemarin aku menemui mereka di tempat tinggalnya. Mereka hanya korban sistem politik yang kejam, yang telah membunuh kemanusiaan.
Ketika akan pergi ke mari tempo hari, adikku yang tinggal di Perancis dan Belanda sempat melarang. “Kakak tidak takut ditangkap?” tanya adikku dalam bahasa Perancis. “Sudahlah, tak usah pergi ke sana. Yang ada cuma sepupu kita, anak saudara Abah dan Mama. Apakah mereka ingat kita? Apakah mereka sudi menerima?”
“Aku sudah kontak mereka melalui e-mail,” kataku. “Jangan khawatir. Presiden Soeharto telah tiada. Aku hanya ingin menjalin tali silaturahmi yang lama putus dengan sepupu kita di Tanah Banjar. Mereka akan kuminta menemani, mendatangi tempat-tempat di masa aku remaja. Kamu tak seperti aku, yang tak punya ingatan masa lalu. Saat kita pergi, kamu berdua masih kecil...”
Adik-adikku tak bisa melarang. Suamiku yang berasal dari Suriname sudah tiada. Anak tunggalku tahu sifat ibunya. Dia percaya saja. Lagi pula, dia tak bisa meninggalkan suami, anak-anak dan pekerjaannya di Belgia. Sekarang, di sinilah aku, di tepi sungai ini. Setelah mengantarkan aku ke sini, anak sepupuku kuminta pergi, untuk nanti menjemputku kembali ke hotel. Senja ini aku ingin sendiri saja, di sini, di Siring Sungai Martapura ini, mengenang jalan hidupku yang berliku dan masa silam yang buram.
Segalanya telah berubah. Semua tak lagi kukenali. Kota yang berusia hampir lima abad ini mengingkari sejarahnya sendiri. Kecuali Gereja Batu, tak ada lagi bangunan peninggalan masa lalu. Sebuah kota tanpa identitas budaya. Sungai, rumah lanting dan pepohonan, anak-anak yang mandi dan berenang dengan riang gembira, kini sudah tak ada. Sungai Martapura kini persis cafe di Eropa, menerima siapa saja yang datang, demi uang. Persis air sungai yang menerima apa saja yang dilemparkan ke dalamnya. Keramaian yang sunyi. Ah...
Di hotel, sebelum dijemput anak sepupu Abah-Mama tadi, aku termangu, ragu-ragu, sempat berpikir untuk pulang kembali ke Eropa, berkumpul dengan anak-cucu saja dan mati di sana. Pemandangan sepanjang jalan dari bandara ke hotel di Ibu Kota Tanah Banjar ini membuatku terkesima. Mata tuaku melihat kota ini bagai remaja tanpa jiwa: hampa. Persis perempuan cantik hasil operasi plastik.
Untunglah, tubuh tuaku masih sanggup menolak hasrat untuk pulang kembali ke Eropa itu. Di sekolah kepandaian puteri dulu aku sempat belajar menari lenso yang, sebelum peristiwa tahun ’65, jadi kegemaran Presiden Soekarno. Di Paris, setelah mendapat suaka politik dan menjadi warga negara Perancis, di mana Abah membuka Restoran Indonesia bersama kawan-kawannya sesama eksil, aku sempat belajar tari balet di sekolah yang disediakan pemerintah.
Tubuhku masih kuat, tapi entahlah... Keramaian ini, anak muda tanpa jiwa dan masa lalu ini, yang hilir-mudik dan lalu-lalang bagai robot ini, yang masing-masing pegang gadget dan memperlakukan benda itu seperti berhala baru, membuatku termangu. Saat azan Ashar tadi bergema di Masjid Raya, mereka seakan tak mendengarnya.
Mendengar suara azan, mereka biasa saja, seolah bukan panggilan untuk beribadah. Kecuali untuk komoditas politik, etika dan nilai-nilai agama rupanya sudah tak laku. Tak ada lagi rasa malu, seperti di masa remajaku dahulu.
Ah... Cahaya matahari di pepohonan itu... Awan dan langit jingga... Lembayung senja... Senja kala... Sebentar lagi Magrib tiba... Aku, almarhum Abah-Mama dan adik-adikku memang terlahir Muslim, meskipun, semasa di Eropa, kami tidak taat beribadah. Tapi aku Muslim. Kalau tiba saatnya menutup mata, aku ingin dimakamkan secara Islam...
(Bayangan hitam-putih masa lalu berkelebat di matanya: kapal uap Belanda yang perlahan menyusuri Sungai Martapura, jukung tambangan, pepohonan dan rumah-rumah lanting yang berderet di pinggir sungai. Setelah bayangan hitam-putih menghilang, tubuh wanita tua itu tiba-tiba tersentak, tersengal, perlahan berbaring.)
Ah, mataku berkunang-kunang. Mungkin kurang istirahat. Aku lelah. Mengantuk... La’illaha illallah, Muhammaddarassulullah...
Lampu Padam
Banjarmasin, 28 September 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar