Di
Kalimantan ada gunung panjang yang membentang dari arah barat hingga ke bagian
timur pulau ini. Gunungnya memang tak terlalu tinggi, namun dapat kita
bayangkan luas dan panjangnya karena membentang melalui tiga Provinsi yaitu
Kalimantan Selatan dan Tengah serta Timur. Gunung yang tumbuh berjajar di
sepanjang jalur ini disebut sebagai Gunung Meratus.
TAK ada
gambaran jelas yang pasti tentang berapa panjang dan banyaknya gunung tersebut.
Adapun yang digambarkan sementara ini sebagian besar diperkirakan hanyalah
reka-reka yang tak pasti – baik soal jumlah gunung maupun ukuran panjangnya.
Buku “Di Pedalaman Borneo“ yang ditulis oleh A.W. Nieuwenhuis pada tahun 1894
pun bahkan tidak menyebutkan hal itu.
Diketahui,
A.W. Nieuwenhuis warga Belanda seorang dokter yang juga sebagai ahli etnografi
dan antropologi, didukung oleh Maatschappij ter Bevondering Van Het
Natuurkundig Onderzoek der Nederlandsche Kolonien (Perhimpunan untuk memajukan
penelitian di daerah daerah koloni Belanda) – membentuk tiga tim yang terdiri
dari para ahli ilmu pemetaan, penggalian suber alam, penelitian tentang
penduduk pedalaman, serta flora dan fauna. Tim ini melakukan perjalanan dari
Kalimantan Barat dengan menyusuri Sungai Kapuas hingga ke kepala Sungai Mahakam
dan berakhir sampai ke Samarinda Kalimantan Timur. Ekpedisi ini pun tak ada
penjelasan tentang luas dan panjangnya Gunung Meratus. Padahal mereka sudah
memulai perjalanan dari Sungai Kapuas Pontianak Kalimantan Barat.
Perjalanan
tersebut, selain didukung oleh oleh Maatschappij ter Bevodering van het
Natuurkundig Onderzoe der Nederlansche Kolonien, juga diback-up oleh Residen
Water Afdeeling van Borneo yang berkedudukan di Pontianak Kalimantan Barat. Hal
ini didorong oleh banyaknya minat negara lain yang mengirim utusan ke pulau
Borneo untuk melakukan penelitian sekaligus berusaha melakukan pendudukan.
Seperti halnya pada abad ke 18, ketika Inggris dan Belanda melakukan kekerasan
dan intimidasi pada penduduk di kepulauan Borneo. Diantaranya, petualangan
Alexander Hare di Banjarmasin pada tahun 1812, James Brooke dan Robert Burns
tahun 1848 di Sarawak yang berupaya mendirikan kerajaan bagi dirinya sendiri,
James Erskine Murray si orang Inggris memasuki Kutai pada tahun 1844 yang
berujung tewas karena berperang dengan laskar Kerajaan Kutai, Selanjutnya
Muller 1825 dan Dalton 1828 yang menjelajahi Borneo atas nama Negara Belanda.
Adalah
seorang perwira Zei dari tentara Napoleon I, bernama George Muller, masuk dalam
Pamongpraja Hindia Belanda. Muller mendapat tugas melakukan hubungan dengan
pihak Sultan Sultan di pesisir Borneo pada tahun 1825. Muller berangkat bersama
pasukan yang terdiri dari orang-orang Jawa. Misi utamanya, jika Sultan Sultan
yang didatanginya tidak sejalan, maka kasultanan ini akan diperangi dan
dihancurkannya hingga dapat diduduki.
Namun,
Kerajaan Kutai tak membiarkan keadaan yang mengancam itu. Akibatnya, terjadilah
pertempuran sehingga pasukan George Muller hancur tercerai-berai dan berlarian
memasuki hutan. Tercatat, serdadu Jawa yang selamat mencapat bagian barat
Borneo hanyalah tinggal satu orang, sedang nasip Muller sendiri dan sisa
pasukan belum diketahui.
Ada kabar,
George Muller bersama pengikutnya terbunuh di daerah Kapuas Hulu sekitar
Nopember 1825, tepatnya di sungai Bungan. Tapi, cerita tersebut hanya perkiraan
yang tak jelas kebenarannya. Yang pasti, Muller hingga kini tak pernah
ditemukan.
Ada pula
cerita lain tentang pelarian Muller yang dikejar laskar Kesultanan Kutai.
Dikatakan, karena kalah Muller berlari hingga ke Gunung Meratus dan menghilang
di sana. Katanya Muller dilindungi oleh pasukan kerajaan orang gaib yang berada
di pegunungan Meratus tersebut.
