David Bayu Narendra
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kita
 telah mengenal hukum sebagai suatu himpunan kaidah-kaidah yang bersifat
 maksa atau dengan perkataan lain suatu himpunan peraturan-peraturan 
yang bersifat emaksa. Peraturan-peraturan itu dibuat untuk melindungi 
kepentingan-kepentingan manusia pada saat melakukan hubungan dengan 
sesamanya dalam pergaulan hidup.
Selain
 hukum sebagai suatu himpunan peraturan, maka terdapat pula cita-cita 
mengenai hukum yang tumbuh dan berkembang sedemikian kuat dan mendalam 
sehingga dalam perasaan dan percakapan sehari-hari telah berubah menjadi
 suatu tuntutan hukum yang diakui dan dipertahankan.
Anjuran
 bagi penguasa untuk tidak menyelundupkan kepentingan-kepentingan mereka
 atau kelompoknya dalam bentuk peraturan-peraturan formal yang dapat 
dikeluarkan berdasarkan wewenang yang dimilikinya, merupakan suatu 
anjuran moral atau rasa susila yang seyogyanya senantiasa ada pada batin
 mereka. 
Kaidah
 moral atau kesusilaan hanya menimbulkan kewajiban-kewajiban daripada 
hak kepada orang-orang yang diharapkan memenuhi anjuran yang menjadi 
peraturan dalam nurani mereka, sehingga jika penguasa tersebut akan 
memandang moral atau rasa susila tersebut sebagai hak orang lain (dalam 
hal ini rakyat dan masyarakat bangsa), maka ia akan meninggalkan upaya 
penyelundupan hukum-demi kepentingan mereka yang berkedok hukum 
formal-dan membuat peraturan-peraturan yang berorientasi kepada 
kepentingan rakyat banyak. Dengan kata lain, hukum menetapkan kode moral
 yang lazim atau dilakukan dalam berbagai hubungan sosial dan fungsi 
sosial manusia atau suatu moralitas hukum yang spesifik, yang terdiri 
dari pencerminan pendapat-pendapat moral yang terdapat dalam masyarakat 
pada umumnya dan yang harus dikembangkan dalam praktik di bidang hukum, 
termasuk penerbitan peraturan-peraturan oleh penguasa yang memiliki 
wewenang untuk itu.
Akhirnya,
 hukum sebagai keseluruhan dapat dilihat sebagai penggabungan 
moralitas/keadilan sosial, terhadap mana individu-individu, 
kelompok-kelompok atau organisasi pemerintah harus senantiasa 
mengorientasikan tingkah lakunya. Karena tuntuan masyarakat dapat sangat
 berbeda dengan pembuat hukum, maka mereka sebaiknya kita harus menduga 
bahwa konsepsi-konsepsi mengenai kewajaran sosial, politik, ekonomi, dan
 khususnya kewajaran hukum, seperti yang tercantum dalam hukum harus 
merupakan perwujudan moralitas sosial.
Filsafat
 hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendasar dari 
hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, “tentang 
dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum”, merupakan contoh-contoh 
pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar itu, filsafat hukum 
bisa dibandingkan dengan dengan ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama 
menggarap hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang 
sangat berbeda. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata 
hukum tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asas-asas, 
peraturan-peraturan, bidang-bidang serta sistem hukumnya sendiri.
Filsafat
 hukum menghendaki jawaban atas pertanyaan: “Apa yang dimaksud dengan 
hukum?” Filsafat hukum menginginkan kita berfikir secara mendalam dan 
bertanya pada diri sendiri: “Apa pendapat kita mengenai hukum?” Apakah 
ilmu hukum positif dapat menjawab dua pertanyaan tersebut? Jawabannya 
adalah dapat. Namun ilmu hukum tidak dapat memberikan jawaban yang 
memuaskan, karena jawaban yang dihasilkan tidak akan sekomprehensif bila
 dijawab oleh filsafat hukum. Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala 
hukum saja, yang hanya dapat dilihat dengan pancaindra, yang menjelma 
dalam perbuatan-perbuatan manusia dalam kebiasaan-kebiasaan masyarakat 
dan dalam kebiasaan-kebiasaan hukum. 
