Rabu, 16 Oktober 2013

PMII adalah

A. Historical PMII
PMII, atau yang disingkat dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Indonesian Moslem Students Movement), dalam bahasa Ibunya adalah Anak Cucu organisasi NU yang lahir dari rahim Departemen perguruan Tinggi IPNU.
Hasrat mendirikan organisasi NU sudah lama bergolak. namun pihak NU belum memberikan green light. Belum menganggap perlu adanya organisasi tersendiri buat mewadahi anak-anak NU yang belajar di perguruan tinggi. melihat fenomena yang ini, kemauan keras anak-anak muda itu tak pernah kendur, bahkan semakin berkobar-kobar saja dari kampus ke kampus. hal ini bisa dimengerti karena, kondisi sosial politik pada dasawarsa 50-an memang sangat memungkinkan untuk lahirnya organisasi baru. Banyak organisasi Mahasiswa bermunculan dibawah naungan  payung induknya. misalkan saja HMI yang dekat dengan Masyumi, SEMI dengan PSII, KMI dengan PERTI, IMM dengan Muhammadiyah dan Himmah yang bernaung dibawah Al-Washliyah. Wajar saja jika kemudiaan anak-anak NU ingin mendirikan wadah tersendiri dan bernaung dibawah panji bintang sembilan, dan benar keinginan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk IMANU (Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama) pada akhir 1955 yang diprakarsai oleh beberapa tokoh pimpinan pusat IPNU.
Namun IMANU tak berumur panjang, dikarenakan PBNU menolak keberadaannya. ini bisa kita pahami kenapa NU bertindak keras. sebab waktu itu, IPNU baru saja lahir pada 24 Februari 1954. Jadi keberatan NU bukan terletak pada prinsip berdirinya IMANU ( PMII ), tetapi lebih pada pertimbangan waktu, pembagian tugas dan efektifitas organisasi. Oleh karenanya, sampai pada konggres IPNU yang ke-2 (awal 1957 di pekalongan) dan ke-3 (akhir 1958 di Cirebon). NU belum memandang perlu adanya wadah tersendiri bagi anak-anak mahasiswa NU. Namun kecenderungan ini nsudah mulai diantisipasi dalam bentuk kelonggaran menambah Departemen Baru dalam kestrukturan organisasi IPNU, yang kemudian departemen ini dikenal dengan Departemen Perguruan Tinggi IPNU.
Dan baru setelah konferensi Besar IPNU (14-16 Maret 1960 di kaliurang), disepakati untuk mendirikan wadah tersendiri bagi mahsiswa NU, yang disambut dengan berkumpulnya tokoh-tokoh mahasiswa NU yang tergabung dalam IPNU, dalam sebuah musyawarah selama tiga hari (14-16 April 1960) di Taman Pendidikan Putri Khadijah (Sekarang UNSURI) Surabaya. Dengan semangat membara, mereka membahas nama dan bentuk organisasi yang telah lama mereka idam-idamkan.
Bertepatan dengan itu, Ketua Umum PBNU KH. Idam Kholid  memberikan lampu hijau. Bahkan memberi semangat pada mahasiswa NU agar mampu menjadi kader partai, menjadi mahasiswa yang mempunyai prinsip: Ilmu untuk diamalkan dan bukan ilmu untuk ilmu…maka, lahirlah organisasi Mahasiswa dibawah naungan NU  pada tanggal 17 April 1960. Kemudian organisasi itu diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ( PMII ), melalui tokoh-tokoh berikut ini; Chalid Mawardi (Jakarta), Said Budairy (Jakarta), M. Shabih ubaid (Jakarta), Makmun Syukri BA. (Bandung), Hilman (Bandung), H. Ismail Makky (Yogyakarta), Munsif Nachrawi (Yogyakarta), Nurilhuda Suady HA. (Surakarta), Laily Mansyur (Surakarta), Abdul Wahab Djailani (semarang), Hisbullah Huda (Surabaya), M. Chalid Marbuko (Malang), dan Ahmad Husein (Makasar).
Disamping latar belakang lahirnya PMII seperti diatas, sebenarnya pada waktu itu anak-anak NU yang ada di organisasi  lain seperti HMI merasa tidak puas atas pola gerak HMI. Menurut mereka ( Mahasiswa NU ), bahwa HMI sudah berpihak pada salah satu golongan  yang kemudian ditengarai bahwa HMI adalah anderbownya partai Masyumi, sehinggga wajar kalau mahasiswa NU  di HMI juga mencari alternatif lain. Hal ini juga diungkap oleh Deliar Nur ( 1987 ), beliau mengatakan bahwa PMII merupakan cermin ketidakpuasan sebagian mahasiswa muslim terhadap HMI, yang dianggap bahwa HMI dekat dengan golongan modernis ( Muhammadiyah ) dan dalam urusan politik lebih dekat dengan Masyumi.