Cerita
tentang Gunung Meratus juga diungkapkan oleh penduduk tua Suku Bukit Kalimantan
Selatan Bernama Amung Tahe. Pria yang telah tinggal turun-menurun di dusun
Rangit – kaki gunung Meratus menceritakan pengalaman hidupnya, ketika
bertualang menjelajahi Gunung Meratus. Dusun Rangit sendiri adalah sebuah dusun
yang bisa ditempuh dari daerah pedalaman Kabupaten Paser. Namun tidak diketahui
pasti, dusun ini termasuk di dalam kecamatan atau kabupaten mana. Tetapi
didalam peta wilayahnya termasuk kawasan Provinsi Kalimantan Selatan.
Bagi
masarakat Suku Bukit sendiri, mereka tak mengerti tentang dusun tempat
tinggalnya apakah termasuk di daerah Kalsel, Kaltim atau pula Kalteng. Bagi
mereka hal itu bukanlah persoalan. Yang jelas mereka bisa saja ada di
mana-mana. Bagi mereka, hutan adalah rumah dan kehidupan mereka.
Secara umum,
masyarakat suku Bukit berdiam di belantara seputar kedua sisi Gunung Meratus.
Dikatakan Amung Tahe, gunung di sana memang berjumlah seratus gunung. Namun
yang dapat dihitung gunungnya hanya ada sembilan puluh sembilan buah. Lalu yang
satu gunung itu merupakan induk dan puncak tertinggi yang jarang dapat dilihat
secara kasat mata.
Dari kaki
gunung menuju ke puncak itu bertingkat tujuhbelas naik dan tujuhbelas turun.
Menurut penuturan Amung Tahe, di puncak tertinggi itu adalah merupakan suatu
tempat kediaman Maharaja Meratus yang tak bisa dilihat atau gaib. Terkecuali
jika dikehendaki oleh sang Maharaja.
Konon, di
atas puncak gunung tersebut merupakan dataran yang cukup luas. Di dataran ini
ada sebuah bangunan istana tempat sang Maharaja bersemayam. Kerajaan gaib di
Gunung Meratus ini tidak hanya sendiri, tetapi ada lagi kerajaan-kerajaan kecil
diseputarnya, yang juga disebut kerajaan orang-orang gaib (bunian).
Di kawasan
pegunungan ini sangat kaya dengan hasil hutan dan alam. Pernah ada seseorang,
ketika berjalan di anak sungai yang terdapat di sana menemukan batu berlian dan
bongkahan-bongkahan emas pada dinding kerang batu di pinggiran sungai.
Orang-orang
gaib dari pegunungan Meratus sering turun ke berbagai kota, baik di Kalsel,
Kalteng maupun Kaltim. Kebanyakan mereka menyaru seperti orang-orang suku Bukit
berdagang kayu gaharu yang berkwalitas tinggi serta membawa bongkahan-bongkahan
batu kecubung dan yakut yang masih mentah. Barang barang ini mereka jual atau
barter dengan tembakau, garam, minyak wangi-wangian, bahkan butir-butiran manik
dan mutiara.
Amung Tahe
juga bercerita, kalau almarhum bapaknya yang sering bertualang memasuki daerah
gunung Meratus, mengaku pernah bertemu dengan orang tinggi besar berambut
coklat kemerahan dengan pakaian seperti orang barat (Belanda tempo doeloe_Red)
dikawal oleh beberapa orang berseragam. Tetapi ketika diikuti orang-orang
tersebut tiba-tiba menghilang tak diketahui ke mana.
Menurut
cerita masyarakat yang tinggal di daerah sepanjang Meratus ini mereka juga
sering melihat orang Belanda dengan berpakaian tempo doeloe berjalan disertai
beberapa orang berseragam lengkap dengan bedil dan pedang. Namun apabila
dikejar, maka apa yang mereka lihat itu menghilang begitu saja.
Konon, dari
wajah dan pakaian serta tanda-tanda yang terdapat pada si orang Belanda ini
ciri-cirinya sama dengan Kapten George Muller yang hilang tak tentu rimbanya
itu. Kalau benar, yang dilihat itu adalah George Muller, tentunya sudah menjadi
orang gaib. Ada juga yang mengatakan kalau rohnya masih penasaran dan
bergentayangan di sepanjang gunung Meratus karena tewas dibunuh. Bisa juga ia
tewas karena dibantai oleh masyarakat liar di pedalaman yang saat itu masih
primitif.
Namun yang
jelas, apa yang terjadi di sepanjang Gunung Meratus, hingga kini masih penuh
dengan misteri.