Ilmu
 hukum positif tidak dapat mengamati kaidah-kaidah hukum yang merupakan 
pertimbangan nilai-nilai, karena berada jauh di luar pandangannya. 
Kaidah hukum masuk dalam tataran dunia nilai, tataran sollen. 
Ketika ilmu hukum tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan (penting) 
mengenai hukum, maka saat itu pulalah filsafat hukum mulai bekerja dalam
 mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab tersebut. 
Kaidah-kaidah hukum adalah pertimbangan nilai-nilai, yaitu 
pertimbangan-pertimbangan tentang sesuatu yang seharusnya kita lakukan 
atau tidak kita lakukan dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Kaidah 
hukum menghendaki diikuti sebagai sebuah otoritas sehingga dengan 
demikian mempunyai sifat perintah, suruhan dan larangan. Suatu kaidah 
dapat berubah menjadi kaidah hukum, jika kaidah tersebut dikeluarkan 
oleh negara berupa peraturan-peraturan yang harus menjadi pedoman bagi 
pemerintah dan bagi kekuasaan pengadilan saat melakukan tugasnya serta 
kaidah hukum mempunyai ciri bahwa ia dipertahankan oleh paksaan 
pemerintahan atau setidak-tidaknya oleh paksaan yang terorganisir. Jika 
diamati, maka ketiga pengertian tersebut memiliki persamaan yaitu 
meletakkan hubungan yang erat antara hukum dan negara (atau penguasa) 
dan bahwa ketiga pengertian tersebut merupakan hasil dari penelitian 
secara empiris dalam mencari ciri persekutuan untuk peraturan-peraturan 
yang biasanya disebut peraturan-peraturan hukum.
B.     Kerangka Pikir
Benarkah
 kaidah hukum memperoleh otoritasnya dan oleh karenanya masyarakat 
mengakui kaidah tersebut dengan cara mentaatinya, karena:
1)      Hanya karena orang-orang yang menciptakannya,
2)      karena orang-orang yang mengakuinya sebagai hukum, atau
3)      Karena nilai batinnya/nilai keadilannya sendiri? 
Dari
 mana pemerintah/penguasa pada suatu negara memperoleh hak untuk 
memaksakan pertimbangan-pertimbangan nilainya kepada orang lain sebagai 
suatu perintah? Secara garis besar, terdapat tiga ajaran yang berusaha 
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, yaitu: 
1)      Raja memperoleh kekuasaannya karena langsung diangkat oleh Tuhan, merupakan kehendak Tuhan (theocratisch atau hukum kodrat),
2)      Pemerintah langsung memperoleh kekuasaannya dari kehendak rakyat dan hanya secara tidak langsung dari Tuhan (scholastik pada abad pertengahan),
3)      Segala hukum adalah hukum manusia (rasionalisme dari aufklarung abad ke 18).
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hukum di Indonesia sedang sekarat
Masyarakat
 Indonesia sedang  bingung menebak akhir cerita  beberapa ”sinetron 
hukum” yang ditayangkan di negeri ini. Bahkan, beberapa berakhir dengan 
teka-teki misterius. Bagi segenap anak bangsa, negara hukum lahir karena
 kerinduan yang mendalam terhadap terwujudnya keadilan. Hukum bukan 
sekadar alat untuk menciptakan ketertiban, melainkan yang utama adalah 
untuk menegakkan keadilan.