Dari paparan diatas bisa ditarik kesimpulan atau pokok-pokok pikiran dari makna dari kelahiran PMII:
Bahwa PMII karena ketidakmampuan Departemen Perguruan Tinggi IPNU dalam menampung aspirasi anak muda NU yang ada di Perguruan Tinggi .
PMII lahir dari rekayasa politik sekelompok mahasiswa muslim  ( NU ) untuk mengembangkan kelembagaan politik menjadi underbow NU dalam upaya merealisasikan aspirasi politiknya.
PMII lahir dalam rangka mengembangkan paham Ahlussunah Waljama’ah dikalangan mahasiswa.
Bahwa PMII lahir dari ketidakpuasan mahasiswa NU yang saat itu ada di HMI, karena HMI tidak lagi mempresentasikan paham mereka  ( Mahasiswa NU ) dan HMI ditengarai lebih dekat dengan partai MASYUMI.
Bahwa lahirnya PMII merupakan wujud kebebasan berpikir, artinya sebagai mahasiswa harus menyadari sikap menentukan kehendak sendiri atas dasar pilihan sikap dan idealisme yang dianutnya.
Dengan demikian ide dasar pendirian PMII adalah murni dari anak-anak muda NU sendiri Bahwa kemudian harus bernaung dibawah panji NU itu bukan berarti sekedar pertimbangan praktis semata, misalnya karena kondisi pada saat itu yang memang nyaris menciptakan iklim dependensi sebagai suatu kemutlakan. Tetapi, keterikatan PMII kepada NU memang sudah terbentuk dan sengaja dibangun atas dasar kesamaan nilai, kultur, akidah, cita-cita dan bahkan pola berpikir, bertindak dan berperilaku.
Kemudian PMII harus mengakui dengan tetap berpegang teguh pada sikap Dependensi timbul berbagai pertimbangan menguntungkan atau tidak dalam bersikap dan berperilaku untuk sebuah kebebasan menentukan nasib sendiri.
Oleh karena itu haruslah diakui, bahwa peristiwa besar dalam sejarah PMII adalah ketika dipergunakannya istilah Independent dalam deklarasi Murnajati tanggal 14 Juli 1972 di Malang dalam MUBES III PMII, seolah telah terjadi pembelahan diri anak ragil NU dari induknya.
Sejauh pertimbangan-pertimbangan yang terekam dalam dokumen historis, sikap independensi itu tidak lebih dari dari proses pendewasaan. PMII sebagai generasi muda bangsa yang ingin lebih eksis dimata masyarakat bangsanya. Ini terlihat jelas dari tiga butir pertimbangan yang melatar belakangi sikap independensi PMII tersebut.
Pertama, PMII melihat pembangunan dan pembaharuan mutlak memerlukan insan-insan Indonesia yang berbudi luhur, taqwa kepada Allah SWT, berilmu dan cakap serta tanggung jawab, bagi keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Kedua, PMII selaku generasi muda indonesia sadar akan perannya untuk ikut serta bertanggungjawab, bagi keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati secar merata oleh seluruh rakyat. Ketiga, bahwa perjuangan PMII yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan idealisme sesuai deklarasi tawangmangu, menuntut berkembangnya sifat-sifat kreatif, keterbukaan dalam sikap, dan pembinaan rasa tanggungjawab.
Berdasarkan pertimbangan itulah, PMII menyatakan diri sebagai organisasi Independent, tidak terikat baik sikap maupun tindakan kepada siapapun, dan hanya komitmen terhadap perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskanPancasila.

Ketaatan Orang Terhadap Hukum Indonesia yang Sekarat


David Bayu Narendra
 
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kita telah mengenal hukum sebagai suatu himpunan kaidah-kaidah yang bersifat maksa atau dengan perkataan lain suatu himpunan peraturan-peraturan yang bersifat emaksa. Peraturan-peraturan itu dibuat untuk melindungi kepentingan-kepentingan manusia pada saat melakukan hubungan dengan sesamanya dalam pergaulan hidup.
Selain hukum sebagai suatu himpunan peraturan, maka terdapat pula cita-cita mengenai hukum yang tumbuh dan berkembang sedemikian kuat dan mendalam sehingga dalam perasaan dan percakapan sehari-hari telah berubah menjadi suatu tuntutan hukum yang diakui dan dipertahankan.