Sayangnya,
 jalan menuju tegaknya keadilan melalui hukum di negeri ini kian 
tersaruk-saruk. Hukum bukan semata dipahami secara prosedural 
legalistik, melainkan sudah diperdagangkan secara murah tidak lagi dalam
 pasar gelap bahkan pasar terang. Pembelinya bukan hanya makelar, 
melainkan juga mafia. Oleh karena itu, yang terjadi di negeri ini bukan 
hanya tak ada kepastian hukum, melainkan membawa kehancuran hukum, 
sekarat dan mengantarkan kepada kematian.
Negeri
 yang memproklamasikan sebagai negara  hukum, bersilat di jalan bahasa, 
memapankan keserakahan, mengerucutkan kekuasaan, membudayakan 
kemunafikan, menyumbat  telinga  dengan harta dan martabat, membungkam 
mulut dengan iming-iming dan ancaman. Asas manfaat seharusnya memberi 
manfaat kepada sesama menjadi memanfaatkan, mengeksploitasi dengan 
mengisap tenaga, pikiran, dan harta. Istilah kerennya ”aji mumpung”. 
Sering dipakai sebagai modus operandi untuk memuluskan segala 
tujuan.Memuaskan hasrat keduniawian sesaat atas nama pertemanan, teman 
sejawat, dan hubungan kedinasan. Begitu mengisap dan menguras habis 
darah rakyat ditinggalkan bagaikan raga tidak bernyawa. Manusia-manusia 
pengisap ”darah”negeri ini melenggang dengan wajah tanpa dosa yang 
membuat negeri ini pucat pasi, terseok-seok, bahkan kesulitan untuk 
sekadar bernapas.
Inilah
 negeri adiluhung di mana kebenaran ditaklukkan oleh rasa takut dan 
ambisi. Keadilan ditundukkan oleh kekuasaan  dan kepentingan. Nurani 
dilumpuhkan oleh nafsu dan angkara. Citra negeri ini memburuk di mata 
internasional. Sebuah kampanye jelek yang bisa menghancurkan minat 
investor untuk menanamkan modalnya di negeri ini. Hukum kita sedang 
sekarat. Gempa dan tsunami dalam bidang hukum datang 
bertubi-tubi.Semacam alarm dari Tuhan untuk orang-orang yang berpikir, 
hukum kita telah lari dari ilmu Tuhan.
Mari
 sejenak kita melihat rancangan alam. Tatanan alam berlangsung dalam 
pola interaksi yang disebut sebagai keteraturan alam semesta. Semua 
interaksi alam tunduk pada satu suprasistem, yaitu Sang Pencipta Alam 
Semesta. Ada beberapa contoh ilmu yang mempelajari rancangan di alam dan
 memecahkan masalah berdasarkan rancangan alam. Menara Eiffel dilihami 
struktur tulang paha seperti jeruji berbentuk sangkar. Kevlar bahan 
pembuat baju antipeluru berdasarkan penelitian benang laba-laba yang 
kekuatannya lima kali baja. Belalang tidak pernah tabrakan karena ada 
pengindraan listrik di ujungnya sedang ditiru untuk menghindari tabrakan
 pesawat terbang. Untuk menghindari kebisingan pesawat udara sedang 
diteliti terbangnya burung hantu yang tidak bersuara. Kalau ilmu lain 
mengambil pelajaran dari ilmu ciptaan Tuhan mengapa ilmu hukum bersifat 
sekuler.
Tanggung
 jawab yuris adalah merohaniahkan hukum. Penilaian scientia yuridis 
harus mendalam dan mendasar pada conscientia (nilai). Norma-norma 
etis-religius harus merupakan aspek normatif atau imperatif dari negara 
hukum. Dalam negara kita yang berdasarkan Pancasila, dengan adanya sila 
Ketuhanan, tiap ilmu pengetahuan termasuk hukum yang tidak dibarengi 
ilmu ketuhanan adalah tidak lengkap. Seperti yang dikatakan Albert 
Einstein, Science without religion is lame, religion without science is 
blind.
Dalam
 hadis yang sangat populer dalam dunia peradilan, Rasulullah bersabda, 
”Para hakim itu digolongkan pada tiga kelompok. Satu kelompok akan masuk
 surga dan dua kelompok masuk neraka. Mereka yang masuk surga adalah 
mereka yang mengetahui kebenaran lalu memutuskan perkara berdasarkan 
kebenaran. Hakim yang mengetahui kebenaran tetapi curang atau tidak 
jujur yang menyebabkan tidak adil dalam memberi putusan akan masuk 
neraka. Hakim yang memutus perkara manusia berdasarkan kebodohannya juga
 akan masuk neraka.” (Riwayat Abu Dawud). Hadis ini hendaknya memberi 
inspirasi dan spirit kepada hakim agar bersikap dan bertindak sesuai 
dengan moralitas dan integritas  yang dimiliki.
Tanggung
 jawab ini bukan hanya secara administratif atau legalistis di dunia, 
tetapi tanggung jawab kepada Tuhan yang Maha Esa yang benar-benar 
esensial di akhirat kelak. Hal ini jelas sekali karena dalam setiap 
memberi keputusan, hakim harus dengan tegas mengucapkan dan menuliskan 
ungkapan, ”Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Hakim 
sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Pencari keadilan 
datang kepadanya untuk mohon keadilan.
Dalam tuntunan agama Islam, perlakuan adil wajib ditegakkan terhadap siapa saja, kendati terhadap orang yang tidak seagama Q.S. 42 (Asy-Syura): 15. ”Jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri, ibu bapa dan kaum kerabatmu....” Q.S. 4 (An-Nisaa): 135. Surat-surat ini mengandung prinsip tidak pilih kasih (nonfavoritisme dan antinepotisme) dan prinsip tidak berpihak (fairness/impartial).
Dalam tuntunan agama Islam, perlakuan adil wajib ditegakkan terhadap siapa saja, kendati terhadap orang yang tidak seagama Q.S. 42 (Asy-Syura): 15. ”Jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri, ibu bapa dan kaum kerabatmu....” Q.S. 4 (An-Nisaa): 135. Surat-surat ini mengandung prinsip tidak pilih kasih (nonfavoritisme dan antinepotisme) dan prinsip tidak berpihak (fairness/impartial).
Dengan
 kekuasaan apa pun bisa dilakukan, kalau penguasa berperan sebagai 
juragan, sedangkan para penegak hukum sebagai abdi negara dininabobokan,
 dengan memberikan fasilitas-fasilitas. Hukum laksana sarang laba-laba 
hanya mampu menjerat kepada kaum lemah belaka, sementara penguasa dan 
cukong sangat mudah menjebol sarang tersebut, bahkan tidak perlu karena 
pintu masuk sudah tertata rapi yang kunci pembukanya ada di saku 
penguasa.
Orang
 akan dapat melakukan pemahaman terhadap hukum secara lebih baik 
manakala ia secara sengaja pula mempelajari penyakit-penyakit hukum. 
Penegakan hukum yang hanya berpijak pada nilai positivisme menganggap 
hukum sebuah bangunan atau tatanan logis rasional, yakni membuat rumusan
 atau definisi-definisi yang spesifik hukum, memilahkan, menggolongkan, 
diterapkan belaka terhadap undang-undang. Dengan demikian, hukum hanya 
benar-benar menjadi wilayah esoterik bagi praktisi hukum. Dengan cara 
tersebut, hukum dipisahkan dari realitasnya yang penuh dan jauh dari 
nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam realitas sosialnya.
Kemampuan
 untuk mencari kebenaran membawa kita kepada sikap, yang benar adalah 
benar yang salah adalah salah. Pemihakan kepada yang benar harus 
dilakukan agar terhindar dari segala kesusahan akibat kebodohan sendiri.