Anjuran bagi penguasa untuk tidak menyelundupkan kepentingan-kepentingan mereka atau kelompoknya dalam bentuk peraturan-peraturan formal yang dapat dikeluarkan berdasarkan wewenang yang dimilikinya, merupakan suatu anjuran moral atau rasa susila yang seyogyanya senantiasa ada pada batin mereka.
Kaidah moral atau kesusilaan hanya menimbulkan kewajiban-kewajiban daripada hak kepada orang-orang yang diharapkan memenuhi anjuran yang menjadi peraturan dalam nurani mereka, sehingga jika penguasa tersebut akan memandang moral atau rasa susila tersebut sebagai hak orang lain (dalam hal ini rakyat dan masyarakat bangsa), maka ia akan meninggalkan upaya penyelundupan hukum-demi kepentingan mereka yang berkedok hukum formal-dan membuat peraturan-peraturan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak. Dengan kata lain, hukum menetapkan kode moral yang lazim atau dilakukan dalam berbagai hubungan sosial dan fungsi sosial manusia atau suatu moralitas hukum yang spesifik, yang terdiri dari pencerminan pendapat-pendapat moral yang terdapat dalam masyarakat pada umumnya dan yang harus dikembangkan dalam praktik di bidang hukum, termasuk penerbitan peraturan-peraturan oleh penguasa yang memiliki wewenang untuk itu.
Akhirnya, hukum sebagai keseluruhan dapat dilihat sebagai penggabungan moralitas/keadilan sosial, terhadap mana individu-individu, kelompok-kelompok atau organisasi pemerintah harus senantiasa mengorientasikan tingkah lakunya. Karena tuntuan masyarakat dapat sangat berbeda dengan pembuat hukum, maka mereka sebaiknya kita harus menduga bahwa konsepsi-konsepsi mengenai kewajaran sosial, politik, ekonomi, dan khususnya kewajaran hukum, seperti yang tercantum dalam hukum harus merupakan perwujudan moralitas sosial.
Filsafat hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, “tentang dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum”, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar itu, filsafat hukum bisa dibandingkan dengan dengan ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang sangat berbeda. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-bidang serta sistem hukumnya sendiri.
Filsafat hukum menghendaki jawaban atas pertanyaan: “Apa yang dimaksud dengan hukum?” Filsafat hukum menginginkan kita berfikir secara mendalam dan bertanya pada diri sendiri: “Apa pendapat kita mengenai hukum?” Apakah ilmu hukum positif dapat menjawab dua pertanyaan tersebut? Jawabannya adalah dapat. Namun ilmu hukum tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, karena jawaban yang dihasilkan tidak akan sekomprehensif bila dijawab oleh filsafat hukum. Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum saja, yang hanya dapat dilihat dengan pancaindra, yang menjelma dalam perbuatan-perbuatan manusia dalam kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan dalam kebiasaan-kebiasaan hukum.
Ilmu hukum positif tidak dapat mengamati kaidah-kaidah hukum yang merupakan pertimbangan nilai-nilai, karena berada jauh di luar pandangannya. Kaidah hukum masuk dalam tataran dunia nilai, tataran sollen. Ketika ilmu hukum tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan (penting) mengenai hukum, maka saat itu pulalah filsafat hukum mulai bekerja dalam mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab tersebut. Kaidah-kaidah hukum adalah pertimbangan nilai-nilai, yaitu pertimbangan-pertimbangan tentang sesuatu yang seharusnya kita lakukan atau tidak kita lakukan dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Kaidah hukum menghendaki diikuti sebagai sebuah otoritas sehingga dengan demikian mempunyai sifat perintah, suruhan dan larangan. Suatu kaidah dapat berubah menjadi kaidah hukum, jika kaidah tersebut dikeluarkan oleh negara berupa peraturan-peraturan yang harus menjadi pedoman bagi pemerintah dan bagi kekuasaan pengadilan saat melakukan tugasnya serta kaidah hukum mempunyai ciri bahwa ia dipertahankan oleh paksaan pemerintahan atau setidak-tidaknya oleh paksaan yang terorganisir. Jika diamati, maka ketiga pengertian tersebut memiliki persamaan yaitu meletakkan hubungan yang erat antara hukum dan negara (atau penguasa) dan bahwa ketiga pengertian tersebut merupakan hasil dari penelitian secara empiris dalam mencari ciri persekutuan untuk peraturan-peraturan yang biasanya disebut peraturan-peraturan hukum.