Merujuk pada mekanisme alam, sebuah bencana sebagaimana bencana dalam dunia hukum adalah media penataan keseimbangan untuk mempersiapkan munculnya generasi hukum baru, sebagaimana meletusnya gunung berapi, badai lautan, gempa bumi, tanah longsor, dan lain-lain akan melahirkan generasi alam yang baru. Dalam setiap peristiwa alam terkandung peringatan agar manusia bersungguh-sungguh berpikir dan kembali kepada ilmu Tuhan.
Merujuk pada mekanisme alam, sebuah bencana sebagaimana bencana dalam dunia hukum adalah media penataan keseimbangan untuk mempersiapkan munculnya generasi hukum baru, sebagaimana meletusnya gunung berapi, badai lautan, gempa bumi, tanah longsor, dan lain-lain akan melahirkan generasi alam yang baru. Dalam setiap peristiwa alam terkandung peringatan agar manusia bersungguh-sungguh berpikir dan kembali kepada ilmu Tuhan.
B.     Ketaatan Orang terhadap Hukum yang Sekarat
Pada abad ke 19, ajaran theocratisch
 masih terus hidup dalam berbagai corak dan bentuk, namun ajaran 
tersebut tidak lagi memberikan kewenangan kepada pemerintah dalam 
pemberian sanksi-sanksi tertentu kepada masyarakat dalam pelanggaran 
terhadap hukum. Hal ini disebabkan, pada abad tersebut pemerintah tidak 
lagi merupakan penjelmaan agama dan tak mengakui kitab suci sebagai 
pedoman dalam kehidupan masyarakat. Pembela ajaran ini di abad 19 adalah
 Julius Stahl (1802-1861): “Negara adalah badan yang diberikan kuasa 
penuh oleh Tuhan, akan tetapi yang diberikan wewenang penuh bukanlah 
aparatur pemerintahan, akan tetapi negara sendiri sebagai badan”. Hukum 
memperoleh kekuatan mengikatnya dari ordonansi ketuhanan yang merupakan 
dasar suatu negara. Meskipun hukum merupakan buatan manusia, namun ia 
digunakan untuk membantu mempertahankan tata tertib dunia ketuhanan. 
Teori
 perjanjian mendalilkan ajarannya bahwa sumber kekuasaan pemerintah 
berada pada kehendak manusia/warganegara sendiri. Warganegara wajib taat
 kepada pemerintahan dan hukum, karena dengan tegas atau dengan 
diam-diam mereka dengan keinginan dan kesadaran sendiri secara penuh 
telah membuat perjanjian seperti itu. Ajaran ini diperkenalkan dan 
dipraktekkan melalui berbagai cara pertama kali pada zaman Yunani oleh 
kaum sophist dan epicurust. 
Dalam
 abad pertengahan, pikiran seperti itu semakin meluas meskipun tidak 
dapat dilaksanakan secara penuh, oleh karena bertentangan dengan 
pandangan keagamaan pada saat itu. Sehingga pikiran baru tersebut 
dilakukan dalam bentuk lama: Tuhan memberi rakyat kewenangan untuk 
membentuk pemerintah, dan rakyatpun mempergunakan kewenangan itu dengan 
menyerahkannya kepada raja atas dasar suatu perjanjian. Oleh kaum 
monarchomachen pada abad XVI ajaran tersebut digunakan untuk melakukan 
pembelaan terhadap “hak suci memberontak” terhadap raja-raja lalim, yang
 melakukan pelanggaran terhadap perjanjian-perjanjian yang telah dibuat.
 Pada abad ke XVII terjadinya negara dan tata hukum didasarkan atas 
perjanjian, yang tidak semata-mata merupakan perjanjian yang dilakukan 
oleh rakyat dan raja (perjanjian penaklukan), tetapi adalah sesuatu 
perjanjian yang diadakan oleh manusia yang satu dengan yang lain untuk 
mendirikan negara dan tata hukum (perjanjian masyarakat). Ajaran ini 
menjadi sangat terkenal ketika Rosseau memperkenalkannya dengan nama contract social.