B. Kerangka Pikir
Benarkah kaidah hukum memperoleh otoritasnya dan oleh karenanya masyarakat mengakui kaidah tersebut dengan cara mentaatinya, karena:
1) Hanya karena orang-orang yang menciptakannya,
2) karena orang-orang yang mengakuinya sebagai hukum, atau
3) Karena nilai batinnya/nilai keadilannya sendiri?
Dari mana pemerintah/penguasa pada suatu negara memperoleh hak untuk memaksakan pertimbangan-pertimbangan nilainya kepada orang lain sebagai suatu perintah? Secara garis besar, terdapat tiga ajaran yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, yaitu:
1) Raja memperoleh kekuasaannya karena langsung diangkat oleh Tuhan, merupakan kehendak Tuhan (theocratisch atau hukum kodrat),
2) Pemerintah langsung memperoleh kekuasaannya dari kehendak rakyat dan hanya secara tidak langsung dari Tuhan (scholastik pada abad pertengahan),
3) Segala hukum adalah hukum manusia (rasionalisme dari aufklarung abad ke 18).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum di Indonesia sedang sekarat
Masyarakat Indonesia sedang bingung menebak akhir cerita beberapa ”sinetron hukum” yang ditayangkan di negeri ini. Bahkan, beberapa berakhir dengan teka-teki misterius. Bagi segenap anak bangsa, negara hukum lahir karena kerinduan yang mendalam terhadap terwujudnya keadilan. Hukum bukan sekadar alat untuk menciptakan ketertiban, melainkan yang utama adalah untuk menegakkan keadilan.
Sayangnya, jalan menuju tegaknya keadilan melalui hukum di negeri ini kian tersaruk-saruk. Hukum bukan semata dipahami secara prosedural legalistik, melainkan sudah diperdagangkan secara murah tidak lagi dalam pasar gelap bahkan pasar terang. Pembelinya bukan hanya makelar, melainkan juga mafia. Oleh karena itu, yang terjadi di negeri ini bukan hanya tak ada kepastian hukum, melainkan membawa kehancuran hukum, sekarat dan mengantarkan kepada kematian.
Negeri yang memproklamasikan sebagai negara hukum, bersilat di jalan bahasa, memapankan keserakahan, mengerucutkan kekuasaan, membudayakan kemunafikan, menyumbat telinga dengan harta dan martabat, membungkam mulut dengan iming-iming dan ancaman. Asas manfaat seharusnya memberi manfaat kepada sesama menjadi memanfaatkan, mengeksploitasi dengan mengisap tenaga, pikiran, dan harta. Istilah kerennya ”aji mumpung”. Sering dipakai sebagai modus operandi untuk memuluskan segala tujuan.Memuaskan hasrat keduniawian sesaat atas nama pertemanan, teman sejawat, dan hubungan kedinasan. Begitu mengisap dan menguras habis darah rakyat ditinggalkan bagaikan raga tidak bernyawa. Manusia-manusia pengisap ”darah”negeri ini melenggang dengan wajah tanpa dosa yang membuat negeri ini pucat pasi, terseok-seok, bahkan kesulitan untuk sekadar bernapas.
Inilah negeri adiluhung di mana kebenaran ditaklukkan oleh rasa takut dan ambisi. Keadilan ditundukkan oleh kekuasaan dan kepentingan. Nurani dilumpuhkan oleh nafsu dan angkara. Citra negeri ini memburuk di mata internasional. Sebuah kampanye jelek yang bisa menghancurkan minat investor untuk menanamkan modalnya di negeri ini. Hukum kita sedang sekarat. Gempa dan tsunami dalam bidang hukum datang bertubi-tubi.Semacam alarm dari Tuhan untuk orang-orang yang berpikir, hukum kita telah lari dari ilmu Tuhan.
Mari sejenak kita melihat rancangan alam. Tatanan alam berlangsung dalam pola interaksi yang disebut sebagai keteraturan alam semesta. Semua interaksi alam tunduk pada satu suprasistem, yaitu Sang Pencipta Alam Semesta. Ada beberapa contoh ilmu yang mempelajari rancangan di alam dan memecahkan masalah berdasarkan rancangan alam. Menara Eiffel dilihami struktur tulang paha seperti jeruji berbentuk sangkar. Kevlar bahan pembuat baju antipeluru berdasarkan penelitian benang laba-laba yang kekuatannya lima kali baja. Belalang tidak pernah tabrakan karena ada pengindraan listrik di ujungnya sedang ditiru untuk menghindari tabrakan pesawat terbang. Untuk menghindari kebisingan pesawat udara sedang diteliti terbangnya burung hantu yang tidak bersuara. Kalau ilmu lain mengambil pelajaran dari ilmu ciptaan Tuhan mengapa ilmu hukum bersifat sekuler.
Tanggung jawab yuris adalah merohaniahkan hukum. Penilaian scientia yuridis harus mendalam dan mendasar pada conscientia (nilai). Norma-norma etis-religius harus merupakan aspek normatif atau imperatif dari negara hukum. Dalam negara kita yang berdasarkan Pancasila, dengan adanya sila Ketuhanan, tiap ilmu pengetahuan termasuk hukum yang tidak dibarengi ilmu ketuhanan adalah tidak lengkap. Seperti yang dikatakan Albert Einstein, Science without religion is lame, religion without science is blind.
Dalam hadis yang sangat populer dalam dunia peradilan, Rasulullah bersabda, ”Para hakim itu digolongkan pada tiga kelompok. Satu kelompok akan masuk surga dan dua kelompok masuk neraka. Mereka yang masuk surga adalah mereka yang mengetahui kebenaran lalu memutuskan perkara berdasarkan kebenaran. Hakim yang mengetahui kebenaran tetapi curang atau tidak jujur yang menyebabkan tidak adil dalam memberi putusan akan masuk neraka. Hakim yang memutus perkara manusia berdasarkan kebodohannya juga akan masuk neraka.” (Riwayat Abu Dawud). Hadis ini hendaknya memberi inspirasi dan spirit kepada hakim agar bersikap dan bertindak sesuai dengan moralitas dan integritas yang dimiliki.
Tanggung jawab ini bukan hanya secara administratif atau legalistis di dunia, tetapi tanggung jawab kepada Tuhan yang Maha Esa yang benar-benar esensial di akhirat kelak. Hal ini jelas sekali karena dalam setiap memberi keputusan, hakim harus dengan tegas mengucapkan dan menuliskan ungkapan, ”Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Pencari keadilan datang kepadanya untuk mohon keadilan.

Dalam tuntunan agama Islam, perlakuan adil wajib ditegakkan terhadap siapa saja, kendati terhadap orang yang tidak seagama Q.S. 42 (Asy-Syura): 15. ”Jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri, ibu bapa dan kaum kerabatmu....” Q.S. 4 (An-Nisaa): 135. Surat-surat ini mengandung prinsip tidak pilih kasih (nonfavoritisme dan antinepotisme) dan prinsip tidak berpihak (fairness/impartial).
Dengan kekuasaan apa pun bisa dilakukan, kalau penguasa berperan sebagai juragan, sedangkan para penegak hukum sebagai abdi negara dininabobokan, dengan memberikan fasilitas-fasilitas. Hukum laksana sarang laba-laba hanya mampu menjerat kepada kaum lemah belaka, sementara penguasa dan cukong sangat mudah menjebol sarang tersebut, bahkan tidak perlu karena pintu masuk sudah tertata rapi yang kunci pembukanya ada di saku penguasa.
Orang akan dapat melakukan pemahaman terhadap hukum secara lebih baik manakala ia secara sengaja pula mempelajari penyakit-penyakit hukum. Penegakan hukum yang hanya berpijak pada nilai positivisme menganggap hukum sebuah bangunan atau tatanan logis rasional, yakni membuat rumusan atau definisi-definisi yang spesifik hukum, memilahkan, menggolongkan, diterapkan belaka terhadap undang-undang. Dengan demikian, hukum hanya benar-benar menjadi wilayah esoterik bagi praktisi hukum. Dengan cara tersebut, hukum dipisahkan dari realitasnya yang penuh dan jauh dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam realitas sosialnya.
Kemampuan untuk mencari kebenaran membawa kita kepada sikap, yang benar adalah benar yang salah adalah salah. Pemihakan kepada yang benar harus dilakukan agar terhindar dari segala kesusahan akibat kebodohan sendiri.
Merujuk pada mekanisme alam, sebuah bencana sebagaimana bencana dalam dunia hukum adalah media penataan keseimbangan untuk mempersiapkan munculnya generasi hukum baru, sebagaimana meletusnya gunung berapi, badai lautan, gempa bumi, tanah longsor, dan lain-lain akan melahirkan generasi alam yang baru. Dalam setiap peristiwa alam terkandung peringatan agar manusia bersungguh-sungguh berpikir dan kembali kepada ilmu Tuhan.