 Ajaran ini pada saat sekarang sudah tidak lagi banyak dianut, oleh 
karena pada teori ini disana-sini ditemukan kelemahan-kelemahan, salah 
satunya adalah: janji hanyalah merupakan sesuatu hal yang abstrak dan 
menggantungkan kewajiban seseorang kepada kehendak suatu janji bukankah 
itu berarti menghapuskan segala kewajiban. Kemudian, bagaimana hukum 
dapat memperoleh kekuatan mengikat dari suatu kontrak yang agar dapat 
mengikat mengandaikan adanya hukum?
Ajaran
 kedaulatan negara muncul pada abad ke XIX, abad ilmu alam, yang 
mendasarkan kekuatan mengikat dari hukum adalah kehendak negara dan 
mendasarkan adanya kekuasaan negara pada sesuatu hukum kodrat (yang 
lebih kuat menguasai yang lebih lemah). Oleh karena daya hukum itulah 
maka terjadi negara yang bukan buatan manusia melainkan hasil alam. 
Melakukan
 kekuasaan pemerintahan bukan melakukan sesuatu hak yang meminta 
pembenaran, kekuasaan pemerintahan adalah suatu kenyataan yang dapat 
diterangkan dengan jalan ilmu pengetahuan dari jalannya hukum kodrat, 
yang diperoleh dengan cara melihat kenyataan empiris. Sementara itu, 
pada tingkat terakhir dari ajaran kedaulatan negara, juga memberi 
kemungkinan menunjuk kepada kehendak Tuhan sebagai yang mengadakan hukum
 kodrat itu. Yang meletakkan dasar teori ini adalah seorang swiss, Karl 
Ludwig von Haller.
Ajaran hukum “reine rechtslehre/normatif rechtsleer”
 dari Hans Kelsen yang ingin memurnikan ajaran hukum dari segala anasir 
yang bukan yuridis (politik, kesusilaan, sosiologi). Negara bukan 
merupakan dunia sein (undang-undang kausal) tetapi dunia sollen 
(undang-undang normatif). Dipandang dari sudut yuridis, negara adalah 
tata hukum itu sendiri. Negara dan hukum adalah sama, negara adalah 
penjelmaan dari hukum. 
Menurut Kelsen adalah tidak benar menjawab pertanyaan tentang alasan berlakunya hukum (sesuatu sollen)
 dengan sein. Saya seharusnya bertindak demikian, bukan karena Tuhan 
menghendakinya, melainkan karena saya seharusnya mengikuti perintah 
Tuhan. Itu adalah dasar terakhir yang tidak dapat diuraikan lebih lanjut
 untuk “sollen” yang bersifat agama. Dasar berlakunya suatu kaidah hanya
 dapat diketemukan dalam kaidah yang lain. Kaidah yang ditentukan dengan
 keputusan hakim, memperoleh kekuatan berlakunya dari kaidah 
undang-undang yang lebih tinggi dan kaidah undang-undang memperoleh 
kekuatan berlakunya dari kaidah undang-undang dasar yang lebih tinggi. 
Kaidah yang lebih tinggi dari undang-undang dasar tidak ada. 
Dengan
 demikian, terpaksa kita menerima undang-undang dasar sebagai dasar 
berlakunya dari seluruh hukum positif, sesuatu kaidah 
dasar/ursprungsnorm tetapi sesuatu kaidah yang tidak boleh dipandang 
sebagai kaidah-kaidah dasar yang mempunyai isi, sesuatu kaidah dari mana
 orang dapat mencari isi hukum, ursprungsnorm yang bersifat 
hipotetis hanya hendak menyatakan kesatuan formil dari seluruh sistem 
hukum, yang menyulap kenyataan bahwa orang-orang pemerintahan meletakan 
pertimbangan-pertimbangan nilai mereka sebagai peraturan yang mengikat, 
menjadi hukum, sehingga dengan demikian menyulap “seinskategorie” menjadi sesuatu yang menurut Kelsen merupakan kebalikannya yaitu kategori sollen.
Teori
 kedaulatan hukum dikemukakan oleh H. Krabbe, mengatakan bahwa hukum 
memperoleh kekuatan mengikatnya dari kehendak orang-orang tertentu yaitu
 orang-orang pemerintahan, orang-orang hidup di bawah kekuasaan 
undang-undang yang terbentuk melalui perwakilan rakyat. Undang-undang 
tidak mengikat karena pemerintah menghendakinya, melainkan karena ia 
merupakan perumusan kesadaran hukum dari rakyat. 
Undang-undang
 berlaku berdasarkan nilai batinnya, yakni berdasarkan hukum yang 
menjelma didalamnya. Ajaran kedaulatan hukum pada asasnya tidak mengakui
 kekuasaan seseorang, ia hanya mengakui kekuasaan batin dari hukum; ia 
tidak menerima kekuasaan pemerintahan yang dilakukan oleh orang yang 
memerintah atas kuasa diri sendiri (suo jure), akan tetapi semata-mata 
menerima kekuasaan pemerintahan yang dikeluarkan oleh hukum dan yang 
berlaku menurut peraturan-peraturan hukum. Yang terutama bukanlah 
negara, pemerintahan, melainkan yang terutama adalah hukum. 
Hukum
 tidak memperoleh kekuatan mengikatnya dari kehendak pemerintahan, 
melainkan pemerintahan hanya memperoleh kekuasaannya dari hukum. Akan 
tetapi dari manakah datangnya hukum itu dan bagaimanakah ia memperoleh 
kekuatan mengikatnya. Dijawab oleh Krabbe, bahwa hukum berpangkal pada 
perasaan hukum dan hanya memperoleh kekuasaan dari persesuaiannya dengan
 perasaan-perasaan individu. Tetapi timbul kesulitan: sesuatu kaidah 
hukum yang berpangkal pada perasaan-perasaan hukum individu hanya 
menguasai kehendak individu itu sendiri. Akan tetapi hukum sebagai 
kaidah masyarakat harus menguasai kehendak individu itu sendiri yang 
bersandar pada keyakinan hukum bersama. Akan tetapi unanimitas keyakinan
 hukum adalah sesuatu yang jarang didapatkan.
Perasaan
 hukum dan keyakinan hukum seseorang akan sangat berbeda dengan yang 
lainnya. Sehingga konsekuensi dari ajaran Krabbe adalah timbulnya kaidah
 yang beraneka ragam, sebanyak keyakinan hukum sebanyak itu pulalah 
jumlah kaidah. Akan tetapi pergaulan hidup menghendaki kesatuan kaidah 
hukum: hukum harus sama untuk semua anggota masyarakat. Itu adalah 
conditio sine qua non untuk mencapai tujuan hukum, yakni mengatur 
masyarkat. Oleh karenanya maka keseragaman kaidah hukum lebih penting 
daripada isi kaidah itu, sehingga kesadaran hukum kita memberikan nilai 
yang tertinggi kepada kesatuan kaidah tersebut, jika perlu dengan 
mengorbankan sesuatu isi yang tertentu yang lebih kita sukai.
Karena
 keyakinan-keyakinan hukum orang berlainan, kita harus memilih antara 
berbagai isi hukum untuk mencapai kesatuan hukum. Bagaimanakah kita 
harus memilih? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, Krabbe bertitik 
pangkal kepada apa yang dipandangnya sebagai aksioma:”persamaan derajat 
individu-individu yang turut membentuk hukum, atau dengan perkataan 
lain, persamaan kualitatif kesadaran hukum yang ada pada diri tiap-tiap 
orang”. Krabbe menarik kesimpulan, bahwa hukum adalah sesuatu yang 
memenuhi kesadaran hukum rakyat terbanyak dan dari mayoritas mutlak. 