B. Ketaatan Orang terhadap Hukum yang Sekarat
Pada abad ke 19, ajaran theocratisch masih terus hidup dalam berbagai corak dan bentuk, namun ajaran tersebut tidak lagi memberikan kewenangan kepada pemerintah dalam pemberian sanksi-sanksi tertentu kepada masyarakat dalam pelanggaran terhadap hukum. Hal ini disebabkan, pada abad tersebut pemerintah tidak lagi merupakan penjelmaan agama dan tak mengakui kitab suci sebagai pedoman dalam kehidupan masyarakat. Pembela ajaran ini di abad 19 adalah Julius Stahl (1802-1861): “Negara adalah badan yang diberikan kuasa penuh oleh Tuhan, akan tetapi yang diberikan wewenang penuh bukanlah aparatur pemerintahan, akan tetapi negara sendiri sebagai badan”. Hukum memperoleh kekuatan mengikatnya dari ordonansi ketuhanan yang merupakan dasar suatu negara. Meskipun hukum merupakan buatan manusia, namun ia digunakan untuk membantu mempertahankan tata tertib dunia ketuhanan.
Teori perjanjian mendalilkan ajarannya bahwa sumber kekuasaan pemerintah berada pada kehendak manusia/warganegara sendiri. Warganegara wajib taat kepada pemerintahan dan hukum, karena dengan tegas atau dengan diam-diam mereka dengan keinginan dan kesadaran sendiri secara penuh telah membuat perjanjian seperti itu. Ajaran ini diperkenalkan dan dipraktekkan melalui berbagai cara pertama kali pada zaman Yunani oleh kaum sophist dan epicurust.
Dalam abad pertengahan, pikiran seperti itu semakin meluas meskipun tidak dapat dilaksanakan secara penuh, oleh karena bertentangan dengan pandangan keagamaan pada saat itu. Sehingga pikiran baru tersebut dilakukan dalam bentuk lama: Tuhan memberi rakyat kewenangan untuk membentuk pemerintah, dan rakyatpun mempergunakan kewenangan itu dengan menyerahkannya kepada raja atas dasar suatu perjanjian. Oleh kaum monarchomachen pada abad XVI ajaran tersebut digunakan untuk melakukan pembelaan terhadap “hak suci memberontak” terhadap raja-raja lalim, yang melakukan pelanggaran terhadap perjanjian-perjanjian yang telah dibuat. Pada abad ke XVII terjadinya negara dan tata hukum didasarkan atas perjanjian, yang tidak semata-mata merupakan perjanjian yang dilakukan oleh rakyat dan raja (perjanjian penaklukan), tetapi adalah sesuatu perjanjian yang diadakan oleh manusia yang satu dengan yang lain untuk mendirikan negara dan tata hukum (perjanjian masyarakat). Ajaran ini menjadi sangat terkenal ketika Rosseau memperkenalkannya dengan nama contract social. Ajaran ini pada saat sekarang sudah tidak lagi banyak dianut, oleh karena pada teori ini disana-sini ditemukan kelemahan-kelemahan, salah satunya adalah: janji hanyalah merupakan sesuatu hal yang abstrak dan menggantungkan kewajiban seseorang kepada kehendak suatu janji bukankah itu berarti menghapuskan segala kewajiban. Kemudian, bagaimana hukum dapat memperoleh kekuatan mengikat dari suatu kontrak yang agar dapat mengikat mengandaikan adanya hukum?
Ajaran kedaulatan negara muncul pada abad ke XIX, abad ilmu alam, yang mendasarkan kekuatan mengikat dari hukum adalah kehendak negara dan mendasarkan adanya kekuasaan negara pada sesuatu hukum kodrat (yang lebih kuat menguasai yang lebih lemah). Oleh karena daya hukum itulah maka terjadi negara yang bukan buatan manusia melainkan hasil alam.
Melakukan kekuasaan pemerintahan bukan melakukan sesuatu hak yang meminta pembenaran, kekuasaan pemerintahan adalah suatu kenyataan yang dapat diterangkan dengan jalan ilmu pengetahuan dari jalannya hukum kodrat, yang diperoleh dengan cara melihat kenyataan empiris. Sementara itu, pada tingkat terakhir dari ajaran kedaulatan negara, juga memberi kemungkinan menunjuk kepada kehendak Tuhan sebagai yang mengadakan hukum kodrat itu. Yang meletakkan dasar teori ini adalah seorang swiss, Karl Ludwig von Haller.
Ajaran hukum “reine rechtslehre/normatif rechtsleer” dari Hans Kelsen yang ingin memurnikan ajaran hukum dari segala anasir yang bukan yuridis (politik, kesusilaan, sosiologi). Negara bukan merupakan dunia sein (undang-undang kausal) tetapi dunia sollen (undang-undang normatif). Dipandang dari sudut yuridis, negara adalah tata hukum itu sendiri. Negara dan hukum adalah sama, negara adalah penjelmaan dari hukum.
Menurut Kelsen adalah tidak benar menjawab pertanyaan tentang alasan berlakunya hukum (sesuatu sollen) dengan sein. Saya seharusnya bertindak demikian, bukan karena Tuhan menghendakinya, melainkan karena saya seharusnya mengikuti perintah Tuhan. Itu adalah dasar terakhir yang tidak dapat diuraikan lebih lanjut untuk “sollen” yang bersifat agama. Dasar berlakunya suatu kaidah hanya dapat diketemukan dalam kaidah yang lain. Kaidah yang ditentukan dengan keputusan hakim, memperoleh kekuatan berlakunya dari kaidah undang-undang yang lebih tinggi dan kaidah undang-undang memperoleh kekuatan berlakunya dari kaidah undang-undang dasar yang lebih tinggi. Kaidah yang lebih tinggi dari undang-undang dasar tidak ada.
Dengan demikian, terpaksa kita menerima undang-undang dasar sebagai dasar berlakunya dari seluruh hukum positif, sesuatu kaidah dasar/ursprungsnorm tetapi sesuatu kaidah yang tidak boleh dipandang sebagai kaidah-kaidah dasar yang mempunyai isi, sesuatu kaidah dari mana orang dapat mencari isi hukum, ursprungsnorm yang bersifat hipotetis hanya hendak menyatakan kesatuan formil dari seluruh sistem hukum, yang menyulap kenyataan bahwa orang-orang pemerintahan meletakan pertimbangan-pertimbangan nilai mereka sebagai peraturan yang mengikat, menjadi hukum, sehingga dengan demikian menyulap “seinskategorie” menjadi sesuatu yang menurut Kelsen merupakan kebalikannya yaitu kategori sollen.
Teori kedaulatan hukum dikemukakan oleh H. Krabbe, mengatakan bahwa hukum memperoleh kekuatan mengikatnya dari kehendak orang-orang tertentu yaitu orang-orang pemerintahan, orang-orang hidup di bawah kekuasaan undang-undang yang terbentuk melalui perwakilan rakyat. Undang-undang tidak mengikat karena pemerintah menghendakinya, melainkan karena ia merupakan perumusan kesadaran hukum dari rakyat.
Undang-undang berlaku berdasarkan nilai batinnya, yakni berdasarkan hukum yang menjelma didalamnya. Ajaran kedaulatan hukum pada asasnya tidak mengakui kekuasaan seseorang, ia hanya mengakui kekuasaan batin dari hukum; ia tidak menerima kekuasaan pemerintahan yang dilakukan oleh orang yang memerintah atas kuasa diri sendiri (suo jure), akan tetapi semata-mata menerima kekuasaan pemerintahan yang dikeluarkan oleh hukum dan yang berlaku menurut peraturan-peraturan hukum. Yang terutama bukanlah negara, pemerintahan, melainkan yang terutama adalah hukum.
Hukum tidak memperoleh kekuatan mengikatnya dari kehendak pemerintahan, melainkan pemerintahan hanya memperoleh kekuasaannya dari hukum. Akan tetapi dari manakah datangnya hukum itu dan bagaimanakah ia memperoleh kekuatan mengikatnya. Dijawab oleh Krabbe, bahwa hukum berpangkal pada perasaan hukum dan hanya memperoleh kekuasaan dari persesuaiannya dengan perasaan-perasaan individu. Tetapi timbul kesulitan: sesuatu kaidah hukum yang berpangkal pada perasaan-perasaan hukum individu hanya menguasai kehendak individu itu sendiri. Akan tetapi hukum sebagai kaidah masyarakat harus menguasai kehendak individu itu sendiri yang bersandar pada keyakinan hukum bersama. Akan tetapi unanimitas keyakinan hukum adalah sesuatu yang jarang didapatkan.
Perasaan hukum dan keyakinan hukum seseorang akan sangat berbeda dengan yang lainnya. Sehingga konsekuensi dari ajaran Krabbe adalah timbulnya kaidah yang beraneka ragam, sebanyak keyakinan hukum sebanyak itu pulalah jumlah kaidah. Akan tetapi pergaulan hidup menghendaki kesatuan kaidah hukum: hukum harus sama untuk semua anggota masyarakat. Itu adalah conditio sine qua non untuk mencapai tujuan hukum, yakni mengatur masyarkat. Oleh karenanya maka keseragaman kaidah hukum lebih penting daripada isi kaidah itu, sehingga kesadaran hukum kita memberikan nilai yang tertinggi kepada kesatuan kaidah tersebut, jika perlu dengan mengorbankan sesuatu isi yang tertentu yang lebih kita sukai.
Karena keyakinan-keyakinan hukum orang berlainan, kita harus memilih antara berbagai isi hukum untuk mencapai kesatuan hukum. Bagaimanakah kita harus memilih? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, Krabbe bertitik pangkal kepada apa yang dipandangnya sebagai aksioma:”persamaan derajat individu-individu yang turut membentuk hukum, atau dengan perkataan lain, persamaan kualitatif kesadaran hukum yang ada pada diri tiap-tiap orang”. Krabbe menarik kesimpulan, bahwa hukum adalah sesuatu yang memenuhi kesadaran hukum rakyat terbanyak dan dari mayoritas mutlak. Rumus tersebut dilakukannya sedemikian konsekuen, sehingga ia meniadakan kekuatan mengikat dari undang-undang yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum orang terbanyak tersebut. Undang-undang seperti ini, yang tidak mengikat masyarakat dan seharusnya tidak diberlakukan lagi oleh hakim dan orang-orang pemerintahan lainnya.
Menurut Van Apeldoorn, maka dengan menarik konsekuensi yang sedemikian jauhnya terhadap ajarannya itu, Krabbe telah melakukan ad absurdum. Bagaimana dengan kepastian hukum dan perlindungan masyarakat terhadap kesewenang-wenangan hakim dan birokrasi. Dan bagaimana halnya nasih kesatuan kaidah hukum, jika para hakim dan aparatur pemerintah diperkenankan, bahkan diserahi kewajiban untuk menyampingkan undang-undang (bahkan UUD) dalam melakukan tugasnya, jika menurut pertimbangan mereka undang-undang (termasuk UUD) tidak sesuai dengan kesadaran hukum dari rakyat terbanyak, padalah hal tersebut adalah hal yang merupakan sesuatu yang tidak tentu dan tidak dapat ditentukan.
Kelemahan Krabbe tersebut terungkap, oleh karena ia menyamakan hukum dengan kesadaran hukum, sehingga dengan kekonsekuenan Krabbe dalam implementasi teorinya, dipastikan menyebabkan terjadinya penghapusan seluruh hukum, yang berarti lumpuhnya kewibawaan undang-undang.
Menurut Van Apeldoorn, jika suatu tatanan masyarakat hendak merupakan lebih daripada tatanan kekuasaan belaka, maka ia juga harus merupakan tatanan hukum, harus memenuhi kesadaran kesusilaan dan kesadaran rakyat itu sendiri, artinya memenuhi pandangan-pandangan yang berlaku didalam masyarakat itu tentang apa yang baik dan adil, karena disitulah letaknya otoritas hukum. Pada hakekatnya, sesuatu hukum kebiasaan yang timbul langsung dari masyarakat itulah yang terbanyak memenuhi tuntutan tersebut. Dengan varian atas ucapan ahli hukum Romawi Paulus, dapatlah kita katakan optima iuris interpres consuetudo (penjelmaan hukum yang terbaik adalah kebiasaan).
BAB III
PENUTUP
Diperlukan suatu kerjasama yang kondusif antara pemerintah dengan dewan perwakilan rakyat dalam menyusun suatu perundang-undangan yang berdasarkan kesadaran kesusilaan dan kesadaran hukum rakyat. Hukum perundang-undangan sebagian besar tidak lain merupakan hukum kebiasaan yang ditulis dan karena itu hal-hal yang merupakan dasar-dasar pokoknya tergores dalam kesadaran rakyat.
Keyakinan yang berakal dari sesuatu bangsa bahwa harus ada tata tertib, sehingga harus ada hukum yang pada umumnya berisi pandangan-pandangan kesusilaan dan pandangan-pandangan hukum rakyat, menyebabkan bahwa keyakinan rakyat memberikan otoritas yang mengikat dari undang-undang, sekalipun juga seandainya undang-undang atau peraturan-peraturan tertentu ternyata tidak sesuai dengan pandangan-pandangan yang berlaku dalam masyarakat.
Jika suatu tatanan hukum kehilangan dasar tersebut bahwa keyakinan rakyat adalah tatanan hukum maka lenyaplah segala otoritasnya dan berakhirlah ia sebagai hukum, walaupun ia dapat hidup terus beberapa waktu sebagai tatanan otoritas.

Keluarga Besar IMPL3




IMPL3 badan asiek mahasiswa





IMPL3

Naskah Teater : Ospek Mahasiswa Baru, Bubar ! ( karya Arif Riduan)

Ospek Mahasiswa Baru, Bubar ! Karya : Arif Riduan Suasana panggung : Taman Kampus atau halaman kampus tempat ospek, ada bak sampah, kursi ta...