Rumus tersebut dilakukannya sedemikian konsekuen, sehingga ia meniadakan
 kekuatan mengikat dari undang-undang yang tidak sesuai dengan kesadaran
 hukum orang terbanyak tersebut. Undang-undang seperti ini, yang tidak 
mengikat masyarakat dan seharusnya tidak diberlakukan lagi oleh hakim 
dan orang-orang pemerintahan lainnya.
Menurut Van Apeldoorn, maka dengan menarik konsekuensi yang sedemikian jauhnya terhadap ajarannya itu, Krabbe telah melakukan ad absurdum.
 Bagaimana dengan kepastian hukum dan perlindungan masyarakat terhadap 
kesewenang-wenangan hakim dan birokrasi. Dan bagaimana halnya nasih 
kesatuan kaidah hukum, jika para hakim dan aparatur pemerintah 
diperkenankan, bahkan diserahi kewajiban untuk menyampingkan 
undang-undang (bahkan UUD) dalam melakukan tugasnya, jika menurut 
pertimbangan mereka undang-undang (termasuk UUD) tidak sesuai dengan 
kesadaran hukum dari rakyat terbanyak, padalah hal tersebut adalah hal 
yang merupakan sesuatu yang tidak tentu dan tidak dapat ditentukan.
Kelemahan
 Krabbe tersebut terungkap, oleh karena ia menyamakan hukum dengan 
kesadaran hukum, sehingga dengan kekonsekuenan Krabbe dalam implementasi
 teorinya, dipastikan menyebabkan terjadinya penghapusan seluruh hukum, 
yang berarti lumpuhnya kewibawaan undang-undang.
Menurut
 Van Apeldoorn, jika suatu tatanan masyarakat hendak merupakan lebih 
daripada tatanan kekuasaan belaka, maka ia juga harus merupakan tatanan 
hukum, harus memenuhi kesadaran kesusilaan dan kesadaran rakyat itu 
sendiri, artinya memenuhi pandangan-pandangan yang berlaku didalam 
masyarakat itu tentang apa yang baik dan adil, karena disitulah letaknya
 otoritas hukum. Pada hakekatnya, sesuatu hukum kebiasaan yang timbul 
langsung dari masyarakat itulah yang terbanyak memenuhi tuntutan 
tersebut. Dengan varian atas ucapan ahli hukum Romawi Paulus, dapatlah 
kita katakan optima iuris interpres consuetudo (penjelmaan hukum yang terbaik adalah kebiasaan).
BAB III
PENUTUP
Diperlukan
 suatu kerjasama yang kondusif antara pemerintah dengan dewan perwakilan
 rakyat dalam menyusun suatu perundang-undangan yang berdasarkan 
kesadaran kesusilaan dan kesadaran hukum rakyat. Hukum 
perundang-undangan sebagian besar tidak lain merupakan hukum kebiasaan 
yang ditulis dan karena itu hal-hal yang merupakan dasar-dasar pokoknya 
tergores dalam kesadaran rakyat. 
Keyakinan
 yang berakal dari sesuatu bangsa bahwa harus ada tata tertib, sehingga 
harus ada hukum yang pada umumnya berisi pandangan-pandangan kesusilaan 
dan pandangan-pandangan hukum rakyat, menyebabkan bahwa keyakinan rakyat
 memberikan otoritas yang mengikat dari undang-undang, sekalipun juga 
seandainya undang-undang atau peraturan-peraturan tertentu ternyata 
tidak sesuai dengan pandangan-pandangan yang berlaku dalam masyarakat. 
Jika
 suatu tatanan hukum kehilangan dasar tersebut bahwa keyakinan rakyat 
adalah tatanan hukum maka lenyaplah segala otoritasnya dan berakhirlah 
ia sebagai hukum, walaupun ia dapat hidup terus beberapa waktu sebagai 
tatanan otoritas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar